Suami-Istri Cerai Gara-gara Beda Partai
Ketika pemilu menyebabkan prahara rumah tangga. Pasca Pemilu 1955, pandangan politik yang berseberangan diantara pasutri turut meningkatkan angka perceraian.
Beda pilihan dalam pemilihan umum ada kalanya membuat hubungan antar-individu jadi renggang. Perseteruan saban lima tahunan ini melingkupi berbagai kalangan dan lingkungan. Mulai dari media sosial, tempat kerja, tempat tinggal, hingga keluarga. Fenomena itu masih terjadi pula pada pemilihan umum tahun ini.
Baru-baru ini dikabarkan, seorang pria di Kecamatan Batu Aji, Batam, Kepulauan Riau (Kepri) melakukan kekerasan kepada istrinya. Aksi KDRT itu dipicu karena sang istri berbeda pilihan calon presiden dengan suaminya. Mengetahui istrinya berbeda pilihan capres, sang suami memukul bagian belakang kepala istrinya.
“Pengakuan korban pilih capres nomor urut 2 Prabowo-Gibran sedangkan sang suami memilih capres nomor urut 1, Anis-Muhaimin. Laporan korban masuk pada 15 Februari kemarin,” ungkap Kanit Reskrim Polsek Batu Aji Iptu Yudha Firmansyah, seperti dilansir dari detik.com.
Baca juga: Gambar Partai Dilumuri Tahi
Dalam demokrasi, perbedaan pilihan politik lumrah terjadi, bahkan di antara suami dan istri. Namun, di Indonesia, kasus keretakan rumah tangga yang berpangkal dari perbedaan pilihan capres mulai menggeliat sejak Pemilu 2009. Kalau ditarik lagi lebih ke belakang, perkara beda pilihan politik antara suami-istri sebenarnya sudah terjadi pada pemilu pertama tahun 1955. Dalam beberapa kasus bahkan berujung perceraian.
Pemilu 1955 diselenggarakan pada 29 September 1955. Menjelang pemilu, tiap-tiap partai menggencarkan kampanye bahkan saling sindir dan serang. Setelah pemilu berakhir, angka perceraian di beberapa daerah meningkat. Persoalan yang dihadapi pasutri memang bermacam-macam.
Menurut data Kantor Urusan Agama Kabupaten Cilacap, banyak perceraian yang terjadi selama bulan Oktober dan akhir triwulan ketiga tahun 1955. Kebanyakan kasus perceraian lantaran banyak suami yang tidak bertanggung jawab atau melalaikan kewajiban pada istri.
Baca juga: Suami Istri Pejuang Kemanusiaan
Angka-angka resmi untuk bulan Oktober 1955 memperlihatkan data: nikah 2711 orang, talak 1222 orang, dan rujuk 112 orang. Sementara itu, pada akhir triwulan ketiga: nikah 4508 orang, talak 3148 orang, dan rujuk 282 orang. Dari 3148 perceraian, 920 gugatan berasal dari suami, 834 gugatan permintaan istri, dan 1394 datang dari kedua belah pihak.
Penyebab perceraian meliputi berbagai motif. Suami meninggalkan kewajibannya (1256 gugatan); persoalan ekonomi (960 gugatan); sebab-sebab biologis atau penyakit kejiwaan (16 gugatan); karena dimadu (311 gugatan), karena krisis moral (582). Namun, dari sekian motif tadi, ada alasan yang terbilang unik atau baru pada saat itu, yakni sebab-sebab politis (4 gugatan). Motif perceraian politis bersebab pada pilihan politik yang berbeda antara suami dengan istri dalam pemilu.
“Perceraian akibat dari soal politik (pertentangan ideologi) kebanyakan terdapat pada dua aliran, yakni si suami sebagai anggota PKI dan istrinya Masjumi, atau sebaliknya,” demikian diberitakan Kedaulatan Rakjat, 23 November 1955.
Baca juga: Aidit dan Natsir Saling Sikat dalam Debat
PKI dan Masjumi memang dua partai dengan ideologi yang saling bertentangan. Di Konstituante, legislatornya adu debat merumuskan dasar negara. Para kadernya pun ikut saling sikut di akar rumput. Jadi, tidak hanya di parlemen dan tingkat kader, percekcokan PKI dengan Masjumi ternyata juga merembet ke rumah tangga konstituennya masing-masing.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar