Hurustiati Subandrio, Dokter yang Aktif dalam Gerakan Perempuan
Kiprah Hurustiati, istri Menteri Luar Negeri Subandrio, dokter yang peduli pada kemajuan kaum putri.
DALAM perjamuan malam yang diadakan Presiden Sukarno dan dihadiri oleh Perdana Menteri Djuanda, sejumlah menteri luar negeri negara sahabat, Hurustiati Subandrio ikut hadir menemani suaminya, Menteri Luar Negeri Subandrio. Ia bahkan menghampiri Menteri Luar Negeri Uni Soviet Andrey Gromyko yang duduk di pojok ruangan dan terlihat ogah ikut berdansa, dan membujuknya ikut menari selepas perjamuan. Ajakan Hurustiati pun tak bisa ditolak Gromyko.
“Tak mungkin seorang gentleman menolak undangan seoang lady, ya toh?” tulis Rosihan Anwar dalam bukunya Sejarah Kecil “Petite Histoire” Indonesia. Menteri Uni Soviet yang terkenal berwajah muram itu pun menari mengikuti alunan musik. Ia memegang tangan Husrustiati yang berdansa berputar-putar sekeliling partner-nya.
Itu bukan kali pertama Hurustiati menemani suaminya. Pada 1947, Hurustiati mengikuti suaminya ke London sebagai perwakilan Pemerintah Republik Indonesia. Sembari mengikuti suaminya, ia kuliah di London School of Economics and Political Science dan meraih gelar doktor dengan disertasi berjudul “Javanese Peasant Life”.
Baca juga: Percampuran di Balik Tembok Rumah
Ia juga aktif menulis. Salah satu karyanya ialah buku tentang Kartini. Beragam artikel bertema perempuan dan kesehatan telah dituliskannya. Kumpulan tulisan pendeknya dibukukan oleh Seksi Kebudayaan Kedutaan Besar Indonesia di London dengan judul Speeches and Lectures.
Ketika pada 1954 Subandrio ditugasi menjadi duta besar di Moskow, Hurustiati kembali ikut menemani. Sekembalinya dari Moskow pada 1956, Hurustiati ditunjuk sebagai kepala Bagian Kesehatan Masyarakat di Kementerian Kesehatan.
Hurustiati lahir di Lawang, Jawa Timur. Ia menyelesaikan studi kedokterannya di Jakarta pada 1944 dan membuka praktik di Semarang hingga 1946. Cora Vreede-de Stuers dalam bukunya Sejarah Perempuan Indonesia menyebut Hurustiati aktif di gerakan perempuan. Ia menjadi salah satu utusan dalam East Asia Conference di India bersama Soetiah Soerjohadi dan Nyonya Hamdani pada 1946. Kondisi Indonesia yang berada di tengah perang mempertahankan kemerdekaan tak menghalangi mereka untuk menjalin hubungan dengan gerakan perempuan di dunia internasional.
Baca juga: Dokter Perempuan Pertama Indonesia
Sebagai dokter, ahli antropologi, sekaligus aktivis perempuan, Hurustiati juga amat peduli pada kesehatan kaumnya. Suara Karya, 6 Juni 1989 mengabarkan, Hurustiati juga mempelajari soal kesehatan reproduksi perempuan dan penggunaan kontrasepsi selama tinggal di London. Ia kemudian menjalin kontak dengan International Planned Parenthood Federation (IPPF) agar mendapat penjelasan lebih mendalam tentang penggunaan kontrasepsi dari segi medis dan sosial.
Bersama tokoh perempuan lain, Hurustiati mendirikan klinik KB di Gedung Wanita, Jakarta pada 1956. Di Klinik ini ia memberi layanan Keluarga Berencana meski pelayanannya masih sangat terbatas.
Ia kemudian menjalin kontak dengan koleganya sesame dokter dan aktivis perempuan seperti dr. Soeharto, dr Hanifa Wiknjosastro yang mengambil pasca-sarjana kebidanan di London, dan ahli hukum Nani Soewondo. Bersama-sama mereka mendirikan Perkumpulan Keluarga Berencana (PKB) pada 23 Desember 1957, di Jakarta.
Baca juga: Malu-Malu Mau pada Kondom
Lewat PKB, para dokter, rohaniawan, dan aktivis perempuan memberi penerangan tentang masalah perkawinan, pendidikan seks, sterilisasi dalam perkawinan, dan memberikan nasihat mengenai hal-hal yang berkaitan dengan pengendalian kelahiran.
Sebagai anggota Ikatan Sarjana Wanita Indonesia (ISWI), ia juga aktif di federasi perempuan Kongres Wanita Indonesia (Kowani). Pada Mei 1957, ia mewakili Kowani dalam konferensi pendahuluan perempuan Asia dan Afrika di Karachi. Ia sering dikirim sebagai perwakilan Indonesia dalam kongres perempuan Internasional. Pada 1959 ia dipercaya sebagai ketua seksi Indonesia di International Federation of University Women.
Pada Kongres Wanita Indonesia XII tahun 1961, Hurustiati duduk sebagai pimpinan kongres bersama Maria Ullfah, Titi M. Tanumijaya, Burdah Yusupadi, dan Mahmudah Mawardi. Kongres sepakat memilih Sembilan perempuan dari beragam organisasi untuk duduk sebagai dewan pimpinan. Hurustiati terpilih sebagai sebagai Dewan Pimpinan Kongres bersama delapan perempuan lainnya. Ia ditemani Maria Ullfah, Burdah Yusupadi, Titi M. Tanumijaya, Mahmudah Mawardi, Nyonya Mudikdio, Yetty Rizali Noor, Widya Latief, dan Abednego.
Baca juga: Chailan Si Peliput Kongres Perempuan Pertama
Dicatat dalam Sejarah Setengah Abad Kesatuan Pergerakan Wanita Indonesia, Hurustiati kembali terpilih sebagai Dewan Pimpinan Kongres Wanita Indonesia periode 1964-1967. Dalam periode tersebut ia aktif dalam kunjungan ke beberapa negara, seperti Korea Utara pada September dan ke Tiongkok pada Oktober 1946. Ia mengetuai keberangkatan rombongan yang terdiri dari Nyonya D. Sukahar (perwakilan Bhayangkari), Mariam Katasumpena (Muslimat NU), Suwarti Suwarto (Gerwani), dan Chamsinah Ali Dahlan (Perwamu) itu.
Pada Januari 1965, Hurustiati kembali melakukan kunjungan mancanegara mewakili Kowani. Kali ini ia ke Uni Soviet atas undangan Gabungan Wanita Uni Soviet dan tinggal selama tiga minggu di sana. Anggota yang menemani Hurustiati ialah Nyonya B. Simorangkir, Enny Busyiri, Ratjih Natawidjaja, dan Mimi Suparmi.
Keaktifan Hurustiati di Kowani kemudian terhenti pasca-Peristiwa 1965. Hurustiati Subandrio dikeluarkan dari Kowani setelah suaminya, Subandrio, ditangkap dan dipenjara pada 1966.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar