PLTU Menyumbang Polusi, Waktunya Beralih ke PLTN?
PLTN dianggap paling reliable jadi alternatif PLTU. Tapi senantiasa sekadar wacana sejak era Bung Karno.
DARI penyemprotan air ke jalan, modifikasi cuaca, hingga minta doa jadi solusi jangka pendek pemerintah untuk menanggulangi polusi udara di Jakarta dan sekitarnya belakangan ini. Solusi-solusi itu sayangnya belum solutif.
Usai menghadiri rapat terbatas dengan Presiden Joko Widodo pada Senin (28/8/2023), Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LKH) Siti Nurbaya Bakar mengonfirmasi bahwa sumber penurunan kualitas udara di Jabodetabek 44 persennya berasal dari kendaraan bermotor berbasis bahan bakar minyak (BBM) dan 34 persen dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batubara.
Terkait polusi dari kendaraan bermotor, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengimbau work from home (WFH) kepada pihak swasta dan akan bersinergi dengan Polda Metro Jaya untuk menerapkan ujicoba sanksi tilang bagi kendaraan roda empat maupun roda dua yang tak lolos uji emisi per 1 September 2023. Lantas bagaimana penanggulangan polusi yang bersumber dari PLTU?
Baca juga: Batavia Kota Polusi
Data Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM pada Januari 2022 menunjukkan, hingga kurun setahun pada 2021 total kapasitas pembangkit listrik nasional pelat merah ataupun swasta mencapai 74.532 Megawatt (MW) untuk kebutuhan permukiman maupun industri. PLTU sendiri masih sangat dominan ketimbang pembangkit listrik lain dari energi baru terbarukan (EBT), baik itu tenaga surya, biomassa, atau geothermal.
Hingga kini, masih 253 PLTU di seluruh Indonesia dan 10 di antaranya “mengepung” ibukota dalam radius 100 kilometer, baik yang kepunyaan negara maupun swasta. Selain PLTU Lestari Banten Energi di Serang, mereka yakni PLTU Suralaya dan PLTU Suralaya Baru di Cilegon, PLTU Labuan di Pandeglang, PLTU Merak Power Station di Serang, PLTU Lontar dan PLTU Lontar Extension Unit di Tangerang, PLTU Babelan di Kabupaten Bekasi, PLTU Pindo Deli di Karawang, serta PLTU Pelabuhan Ratu di Kabupaten Sukabumi.
Namun, sampai sekarang belum ada solusi signifikan jangka pendek maupun jangka panjang dari pemerintah terkait PLTU. Padahal, pemerintah juga punya komitmen mencapai net zero emission (NZE) atau komitmen bebas karbon paling lambat tahun 2060, sebagaimana hasil 26th Conference of Parties (COP 26) pada Climate Change Conference di Glasgow, Skotlandia pada November 2021.
Menyoal hal itu, peneliti-ahli utama Organisasi Riset Tenaga Nuklir, Badan Riset dan Inovasi Nasional (ORTN-BRIN) Prof. Djarot Sulistio Wisnubroto kala ditemui Historia di kediamannya, medio Maret 2022, mengungkapkan bahwa jika ingin menimalisir emisi karbon dari PLTU, harus disediakan lebih dulu alternatifnya. Di antara pembangkit listrik EBT, PLTN dianggap paling mumpuni.
“Kalau PLTU harus dihentikan, penggantinya apa? Saya cenderung bahwa pemerintah ke depan pada posisi tidak ada jalan lain untuk menggunakan PLTN. Kalau (tenaga) surya atau angin bergantung pada situasi, kecuali teknologi storage baterainya sudah sangat canggih. PLTA atau geothermal? Dua ini kan susah. Lokasinya mungkin di tempat-tempat terpencil dan tertentu saja. Apakah itu reliable atau tidak untuk industri kita?” tutur kepala Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) periode 2012-2018 tersebut.
Baca juga: Nuklir yang Tak Pernah Padam
(Masih) Sebatas Wacana dari Era Bung Karno
PLTN sudah jadi wacana sejak berdirinya Panitia Penjelidikan Radioaktivitet dan Tenaga Atom (PPRTA), cikal-bakal BATAN, pada 1954. Dua tahun berselang, beberapa seminar tentang PLTN digelar di Bandung dan Yogyakarta.
“Cita-cita Bung Karno itu ingin menggunakan tenaga atom sebagai salah satu pendukung industrialisasi Indonesia. Seringkali di pidato beliau mengatakan bahwa (atom/nuklir) ini akan menjadi salah satu tulang punggung kita, kemajuan Indonesia ke depan,” sambung Djarot.
Reaktor nuklir jadi suatu keharusan untuk penelitian dan pengembangan PLTN dan garis start-nya sudah disiapkan seiring rampungnya Reaktor TRIGA-Mark II di Bandung pada 1965. Namun kemudian, perubahan kebijakan Bung Karno yang ingin membuat bom atom membuat wacana PLTN perlahan tersisih.
Baca juga: Asa di Balik Nuklir Indonesia
Kelanjutan nasib wacana PLTN di Indonesia tak jauh beda di masa rezim Orde Baru (Orba). Presiden Soeharto cenderung mengarahkan BATAN ke dalam pengembangan pemanfaatan energi nuklir untuk hal lain, di antaranya penelitian teknologi kesehatan dan teknologi pangan.
“Ambisi nuklir yang dicita-citakan Sukarno menjadi tidak relevan bagi Soeharto yang pro-Barat. Pada 19 Juni 1967, pemerintah Indonesia menandatangani persetujuan keamanan yang diselenggarakan IAEA (Badan Energi Atom Internasional, red). Persetujuan itu mengatur teknologi nuklir digunakan untuk maksud damai di awah pengawasan dan kontrol ketat IAEA,” tulis Teuku Reza Fadeli dalam Nuklir Sukarno: Kajian Awal atas Politik Tenaga Atom Indonesia, 1958-1967.
Kendati begitu, wacana PLTN namun tak serta-merta padam dibahas antar-instansi. Upaya kembali menuju PLTN digerakkan BATAN bersama Departemen PUTL (Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik) dengan menghelat seminar bertema “Introduksi Tenaga Nuklir Guna Pembangkit Listrik di Indonesia” di Cipayung pada November 1968 dan seminar kedua di Yogyakarta pada 19-24 Januari 1970.
“Seminar nuklir yang kedua inilah yang menghasilkan rekomendasi kepada pemerintah agar membentuk panitia antar-departemen untuk menangani masalah persiapan pembangunan PLTN. Panitia ini dibentuk bersama-sama oleh Departemen PUTL dan BATAN dalam bulan April 1972 dan diberi nama Komisi Persiapan Pembangunan PLTN (KP2-PLTN),” ungkap Budi Sudarsono dalam makalah “Persiapan Pembangunan PLTN: Sebuah Laporan Perkembangan” yang terhimpun dalam Pemilihan Lokasi Pusat Listrik Tenaga Nuklir.
Baca juga: Mula Riset Radioaktif
Dari serangkaian riset dan penghimpunan data, KP2-PLTN lantas mengambil kesimpulan bahwa jika wacana PLTN direalisasikan, lokasi pertama yang paling tepat adalah di Semenanjung Muria, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Studi-studi lanjutan juga dilakoni untuk mengulas blueprint-nya, untuk kemudian didiskusikan secara terbuka dalam seminar “Teknik Tenaga Listrik II” di Bandung pada Oktober 1975.
“Dalam seminar ini telah dibahas kembali dalam suatu forum nasional. Seminar tersebut menganggap ramalan sebesar 64.000 ribu MW untuk tahun 2000 sebagai ‘tidak terlalu tinggi’ dan memberikan konfirmasi tentang peranan tenaga nuklir dalam tahun 2000 sebesar antara 15.000-25.000 MW,” tambahnya.
Upaya itu lagi-lagi mentok lantaran pemerintahan Soeharto menyatakan keraguannya pada sisi ekonominya jika dibandingkan dengan PLTU. KP2-PLTN pun dibubarkan pada 1982. Namun nafas wacana PLTN dihembuskan lagi oleh Menteri Riset dan Teknologi B.J. Habibie setahun berselang, seiring dibangunnya Reaktor Nuklir Serba Guna (RSG) Serpong (kini RSG G. A. Siwabessy) di kawasan Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Puspiptek), Tangerang.
“Pak Habibie kemudian menggabungkan pembangunan reaktor riset yang ada di Serpong ini, ada kaitannya antara PLTN yang akan dibangun di Muria. Memang Pak Habibie sudah melakukan banyak persiapan, pembangunan di sini, persiapan supaya kita siap menerima PLTN,” ujar direktur Pengelolaan Fasilitas Ketenaganukliran (PFK) ORTN-BRIN, Dr. R. Muhammad Subekti saat berbincang dengan Historia di RSG Siwabessy.
Baca juga: Jejak Sains Bung Karno untuk Hadapi Tantangan Zaman
Tetapi lagi-lagi PLTN masih sebatas wacana. Selain pemerintah tidak satu suara, gelombang demonstrasi sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang mengkhawatirkan dampak lingkungannya menggema begitu kencang. Alhasil, meski PLTN masuk dalam dalam (Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita) VI, ia tetap kandas lagi seiring DPR mengesahkan Undang-Undang Ketenaganukliran (UUK) pada 1996 yang mencoret wacana PLTN.
“Yang penting buat kita sebenarnya, nuklir ini seperti pisau bermata dua. Di satu sisi membawa manfaat yang luar biasa dalam rangka mempercepat proses pembangunan. Di sisi lain potensial bisa melahirkan malapetaka dikarenakan kebocoran dan manajemen yang tidak akurat. Adanya gejala demonstrasi sesuatu hal yang wajar kalau kita lihat dari segi kepedulian mereka, cuma kita tidak boleh berhenti di sini,” ujar Ketua Pansus RUUK Andi Mattalatta di majalah Parlementaria No. 17 tahun 1996.
Tak ayal sejak saat itu hingga kini, BATAN (sekarang ORTN-BRIN) hanya bisa melakukan banyak kajian dan pengembangan reaktornya untuk meyakinkan pada publik bahwa Indonesia sudah mampu menanggulangi sejumlah kekhawatiran dalam aspek lingkungan. Mulai dari kekhawatiran akan ancaman kebocoran reaktor hingga pengolahan limbahnya.
Baca juga: Serba-serbi Chernobyl
Subekti mengklaim instalasi PRTF (Power Ramp Test Facility) di Gedung 80, kawasan Puspiptek, mampu mengantisipasi kebocoran radioaktifnya. Instalasi PRTF dan reaktornya juga mampu mensimulasikan kecelakaan serupa di PLTN Three Mile Island (Amerika Serikat) pada 1979, Chernobyl (Ukraina) di 1968, dan Fukushima (Jepang) di 2011.
“Di (Puspiptek) Serpong ini juga ada gedung pengolahan limbah radiasi. Sudah sejak 1980-an Pak Habibie sudah melakukan banyak persiapan, pembangunan di sini, persiapan supaya kita siap menerima PLTN. Tidak hanya menerima teknologi saja, kita juga mempunyai peralatan uji, peralatan macam-macam, baik itu uji bahan bakar, uji limbah, uji sistem reaktor, uji kecelakaan,” imbuhnya.
Hanya saja, harus diakui dari sisi ekonominya PLTN masih lebih mahal jika dikomparasi dengan PLTU. Harga yang mahal itu, ungkap Djarot, karena investasi untuk instrumen-instrumen keselamatan dan keamanannya juga besar.
“Mungkin (investasi awalnya) empat kali PLTU dengan daya yang sama. Tetapi kelebihannya PLTN itu bisa hidup sampai 60 tahun. Karena keselamatan dan keamanan kita ketat terjaga sehingga kita mampu menjaga performance itu jadi panjang. Mungkin kalau PLTU 25 tahun. Jadi ada kompensasi mahal tapi usianya bisa panjang,” jelas Djarot.
Terlepas dari semua itu, Indonesia mestinya sudah insyaf untuk tak mau ketinggalan dari sesama negara berkembang yang sudah merencanakan memasok energi bersih mereka dengan PLTN. Di Asia, negara “antah-berantah” macam Bangladesh sudah akan punya PLTN di akhir tahun 2023. Sementara Malaysia mencanangkan membangun PLTN pertamanya pada 2030.
Baca juga: BPPT, Riwayatmu Kini
Tambahkan komentar
Belum ada komentar