Doa yang Terkabul
Nama adalah doa. Ini terjadi di antara dua Wardiman yang berhasil dalam masa yang berbeda.
LAMA tak terlihat, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wardiman Djojonegoro masih terlihat bugar di usianya yang nyaris 90 tahun. Dia bercerita banyak hal ketika menyambangi redaksi Historia pada Rabu (13/9/2023) lalu. Termasuk tentang seseorang yang berpengaruh dalam dirinya dan muasal namanya.
Selain ayah-ibunya, yakni Moetallip dan Wartinah, kakak dari ibunya yang disapanya Tante Par juga berpengaruh dalam hidup Wardiman. Tiap ibunya hendak melahirkan, kata Wardiman, Tante Par selalu ada membantu meski harus melakukan perjalanan jauh dari tempat asalnya di Purworejo.
“Waktu di Madura, waktu ibu saya mulai mengandung, Beliau memanggil budhe saya. Namanya Tante Par. Supaya mendampingilah,” ujar Wardiman mengisahkan detik-detik menjelang dirinya dilahirkan pada 22 Juni 1934.
Ketika remaja duduk di bangku SMP, Wardiman mencari tahu muasal namanya. Dia bertanya pada orangtuanya. Dari jawaban atas pertanyaannya itulah dia menjadi tahu bagaimana dirinya bisa dinamakan Wardiman.
“Konon yang memberi saya nama Wardiman adalah Tante Par. Nama Wardiman juga memiliki kesamaan dengan nama Wartinah. Di Jawa Tengah ketika itu ada seorang berpangkat kapten bernama Wardiman yang terkenal pintar,” kata Wardiman Djojonegoro dalam Sepanjang Jalan Kenangan.
Tante Par memberi nama Wardiman kepada keponakannya itu tentu dengan harapan agar kelak sang keponakan “sama pintarnya” dengan si kapten.
Kendati sudah tahu tentang muasal namanya, Wardiman belum tahu siapa sebenarnya Kapten Wardiman. Apa profesi dan bagaimana prestasi si kapten, semua masih gelap dalam kepala Wardiman.
Mulanya Wardiman Djojonegoro mengira Kapten Wardiman adalah kapten kapal. Sebab, di zaman nan rasis itu sulit menemukan sosok kapten pribumi dalam ketentaraan kolonial KNIL.
Baca juga: Wardiman Menyambut Kemerdekaan
Kapten Wardiman yang dimaksud Tante Par itu berasal dari Purwokerto, di barat Purworejo. Menurut Iip Dzulkifli Yahya dalam Raden Aria Wiraatmadja Perintis Bank Pribumi, Kapten Wardiman adalah putra patih Purwokerto yang merintis pendirian Bank Rakyat Indonesia (BRI), Raden Aria Wirjaatmatmadja. Kapten Wardiman secara resmi tercatat lahir pada 29 Oktober 1890. Dia lulusan kursus perwira bumiputra di Sekolah Militer Jatinegara. Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit: De IndonesischeOofficieren uit het KNIL 1900-1950 mencatat, Wardiman lulus dan dilantik menjadi Letnan Kelas Dua Infanteri pada akhir 1910.
Letnan Wardiman sempat bertugas di beberapa batalyon infanteri di Jawa. Setelah naik pangkat menjadi letnan kelas satu pada 1914, dia sebentar ditempatkan di Riau pada 1915 dan kemudian di kirim ke Kalimantan Timur. Koran De Avondpost tanggal 6 Juli 1916 memberitakan pada akhir Mei 1916, Letnan Wardiman dan pasukannya menangkap Pangeran Singa Maulana dan Semarangkitin Tabalong yang memberontak di daerah Kabupaten Pasir, Kalimantan Timur.
Prestasi itu membuat karier Lettu Wardiman moncer. Bouman mencatat, pada 1921 Wardiman telah berpangkat kapten. Setahun kemudian, dia mengikuti latihan calon Navigator KNIL di Waarnemerschool, Bandung. Setelah lulus, sekitar 1923, dia kembali ke batalyon infanteri di Magelang. Namun, pada pertangahan 1924, Kapten Wardiman justru membuat keputusan mengejutkan: mengundurkan diri dari KNIL. Dia meninggalkan kehidupannya sebagai orang yang disegani dan bergaji besar.
Eks Kapten Wardiman, yang kemudian memakai nama belakang Wirjosapoetro, menghabiskan waktunya antara lain dengan berhubungan dengan orang-orang Taman Siswa dan Boedi Oetomo. Sikap politik itulah yang membuat Wardiman pada 1945 bergabung dengan tentara Indonesia. Bahkan, dia menganjurkan anak-anaknya ikut bersumbangsih dalam perjuangan mempertahkan kemerdekaan Indonesia. Dengan pangkat kolonel yang disandangnya di dinas ketentaraan Indonesia, Wardiman menyumbangkan ilmu dan pengalaman militernya kepada junior-junior di Akademi Militer Yogyakarta sewaktu dia menjadi wakil direktur akademinya. Juga di Jawatan Penerbangan Sipil Angkatan Udara Republik Indonesia kemudian ketika dia memimpinnya dengan pangkat komodor.
Baca juga: Ketika Wardiman Djojonegoro Dimarahi Bang Ali
Jadi ketika Wardiman Djojonegoro lahir, Kapten Wardiman yang pintar itu sudah pensiun dari KNIL. Wardiman Djojonegoro yang anak guru ini tumbuh menjadi remaja yang pintar pula. Tak masuk tentara, dia memilih menjadi ahli teknologi. Sepengakuan Wardiman Djojonegoro kepada Historia, mulanya dia ingin belajar ilmu kimia di Universitas Indonesia cabang Bandung—yang kemudian menjadi Institute Teknologi Bandung (ITB). Namun karena dipanas-panasi kawannya yang ingin belajar di jurusan teknik mesin, dia akhirnya ikut belajar di teknik mesin pada kampus yang sama. Dia kemudian mendalaminya ketika kuliah di Aachen (Jerman) dan Delft (Belanda). Titel Profesor Doktor-Ingenieur di bidang teknologi berhasil diraihnya.
Setelah menjadi asisten menteri Riset dan Teknologi dan pejabat penting di Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, pada 1993 Wardiman Djojonegoro diangkat menjadi menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI. Perjuangannya mencetak lulusan sekolah menengah yang siap bekerja sangatlah berat lantaran tidak didukung kebanyakan orang di lingkaran kekuasaan Orde Baru. Namun, dia pantang menyerah.
Pun setelah tak jadi menteri, Wardiman tetap berjuang. Menggeluti literasi terkait sejarah dan sastra kuno, Wardiman berhasil membuat cerita Panji diterima sebagai MOW UNESCO. Kini dia hendak mengkurasi lagi surat-surat Kartini.
Dengan segala yang dilakukannya demi kemajuan ilmu pengetahuan di Indonesia, Wardiman Djojonegoro telah seperti Wardiman Wirjosapoetro yang telah mendukung kemerdekaan Indonesia. Doa Tante Par, setelah membantu ibunya melahirkannya, akhirnya terkabul.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar