Sukarno Memimpikan Presiden Penggantinya
Presiden RI yang pertama ini memimpikan Jenderal Yani sebagai sosok penggantinya. Sayangnya mimpi itu tidak pernah terjadi.
Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono bermimpi. Suatu hari, Presiden Joko Widodo mendatangi kediaman SBY di Cikeas. Mereka kemudian menjemput Ibu Megawati di rumahnya, Jl. Teuku Umar 29. Selanjutnya, SBY, Jokowi, dan Mega bersama-sama menuju Stasiun Gambir.
Ada kejutan di Stasiun Gambir karena presiden RI ke-8 telah menunggu ketiganya. Sang presiden yang baru terpilih itu telah membelikan karcis kereta api Gajayana tujuan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebelum berangkat, SBY, Jokowi, Mega, dan presiden RI ke-8 itu sempat ngopi-ngopi bareng sambil bercengkrama. Usai ngopi, SBY, Jokowi, dan Mega naik kereta api dengan tujuan masing-masing. Presiden RI ke-8 mengantarkan kepergian mereka.
Di perjalanan, SBY, Jokowi, dan Mega menyapa segenap rakyat dengan hangat. “Rakyat yang pernah kami pimpin dengan penuh kesungguhan hati. Memimpin bangsa yang tak pernah sepi dari tantangan,” kata SBY. Setibanya di Solo, Jokowi dan SBY turun dari kereta. Jokowi kembali ke kediamannya sedangkan SBY lanjut naik bus ke kampung halamannya di Pacitan. Sementara itu, Ibu Mega terus naik kereta sampai ke Blitar untuk berziarah ke makam Bung Karno. Itulah mimpi indah SBY yang dituangkannya dalam cuitan Twitter-nya (19 Juni 2023) tanpa menjelaskan arti maupun tafsiran.
Dalam politik, mimpi boleh saja jadi alat legitimasi diri. Apakah mimpi SBY kelak bakal terjadi, kita tunggu saja dinamika politik selanjutnya. Tapi, mimpi pun tidak melulu menjadi kenyataan. Seperti yang terjadi pada Presiden RI ke-1 Sukarno, yang memimpikan sosok penggantinya. Cerita tentang mimpi Bung Karno ini disaksikan oleh Menteri Pengairan Dasar pada Kabinet Dwikora Petrus Kanisius Haryasudirja Sasraningrat.
Haryasudirja masih ingat, pada hari Minggu, 12 September 1965, dirinya bersama Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad) Letjen Ahmad Yani duduk satu mobil. Mereka berangkat ke Bogor memenuhi panggilan Presiden Sukarno di Istana Bogor. Dalam perjalanan, Haryasudirja terlibat pembicaraan serius dengan Ahmad Yani. Isi pembicaraan itu dituturkan ulang dalam biografi Prof. Dr. Ir. PK Haryasudirja: Tokoh Pejuang Kemerdekaan, Pembangunan dan Pendidikan yang disusun J. Pamudji Suptandar, dkk. Cengkrama itu sekaligus menjadi pertemuan terakhir antara Yani dan Haryasudirja.
Yani mengatakan, sepekan sebelumnya, dia mendapat panggilan untuk menghadap Bung Karno di Istana Negara. Ketika itu pukul 3 sore, Yani sedang main golf. Dengan pakaian golf yang masih melekat, dia bergegas menuju Istana. Karena datang dengan pakaian non formal, penjaga Istana tidak mengenali Yani sehingga menpangad itu dilarang masuk. Baru setelah dipanggil ajudan presiden Kolonel Saelan barulah Yani bisa masuk Istana. Di beranda belakang Istana Merdeka, Bung Karno telah menunggu. Yani dipersilakan duduk, sementara Bung Karno membuka obrolan.
“Yani, saya baru tidur siang dan dalam tidur saya menerima wangsit dari Yang Maha Kuasa, yaitu kalau ada apa-apa dengan saya, sehingga saya tidak dapat menjalankan tugas kepresidenan, ataupun saya mati, maka kau harus menggantikan saya menjadi Presiden Republik Indonesia,” kata Bung Karno.
Baca juga: Wangsit Sarwo Edhie Wibowo
Sontak Yani tercekat mendengarnya. Alih-alih menerima wangsit tersebut, dia malah bertanya balik. Mengapa bukan Waperdam I Soebandrio, Waperdam II Leimana, Waperdam III Chaerul Saleh, atau atasannya sendiri Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal Abdul Haris Nasution. Semuanya dijawab tidak oleh Presiden Sukarno.
“Tidak Yani, harus kau yang menggantikan saya, sudah jelas dalam wangsit itu,” demikian Sukarno menandaskan.
Yani memang digadang-gadang sebagai suksesor Sukarno. Ajudan Sukarno yang menjabat Kepala Staf Tjakrabirawa, Kolonel Maulwi Saelan, turut membenarkan soal penujukan Yani. Dalam biografinya Maulwi Saelan: Penjaga Terakhir Soekarno yang disusun Asvi Warman Adam dkk., Maulwi mengakui Bung Karno pernah berpesan bahwa Yani adalah penggantinya. Selain Maulwi Saelan, Jenderal Nasution juga menilai kedekatan Yani dengan Sukarno terbilang erat. Dalam berbagai kegiatan, Bung Karno lebih suka didampingi oleh Yani.
“Memang sebagai Kepala Staf KOTI, ia (Yani) semakin teriikat oleh tugas mendampingi Panglima Tertinggi, apalagi dengan memuncaknya usaha pembebasan Irian Barat,”sebut Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama.
Baca juga: Yani yang Flamboyan, Nasution yang Puritan
Niatan Sukarno menjadikan Ahmad Yani sebagai suksesornya nyatanya kandas. Yani terbunuh dalam penculikan Gerakan 30 September (G30S) 1965. Jenderal TNI (Anumerta) Ahmad Yani kelak lebih dikenal sebagai Pahlawan Revolusi dan bukannya Presiden RI ke-2 seperti harapan Sukarno. Sebuah potret menampilkan ratapan tangis Bung Karno yang terisak-isak kala menziarahi makam Yani di TMP Kalibata pada 7 Oktober 1966. Sukarno sendiri kemudian digantikan oleh Jenderal Soeharto. Pergantian presiden dari Sukarno ke Soeharto menandai kekuasaan rezim otoriter Orde Baru selama tiga dekade.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar