Malam Muda-Mudi Jakarta
Ide ini berasal dari karnaval di Rio de Janeiro. Bertujuan untuk menghibur rakyat.
“SELAMAT ulang tahun, Jakarta! Malam ini kita bergoyang!” kata seorang biduanita di atas panggung di depan Hotel Mandarin Oriental, Jalan MH Thamrin, Jakarta. Panggung itu satu dari belasan panggung yang berdiri di sepanjang Jalan MH Thamrin. Malam itu (22/6) Jalan MH Thamrin jadi ajang pesta rakyat. Orang menyebutnya malam muda-mudi, sebuah perayaan untuk memeriahkan hari jadi kota Jakarta.
Perayaan itu sempat mentradisi saban tiba hari jadi kota Jakarta. Ini bermula dari tahun 1968, tahun yang sama saat Jakarta Fair kali pertama digelar. Bang Ali, sapaan akrab Ali Sadikin, Gubernur Jakarta kala itu sedih melihat kondisi sebagian besar warga Jakarta.
“Kita ingat bahwa 80 persen dari warga kota hidup dalam kondisi perumahan yang tidak memenuhi syarat karena terlalu sesak, kurang sehat dsb. Yang mengakibatkan orang hidup dalam suasana yang tertekan,” kata Bang Ali, dikutip Djaja, 22 Juni 1968. Karena itu, Bang Ali ingin mengurangi tekanan-tekanan hidup mereka. Tapi saat itu fasilitas hiburan untuk rakyat kecil masih sedikit. Yang banyak tersedia hanya hiburan mahal seperti kelab malam.
Susan Blackburn dalam Jakarta Sejarah 400 Tahun menyebut kelab malam sebagai salahsatu cara golongan kaya memamerkan kekayaannya. Bang Ali sendiri mengaku kelab malam memang bukan untuk rakyat kecil. “Rakyat kecil tidak bisa senang-senang di night club,” tulis Ali Sadikin dalam Bang Ali: Demi Jakarta. Dia lalu berpikir, hiburan apa yang cocok untuk rakyat kecil.
Beruntung Bang Ali suka membaca. Dia beroleh ide hiburan itu dari majalah. Hiburan itu semacam karnaval di Rio de Janeiro, Brazil. “Nah, saya sering lihat di majalah-majalah, ada Rio de Janeiro, kenapa Jakarta tidak bisa?” kata Ali Sadikin dalam Pers Bertanya Bang Ali Menjawab. Karnaval berarti pesta keramaian. Perlu panitia, jalan raya, dan uang.
Maka sejumlah orang mengkritik ide itu. “Mengapa pula kita mesti ramai-ramai begitu. Itu Cuma akan melelahkan saja,” kata Bang Ali, menirukan para pengkritiknya. Tapi Bang Ali jalan terus. Dia bentuk panitia karnaval dan meminta mereka untuk memasang lampu warna-warni di sepanjang Jalan MH Thamrin. Dia berencana menutup Jalan MH Thamrin pada 21 Juni 1968, sepanjang sore hingga malam. Belasan panggung musik juga akan didirikan di jalan itu.
Pengumuman karnaval itu disiarkan melalui koran dan radio. Bang Ali menyebutnya “Karnaval Muda-Mudi.” Mungkin karena penghargaannya terhadap kaum muda. “Pemuda merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hidup dan penghidupan masyarakat Jakarta,” tulis Ali Sadikin dalam Gita Jaya.
Dan hari itu tiba. Karnaval digelar dari sore hingga senja tiba. Sejumlah korps diplomatik ikut memeriahkan karnaval itu. Meski bertajuk “karnaval muda-mudi,” orangtua dan balita juga hadir memenuhi jalan itu. Usai karnaval, warga bisa menikmati hiburan musik dari belasan panggung. Bang Ali tak mau ketinggalan. Dia membaur bersama warga, naik ke sebuah panggung, dan berjoget. Singkatnya, malam itu semua warga bergembira.
Tahun berikutnya acara ini kembali digelar. “Karnaval atau pesta muda mudi begini selamanya akan menarik dan panjang umur, selama setiap tahun ditemukan hal-hal yang baru, segar dan mengandung semangat hidup,” tulis Djaja, 28 Juni 1969.
Kemudian malam muda-mudi tak lagi digelar di Jalan MH Thamrin. “HUT ke-451 kota Jakarta pesta muda-mudi disebarkan di lima wilayah dan Ancol,” tulis Kompas, 22 Juni 1978. Acara ini bahkan menghilang setelah Pekan Raya Jakarta menjadi satu-satunya hiburan warga jelang hari jadi kota Jakarta. Berpuluh tahun lamanya. Tapi malam minggu kemarin ia kembali.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar