Memburu Njoto
Setelah G30S, Njoto, orang penting PKI setelah Aidit, diburu tentara. Akhir hidupnya habis ditangan tentara, namun keterlibatannya dalam G30S tidak pernah terbukti
ISTANA Bogor dipenuhi oleh para menteri Kabinet Dwikora pada 6 Oktober 1965. Itulah rapat kabinet pertama setelah Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965. Dari semua menteri yang dipanggil, hanya D.N. Aidit (Menteri Koordinator merangkap Wakil Ketua MPRS) dan Jenderal Nasution (Menteri Koordinator Pertahanan dan Keamanan merangkap Kepala Staf Angkatan Bersenjta/KSAB) yang absen.
Aidit tidak diketahui keberadaannya namun disebut-sebut melarikan diri ke Jawa Tengah. Sementara itu, Nasution masih dalam proses pemulihan usai lolos dari upaya penculikan kelompok G30S. Selain itu, putri bungsu Nasution Ade Irma masih dalam keadaan kritis akibat tertembak pasukan G30S yang ditugaskan menjemput Nasution. Kendati Aidit absen, Njoto selaku menteri lain dari Partai Komunis Indonesia (PKI) hadir dalam rapat kabinet tersebut. Njoto ikut rapat kabinet sehubungan dengan kedudukannya sebagai Menteri Negara.
Agenda rapat hari itu membicarakan tentang G30S dan penyelesaiannya. Ketika rapat berlangsung, Njoto buka suara menegaskan bahwa PKI tidak bertanggung jawab atas G30S. Peristiwa itu telah menewaskan enam perwira tinggi Angkatan Darat (AD) dan seorang perwira muda ajudan Jenderal Nasution.
Baca juga: Aidit dan Njoto Mengarak Jenazah StalinNjoto sendiri, menurut Fadrik Aziz Firdausi, penulis biografi Njoto, sepertinya tidak tahu-menahu tentang adanya operasi G30S. Ketika para jenderal AD diculik, Njoto sedang dalam agenda kunjungan kerja di Sumatra. Dia ikut dalam rombongan Wakil Perdana Menteri (Waperdam) I Soebandrio dan meninggalkan Jakarta sejak 28 September 1965. Njoto kembali ke Jakarta pada 2 Oktober, setelah G30S benar-benar tumpas dan PKI dituduh bertanggung jawab atas aksi itu. Pada 6 Oktober, Njoto ikut rapat kabinet dan menyatakan sikapnya atas peristiwa tersebut.
“Sejauh mana dia terlibat atau bahkan tidak terlibat tidak pernah bisa dibuktikan secara gamblang,” jelas Fadrik dalam Njoto: Biografi Pemikiran 1951—1965.
Namun, pernyataan Njoto bikin sejumlah pejabat dari kalangan AD yang hadir di Istana Bogor tersulut emosi. PKI, menurut mereka, terlibat dan bertanggung jawab dalam G30S. Mayor Jenderal Soemitro, Asisten II/Operasi Menteri Panglima Angkatan Darat (Menpangad), termasuk yang jengkel melihat Njoto. Soemitro saat itu menjadi staf Letnan Jenderal Soeharto, yang ditunjuk sebagai pengganti Letnan Jenderal Ahmad Yani yang jadi korban terbunuh dalam G30S.
Baca juga: Jenderal Yani dan Para Asistennya
Soemitro tambah geram ketika menyaksikan Njoto seperti kurang hormat terhadap Letnan Jenderal Hidayat Martaatmadja yang menjabat sebagai Menteri Perhubungan Darat, Pos, Telekomunikasi dan Pariwisata. Duduk di sebelah Deputi I/Operasi Menpangad Mayor Jenderal Moersjid, Soemitro meluapkan perasaannya.
“Sjid, ik krig hem well (Sjid, aku akan dapatkan dia),” ujar Soemitro sambil menyikut lengan Moersjid. “Benar, saya sakit hati melihatnya,” kenang Soemitro dalam memoarnya yang ditulis Ramadhan KH, Soemitro: Dari Pangdam Mulawarman sampai Pangkopkamtib.
Dalam memoarnya, Soemitro mengakui bahwa dirinya yang mengeluarkan perintah untuk menangkap Njoto. Setelah rapat kabinet di Istana Bogor itu, tak butuh waktu lama bagi tentara untuk meringkus Njoto. Diperkirakan, Njoto diciduk pada pertengahan Desember 1965. Operasi penangkapan Njoto diwartakan dalam harian Angkatan Bersendjata (AB) tanggal 2 Juni 1966.
Baca juga: Drama Penangkapan D.N. Aidit
Sebelum diamankan, Njoto dikabarkan kerap menggunakan mobil bernopol “RI-3” yang merupakan kendaraan dinas Waperdam Soebandrio. Harian AB menyimpulkan bahwa Njoto dilindungi oleh Soebandrio. Njoto bahkan dikabarkan bersembunyi di kediaman Soebandrio di Jl. Imam Bonjol, Menteng, Jakarta Pusat.
Dalam suatu pengintaian, Njoto keluar dari rumah Soebandrio pukul 09.00 pagi, meluncur ke rumah seorang tentara berpangkat mayor di bilangan Kebayoran. Pukul 15.00, Njoto meninggalkan Kebayoran menuju ke arah Jakarta Kota. Saat di bundaran Hotel Indonesia, tentara yang sudah membuntuti memberhentikan mobil Njoto.
“Saya Menteri,” ujar Njoto.
“Kami tahu bapak Menteri. Tapi komandan kami mengundang supaya Bapak datang ke markas sebelum diamankan,” balas komandan pasukan yang ditugaskan menangkap Njoto.
Baca juga: Memburu Subandrio
Njoto menjanjikan kesediaannya kepada petugas tentara tersebut. Kendati tetap dibuntuti, Njoto terus melanjutkan perjalanan menuju rumah Soebandrio. Saat di depan rumah Soebandrio, Njoto membelokkan mobilnya ke arah pekarangan. Tentara yang berada di belakang segera memburu Njoto agar mobilnya tidak memasuki pekarangan rumah Soebandrio.
“Salah seorang petugas segera mendekati mobil Njoto dan mempersilakannya menaiki jip yang sudah disediakan. Sedangkan beberapa petugas lainnya memberi penjelasan kepada petugas keamanan yang mengawal rumah Soebandrio supaya tidak timbul salah pengertian,” demikian diberitakan AB.
Sejak itu, Njoto tak pernah terlihat lagi. Beberapa versi menyebutkan tentang akhir nasib Njoto. Ada yang bilang Njoto dieksekusi mati di Tanjung Priok. Kesaksian lain menyebutkan Njoto dibawa dari Rumah Tahanan Militer (RTM) Budi Utomo ke daerah Bekasi dan dihabisi di sana pada 13 Desember 1965. Versi lain lagi mengatakan Njoto setelah diambil dari RTM dihabisi di suatu tempat di Jakarta, lalu mayatnya dibuang ke Sungai Ciliwung. Entah versi mana yang benar, tidak bisa dipastikan. Namun, yang jelas, Njoto mati di tangan tentara, sebagaimana diakui sendiri oleh Jenderal Soemitro.
Baca juga: Misteri Tiga Orang Kiri
“Saya perintahkan khusus untuk mengejarnya supaya ia terpegang. Selang beberapa waktu ia dikabarkan mati sudah,” demikian pengakuan Mitro dalam memoarnya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar