Yap Thiam Hien Membela Soebandrio
Pengacara dalam kasus-kasus yang menarik perhatian publik seperti perkara Soebandrio. Yap Thiam Hien membela kemanusiaan.
Dalam kasus besar yang menarik perhatian masyarakat, pengacara kerap menjadi sorotan. Pembela korban atau pelaku itu kerap tampil mewakili kliennya. Dari merekalah publik mendapatkan banyak informasi seputar kasus yang tengah bergulir. Bahkan, seperti dalam kasus pembunuhan Brigadir Nopriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, pengacaranya menyampaikan keterangan-keterangan yang mengejutkan.
Dalam sejarah, salah satu pengacara yang menjadi perhatian publik adalah Yap Thiam Hien, yang dijuluki sang pendekar keadilan, karena menjadi pembela para terdakwa dalam kasus-kasus besar.
Sam Setyautama dalam Tokoh-tokoh Etnis Tionghoa di Indonesia menulis, Yap Thiam Hien pernah membela perkara Lim Koe Nio, miliarder yang berafiliasi dengan KMT (Kuomintang) di Surabaya; perkara dr. Soebandrio, Wakil Perdana Menteri dalam Mahmilub (Mahkamah Luar Biasa); perkara Oei Tjoe Tat, Menteri Negara Pembantu Sukarno tahun 1976; dan perkara Lie Hok Tay, Direktur PT Quick.
Baca juga: Yap Thiam Hien dari Pengajar ke Pengacara
Yap Thiam Hien lahir di Banda Aceh pada 25 Mei 1913 sebagai anak pertama pasangan Yap Sin Eng dan Hoan Tjing Nio. Ia meraih gelar sarjana hukum, Mr. (Meester in de Rechten) dari Universiteit Leiden, Belanda pada 1947. Sejak 1948, dia memutuskan menjadi pengacara profesional.
Sebagai pengacara, Yap Thiam Hien dikenal keras, tegas, dan jujur. Dia menjadi sorotan publik ketika membela Soebandrio dalam Mahmilub. Pasalnya, Soebandrio tidak hanya dituding terlibat Gerakan 30 September 1965, dia juga musuh politik Yap.
Sebelum peristiwa G30S, Soebandrio memiliki kekuasaan besar. Sebagai tangan kanan Presiden Sukarno, dia menjabat Wakil Perdana Menteri, sebelumnya Menteri Luar Negeri, dan Kepala Badan Pusat Intelijen.
Dalam Seri Buku Tempo, Yap Thiam Hien 100 Tahun Sang Pendekar Keadilan disebutkan, Hurustiati, istri Soebandrio, datang ke rumah Yap pada akhir September 1966, meminta bantuan hukum untuk suaminya. Permintaan itu menimbulkan kekhawatiran pada keluarga Yap karena Soebandrio disudutkan di mana-mana. Bahkan, Soebandrio disebut Durno, guru Kurawa yang licik dan jahat dalam pewayangan.
Meski ditentang istri, Tan Gien Khing Nio, Yap Thiam Hien, yang dikenal sebagai antikomunis, bersedia membela Soebandrio. Di sisi lain, Yap juga ditunjuk pemerintah untuk menjadi pengacara Soebandrio.
Penunjukkan itu karena beberapa hari sebelum sidang digelar belum ada pengacara yang bersedia mendampingi Soebandrio. Seorang pengacara, Subagio Djojopranoto memberi saran kepada Mayor Soewarno untuk meminta Yap Thiam Hien menjadi pengacara Soebandrio.
Sidang pertama Soebandrio digelar pada 1 Oktober 1966 di Mahmilub –kini gedung Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Sekitar 5.000 orang mengajukan permohonan untuk menyaksikan sidang secara langsung, namun hanya 400 orang yang dibolehkan. Sidang perdana dipimpin Letnan Kolonel Ali Said dan Letnan Kolonel Achmad Durmawel sebagai oditur.
Daniel S. Lev dalam No Concenssions The Life of Yap Thiam Hien, Indonesian Human Rights Lawyer menyebut sebelum sidang dimulai Yap dan Subagio sempat makan siang bersama Ali Said dan sejumlah hakim lainnya, termasuk Letnan Kolonel Achmad Durmawel. Saat makan siang bersama, Yap meminta agar diberi kebebasan untuk menanyai saksi yang disetujui oleh Ali.
Selain itu, Yap Thiam Hien mendesak agar sidang disiarkan secara penuh melalui radio mengingat pentingnya persidangan tersebut. Yap juga meminta agar jurnalis tidak dibatasi saat meliput persidangan Soebandrio.
Digelar tepat setahun setelah G30S, persidangan Soebandrio tak hanya menarik perhatian publik Indonesia tetapi juga kalangan internasional. Dalam persidangan, Soebandrio didakwa telah bersekongkol dengan tokoh Partai Komunis Indonesia dan sejumlah perwira militer untuk mempersiapkan kudeta.
“Buktinya, pada Mei 1965, sebagai Kepala Badan Pusat Intelijen, Soebandrio tidak menginvestigasi adanya gosip Dewan Jenderal. Lalu, pada Juli 1965, ia memanggil D.N. Aidit pulang dari perjalanannya ke Rusia. Pemanggilan Aidit ini dinilai sebagai bagian dari persiapan coup,” kata Durmawel sebagaimana dikutip dalam Yap Thiam Hien 100 Tahun Sang Pendekar Keadilan.
Menurut Durmawel sikap Soebandrio yang melanjutkan perjalanannya ke Sumatra ketika peristiwa penculikan para jenderal tengah terjadi juga mengindikasikan keterlibatannya dalam G30S. Durmawel menilai sebagai Kepala Badan Pusat Intelijen, seharusnya Soebandrio segera kembali ke Jakarta.
Baca juga: Memburu Soebandrio
Mendengar sejumlah dakwaan kepada Soebandrio, Yap Thiam Hien tidak langsung membantahnya. Ia justru mempertanyakan legalitas Mahmilub yang secara konstitusional tidak sah. Dasar pembentukan peradilan militer itu hanya Keputusan Presiden Nomor 16 Tahun 1963. Padahal, Yap merujuk pada Pasal 21 Undang-Undang Dasar 1945, bahwa setiap organisasi peradilan harus dibentuk berdasarkan undang-undang.
Selain menilai dasar hukum peradilan bermasalah, Yap Thiam Hien juga menyebut Soebandrio semestinya tak bisa diseret ke pengadilan militer. Yap menyerang hakim Ali Said yang menurutnya tak bisa menyidangkan Soebandrio karena pangkatnya lebih rendah. Menurut Yap, meski orang sipil, jabatan sebagai Kepala Badan Pusat Intelijen membuat Soebandrio mendapat pangkat setara dengan Marsekal Madya. Sementara itu, bila mengacu pada ketentuan peradilan militer, pangkat hakim harus lebih tinggi dari pangkat terdakwa.
“Sebagai Kepala Badan Intelijen, Soebandrio memang mendapat bisikan tentang gerakan Dewan Jenderal. Bisikan itu diterima dari sejumlah intel dari setiap angkatan,” kata Yap Thiam Hien dalam persidangan.
Oleh karena itu, Yang menyebut kepala dinas masing-masing angkatan itu juga harus dipersalahkan dengan tuduhan yang sama. Mengenai pemanggilan Aidit, Yap membuktikan bukan Soebandrio yang memanggil Ketua CC PKI tersebut melainkan Presiden Sukarno. Berdasarkan hal tersebut, Yap menyebut semua dakwaan oditur lemah dan hanya berdasarkan kesimpulan para saksi yang subjektif.
Baca juga: Drama Penangkapan D.N. Aidit
Sesungguhnya, sejak awal Yap Thiam Hien telah menyadari bahwa persidangan Soebandrio hanya upaya untuk menyingkirkan tokoh-tokoh Orde Lama secara legal. “Orde Lama seakan-akan semuanya des duivels (setan) dan Orde Baru segalanya des engelen (malaikat). Tanpa disadari, itu sama saja mengaku diri sendiri sebagai anak setan,” kata Yap saat membacakan pleidoi pada 17 Oktober 1966.
Meski bukti keterlibatan Soebandrio dalam G30S tidak cukup kuat, hakim Mahmilub tetap menjatuhkan vonis mati kepada Soebandrio pada 25 Oktober 1966. Namun, Soebandrio kemudian mengajukan grasi sehingga hukumannya diubah menjadi seumur hidup.
“Yap memang sering kalah di pengadilan, sebab dia membela bukan untuk menang, melainkan untuk membela kemanusiaan,” kata Adnan Buyung Nasution, pengacara senior yang dekat dengan Yap, dalam Yap Thiam Hien 100 Tahun Sang Pendekar Keadilan.
Baca juga: Meringkus Loyalis Sukarno
Yap Thiam Hien tidak hanya membela Soebandrio dalam kasus G30S. Pada 1975–1978, dia juga menjadi pengacara untuk Kolonel Abdul Latief, Asep Suryawan, dan Oei Tjoe Tat. Selain itu, pada 1973 Yap melalui Persatuan Advokat Indonesia turut menuntut agar semua tahanan politik di Pulau Buru dibebaskan. Anggota Petisi 50 yang mengkritisi pemerintah Orde Baru ini kemudian menjadi pembela kasus subversif, yaitu Peristiwa Tanjung Priok dan pengeboman BCA pada 1984.
Di satu sisi Yap Thiam Hien membela para terdakwa, namun di sisi lain dia juga pernah ditahan. Pada 1967, Yap diperkarakan karena mencemarkan nama baik Jaksa Tinggi Simandjuntak dan Inspektur Jenderal Polisi Mardjaman. Dia ditangkap dan ditahan selama beberapa minggu karena menuduh jaksa dan polisi itu telah memerasnya. Perkara ini dikenal sebagai Yap Affair.
“Ia dituntut pidana oleh kejaksaan, tetapi akhirnya dilepaskan oleh Mahkamah Agung dan dibebaskan dari segala tuduhan,” tulis Sam Setyautama.
Pada 1 Januari 1968, Yap kembali ditahan karena dituduh terlibat PKI. Setelah peristiwa Malari (Malapetaka 15 Januari 1974), dia ditahan selama hampir setahun tanpa proses peradilan. Ia dianggap telah menghasut mahasiswa melakukan demonstrasi besar-besaran.
Baca juga: Jalan Berliku Lembaga Bantuan Hukum
Keberpihakannya pada kemanusiaan mendorong Yap Thiam Hien bersama Wiratmo Sukito, Dr. Halim, dan Aisyah Amini, mendirikan lembaga Hak Asasi Manusia di Jakarta pada 1968 sekaligus perwakilan Amnesti Internasional yang berpusat di London. Pada 1970, dia mendukung pendirian Lembaga Bantuan Hukum (LBH) di Jakarta.
Pada 1980, Yap Thaim Hien mendapat gelar doctor honoris causa bidang ilmu hukum dari Vrije Universiteit, Belanda. Kiprah Yap dalam hukum dan hak asasi manusia mendapat perhatian dari luar negeri. Pada 1987, ia mendapat penghargaan The William J. Brennan Human Rights Award dari Rutgers School of Law-Camden, Amerika Serikat.
Yap Thiam Hien meninggal dunia pada 25 April 1989. Sejak 1992, namanya diabadikan sebagai penghargaan bagi tokoh pejuang hak asasi manusia: Yap Thiam Hien Award.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar