Perawat Nekat dari Keluarga Djajadiningrat
Berasal dari keluarga bangsawan Djajadiningrat membuat Roswita tidak mudah berjuang untuk Republik. Ia tetap dicurigai.
Setelah Indonesia merdeka, Belanda datang kembali dengan membonceng Sekutu. Belanda kemudian membentuk NICA (Pemerintah Sipil Hindia Belanda) yang mengancam Republik Indonesia yang baru seumur jagung. Tentu saja bangsa Indonesia menolak dijajah kembali oleh Belanda. Oleh karena itu, setiap orang termasuk para perempuan terpanggil untuk berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Salah satunya anak bangsawan Banten dari trah Djajadiningrat.
Roswita Tanis Djajadiningrat mendapat tawaran dari dr. Imam, Kepala Djawatan Kesehatan Tentara (DKT) Divisi VIII, untuk menjadi perawat di front Malang Selatan, lokasi pertempuran pasukan Republik melawan Belanda. Roswita dengan senang hati menerima tawaran itu.
Roswita mencatat pengalamannya selama empat bulan menjadi perawat di Malang Selatan. Buku hariannya yang ditulis dalam bahasa Belanda itu kemudian diterbitkan Balai Pustaka pada 1974 dengan judul Pengalamanku di Daerah Pertempuran Malang Selatan.
Baca juga: Para Perempuan dalam Perang Kemerdekaan
Dalam buku hariannya, Roswita menceritakan kondisi tentara dan warga sipil yang terdampak perang kemerdekaan. Ia juga menceritakan pengalamannya sebagai perawat seperti saat membantu Dr. Imam melakukan operasi di bawah desingan peluru.
Pengalaman Roswita selama menjadi perawat di medan perang tak selalu mulus. Latar belakang keluarga dan gaya hidupnya yang dinilai kebarat-baratan menjadi persoalan tersendiri bagi dirinya.
Dukut Imam Widodo dalam Malang Tempo Doeloe menyebut Roswita merupakan seorang perawat dari keluarga bangsawan Djajadiningrat. Wiet, sapaan akrabnya, dididik secara feodal oleh orang tuanya. Pada zamannya, ia tergolong wanita yang modern dan berpendidikan. Ia paham beberapa bahasa asing, suka berdansa, minum anggur, merokok, dan mendengarkan musik waltz.
“Gaya hidupnya itu sempat menjadi gunjingan hingga menimbulkan kecurigaan di kalangan kelompok Republik saat dirinya ikut berjuang di Malang Selatan,” tulis Dukut.
Baca juga: Slebew, Slang, dan Walikan
Keheranan akan keputusan Roswita berjuang bersama Republik pernah diungkapkan dr. Ali, kenalan Roswita sejak duduk di HBS (setingkat SMA di zaman Belanda), yang saat itu bertugas sebagai dokter di rumah sakit wilayah Turen.
“Di HBS dulu kau hanya bergaul dengan anak-anak orang Belanda. Dengan kami, orang-orang Indonesia, kau hanya mau bicara di lapangan olahraga. Bagi kami kau adalah asing, yang lebih banyak kami anggap sebagai orang dari pihak sana, dan bukan bagian dari kami. Apa yang telah membawamu kemari untuk pada akhirnya memilih pihak Republik. Untuk menjalani hidup yang berat bersama-sama kami, mengadapi bahaya dibunuh oleh Belanda,” kata dr. Ali.
Roswita menjawab dengan tegas: “Semua saudaraku, yang laki-laki maupun saudaraku yang perempuan, adalah Republikein. Kami ingin menjadi warga dari suatu bangsa yang merdeka. Kami ingin berdiri sama tinggi dan duduk sama rendah dengan tiap orang Belanda, Prancis maupun Deen[?].”
Baca juga: Palang Merah Bertaruh Jiwa Demi Nyawa
Roswita merupakan anak keenam dari pasangan Pangeran Aria Achmad Djajadiningrat, putra bupati Serang, dengan Raden Ayu Soewitaningrat, putri bupati Purwakarta. Achmad Djajadiningrat dikenal sebagai putra Banten pertama yang mendapat pelajaran Barat. Pria yang dijuluki “Macan Banten” oleh kalangan Belanda ini pernah menjabat sebagai bupati Serang dan bupati Batavia. Kemudian pada 1929, ia diangkat menjadi anggota Raad van Indie (Dewan Hindia Belanda), sebuah jabatan tinggi yang sebelumnya hanya dijabat oleh orang-orang Eropa.
Selama menjabat sebagai bupati Serang dan Batavia serta anggota Raad van Indie, Achmad Djajadiningrat dikenal kerap memperhatikan dan membela kepentingan penduduk. Tindak tanduknya menjadi panutan bagi putra dan putrinya. “Ayahku bukanlah seorang pendukung pemerintah Belanda. Ia seorang nasionalis dalam maknanya yang terbaik,” kata Roswita.
Roswita bukan satu-satunya anak Achmad Djajadiningrat yang berjuang demi kemerdekaan Indonesia. Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Jilid 3 menyebut anak-anak Achmad Djajadiningrat yang juga pendukung Republik Indonesia di antaranya Erna Djajadiningrat, Loes (guru sekolah rakyat Perwari Trisula), Greet (istri anggota Polri), Kees (pegawai tinggi Departemen Perhubungan), Didi (diplomat Departemen Luar Negeri, duta besar RI), Boy (perwira tinggi ALRI), serta Oekje (istri Soekartono).
Meski anak-anak Achmad Djajadiningrat membela Republik, kecurigaan orang terhadap mereka tidak hilang. Hal itu disebabkan kedua paman Roswita, yakni Hoesein Djajadiningrat dan Hilman Djajadiningrat, dikenal dekat dengan Belanda.
Sejarawan Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah Orang Indonesia di Negeri Belanda 1600–1950 menulis Hoesein Djajadiningrat, saudara Achmad Djajadiningrat, datang ke Belanda pada Agustus 1904 untuk tujuan pendidikan. Di bawah pengawasan Snouck Hurgronje, Hoesein dipersiapkan untuk belajar di negeri Belanda. Sesudah lulus ujian negara tingkat gimnasium, pada 1905 Hoesein mulai mempelajari bahasa-bahasa Timur di Universitas Leiden. Pada Oktober 1910, Hoesein lulus ujian doktoral dengan predikat cum laude.
Pada 3 Mei 1913, Hoesein mengakhiri pendidikannya dengan promosi yang kembali mendapat pujian, dengan tema Tinjauan Kritis atas Sajarah Banten: Sumbangan bagi Pengenalan Cara Penulisan Sejarah Jawa. “Dengan demikian Hoesein menjadi orang Indonesia pertama yang mencapai gelar doktor di Negeri Belanda dengan disertasi penuh,” tulis Poeze.
Baca juga: Dapur Umum: Dapur Ngebul, Senapan Ngepul
Menurut Linda Christanty dalam Para Raja dan Revolusi, Hoesein yang dinamai Willem van Banten oleh Snouck, kemudian menjadi utusan resmi NICA bersama Sultan Hamid II, Kolonel Dirk Reinhard Adelbert van Langen, dan Dr. Berkhuis untuk menemui Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan meyakinkannya bahwa tiada guna mendukung Republik Indonesia yang lemah setelah Yogyakarta berhasil direbut dalam Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948.
“Agresi ini melanggar Perjanjian Renville. Presiden Sukarno dan Mohammad Hatta ditangkap untuk kemudian diasingkan ke Pulau Bangka. Namun, Sultan tidak tergoyahkan,” tulis Linda.
Sementara itu, dalam buku hariannya Roswita mengungkapkan kekecewaannya kepada pamannya, Hilman Djajadiningrat.
“Suasana perasaanku kini benar-benar merosot rendah sekali. Aku merasa sakit dan serba salah. Pagi tadi Mayor Pirngadi datang dengan membawa berita buruk bahwa Oom Hilman sebagai Recomba telah diangkat menjadi Pemimpin Jawa Barat,” tulis Roswita. Belanda membentuk Recomba (Regeringscommissaris voor Bestuursaangelegenheden atau Komisaris Pemerintah Urusan Pemerintahan Belanda di Indonesia ) untuk mengatur wilayah pendudukan Belanda guna mendirikan negara-negara boneka atau federal di Indonesia.
“Bagaimana ia dapat melakukan itu? Apakah ia tidak mengerti bahwa ini adalah suatu kesalahan terhadap nusa dan bangsanya,” kata Roswita.
Baca juga: Pasukan Bumiputera Pembela Ratu Belanda
Akibat menyandang nama Djajadiningrat membuat Roswita harus berhadapan dengan polisi militer saat menjadi perawat di Malang Selatan. Ia dibawa ke markas dan diinterogasi selama empat jam. Dalam buku hariannya, Roswita menyebut seorang komandan polisi militer bahkan mengusulkan kepadanya untuk tak lagi menggunakan nama keluarganya guna mencegah salah paham. Ia menolak usulan itu.
“Saya sama sekali tidak merasa malu atas nama keluargaku. Nama itu akan selalu saya gunakan, walaupun karena itu tuan akan terpaksa memenjarakan saya,” kata Roswita.
Setelah empat bulan ikut berjuang sebagai perawat di daerah perang, pada 25 November 1947 Roswita meninggalkan Malang Selatan. Ia kemudian menjadi pengajar di Sekolah Kepandapaian Puteri di Yogyakarta.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar