Kisah Babu Datem dan Upaya Melindungi Pekerja Hindia di Belanda
Kematian Datem, babu dari Hindia, memantik pembahasan tentang pentingnya komite untuk melindungi dan membantu orang-orang Hindia yang bekerja di Belanda.
DI Den Haag, Belanda, mayat seorang pembantu rumah tangga asal Hindia bernama Datem berusia 17 tahun, yang meninggalkan pekerjaannya beberapa minggu lalu, dievakuasi dari kanal dekat Javabrug. Demikian laporan surat kabar Het Nieuws van den Dag: Kleine Courant, 16 Oktober 1902.
Datem merupakan satu dari banyak orang Hindia yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Belanda. Kemungkinan besar ia ikut majikannya yang bersama keluarganya kembali ke Belanda usai tinggal di Hindia Belanda. Sebelum ditemukan tewas, surat-surat kabar Belanda melaporkan berita kehilangan Datem.
Dagblad van Zuidholland en’s Gravenhage, 7 Oktober 1902, memberitakan pihak kepolisian diminta untuk mencari dan membawa Datem kembali kepada majikannya. Wanita muda itu dilaporkan telah meninggalkan pekerjaannya sejak 1 Oktober 1902. Sebelum meninggalkan kediaman majikan pada malam hari, ia sempat meninggalkan catatan yang berisi ia akan bunuh diri.
Surat kabar itu mencantumkan ciri-ciri Datem dan bila para pembaca melihatnya laporkan ke pihak kepolisian. “Datem –seorang pembantu rumah tangga asal Hindia yang berusia 17 tahun– berperawakan besar dan tegap. Rambut, alis dan matanya berwarna hitam. Berwajah coklat dan berbicara bahasa Melayu serta Belanda. Ia mengenakan blus berwarna merah, rok kotak-kotak biru, mungkin tanpa topi ataupun jubah, dengan stoking hitam dan selop kain hitam, serta pakaian dalam bertuliskan D.M.”
Baca juga:
Seminggu setelah dikabarkan hilang, Datem justru ditemukan dalam kondisi tak bernyawa. Bagi sebagian orang di Belanda, kabar kematian Datem hanyalah berita kematian umum yang biasa dilaporkan surat-surat kabar. Namun, ada yang menjadikan kabar kematian Datem sebagai momentum untuk meningkatkan kesadaran pemerintah dan masyarakat, baik Belanda maupun Hindia Belanda, akan pentingnya perlindungan bagi pekerja dari negeri jajahan yang bekerja di negeri penjajah.
Seperti tulisan “Wong Tanie” dalam surat kabar Het Koloniaal Weekblad, 23 Oktober 1902, memandang kisah Datem sebagai fenomena gunung es. “Saya tidak mengenal Datem maupun keluarga yang ia layani. Yang saya pikirkan, setelah kejadian ini terjadi, adalah bagaimana mencegah agar tindakan-tindakan seperti itu, yang menunjukkan keputusasaan dan ‘tidak ada jalan lain’, tidak terjadi lagi,” tulisnya.
Oleh karena itu, ia meminta pihak berwenang di Hindia Belanda untuk menerapkan secara ketat ketentuan-ketentuan bahwa para babu dewasa dan pelayan laki-laki yang pergi ke Belanda dengan majikan mereka harus membuat kontrak bersegel khusus di hadapan pejabat pemerintahan dalam negeri yang mengurusi hal ini, di mana kedua belah pihak saling berkomitmen “bahwa sang majikan, jika dikehendaki, diwajibkan untuk memulangkan babu atau pelayan laki-lakinya ke tempat tinggalnya di Jawa atau di tempat lain di Nusantara atas biaya sendiri, segera setelah berakhirnya kontrak kerja atau jika sakit yang mengharuskannya segera pulang”. Sebagai jaminan untuk memenuhi ketentuan ini, uang lebih kurang f125 harus disetorkan ke kantor wilayah tempat keberangkatan.
Wong Tanie juga mendorong agar majikan maupun pihak berwenang mengawasi dengan ketat status para pekerja yang hendak berlayar keluar Hindia Belanda. Pekerja yang tidak memiliki kontrak dan paspor yang sah tidak diizinkan melakukan perjalanan ke Eropa. “Pekerja di bawah umur hanya dapat ‘lolos’ jika surat izin yang sah dan bermaterai dari orang tua atau surat izin dari saudara kandung terdekat dapat ditunjukkan,” tulis Wong Tanie. Untuk kelompok ini, klausul tetap harus dilengkapi dengan kewajiban bahwa jika pekerja tidak betah dan rindu kampung halaman, majikan wajib mengirimnya kembali ke Hindia.
Selain itu, pihak berwenang, dalam hal ini perkumpulan Oost en West, diminta aktif mendata para pekerja Hindia yang berada di Belanda. Pendataan itu berisi informasi mengenai tempat tinggal pekerja, pekerjaan, dan jika memungkinkan tempat tinggal keluarga tempat mereka bekerja. “Ada baiknya sesekali orang kita bertanya kepada orang-orang Jawa itu, apakah mereka punya keluhan, dan jika ada, apa keluhannya?” sambung Wong Tanie.
Gagasan yang disampaikan Wong Tanie memancing tanggapan dari pembaca. Dalam Het Koloniaal Weekblad, 30 Oktober 1902, seorang pembaca dengan nama samaran Tiang Alit menulis surat bahwa gagasan yang disampaikan Wong Tanie sangat sulit untuk diterapkan. “Bahkan, Wong Tanie telah merasakannya sendiri, di mana ia mengatakan bahwa orang Jawa ‘takut’ untuk berurusan dengan polisi atau pengadilan. Sekarang apakah mereka akan datang kepada anggota Komisi? Misalkan nama dan alamat diberikan kepada mereka pada saat kedatangannya, mereka tidak akan mengingatnya. Mereka tidak dapat membacanya, dan jika mereka membutuhkan bantuan, alamatnya telah dilupakan, surat-suratnya hilang,” tulisnya.
Meski begitu, menurut Tiang Alit, peraturan membawa orang Hindia ke luar negeri sesungguhnya sudah diterapkan. Ia juga mengungkapkan bahwa sebagian besar pemuda dan babu sudah beberapa kali pergi ke Belanda, sehingga mereka tidak mempunyai sesuatu yang perlu dikeluhkan. Selain itu, jika mereka pergi untuk pertama kalinya, mereka selalu bersama keluarga, di mana mereka pernah bekerja di Hindia, baik untuk waktu yang singkat maupun lama, sehingga pengalaman itu menjamin perlakuan yang baik bagi mereka.
Banyaknya iklan di surat kabar Belanda yang menawarkan para babu dan pemuda untuk kembali ke Hindia, dan juga di surat kabar di Hindia Belanda yang menawarkan mereka untuk pergi bersama keluarga ke Belanda, cukup membuktikan bahwa kebebasan bergerak mereka tidak dihalangi. Dalam beberapa kasus ditemukan pula bahwa para pekerja Hindia di Belanda diperlakukan dengan baik oleh sang majikan dan keluarganya.
Baca juga:
Dalam surat balasan di Het Koloniaal Weekblad, 20 November 1902, Wong Tanie mengatakan dengan semua yang diungkapkan Tiang Alit mengenai kondisi para pekerja Hindia, masih banyak di antara mereka yang menjadi korban kesewenang-wenangan. Tak jarang ditemukan janji yang diberikan oleh majikan kepada para pekerja Hindia tak kunjung direalisasikan. Akibatnya, para pekerja itu kebingungan karena tak bisa kembali ke tanah airnya. “Sekarang, betapa seringnya pengorbanan seperti itu, ungkapan kesetiaan dan kasih sayang dari seorang gadis pribumi, dibalas dengan pelanggaran janji,” balas Wong Tanie.
Wong Tanie menyadari gagasan mengenai komite untuk membela dan memajukan kepentingan orang-orang Hindia di Belanda akan menuai pro dan kontra. “Namun, komite seperti itu, jika dibentuk dengan baik, dapat sangat berguna, saya tetap yakin,” katanya. Kehadiran komite ini menjadi penting karena menurutnya masih banyak orang-orang Hindia yang pergi ke Eropa bersama keluarga Eropa tidak memiliki kontrak kerja.
Kepercayaan yang dipegang oleh sebagian besar pejabat bahwa orang Eropa yang membawa orang-orang pribumi ke Eropa akan merawat mereka dengan baik adalah alasan mengapa ketaatan terhadap hukum dan peraturan sering diabaikan di Jawa. “Sebuah komite yang terdiri dari rekan-rekan sesama orang Jawa, dalam banyak hal, masih dapat membantu para penduduk pribumi yang tinggal di negeri ini,” sebut Wong Tanie. “Siapa yang tahu bagaimana keberadaan komite semacam itu dapat bekerja dengan baik sebagai momok atau pelindung... Melalui pertukaran pikiran ini, akan ada lebih banyak kesempatan untuk merealisasikan pembagian ‘Timur dan Barat’, yang secara khusus bertugas untuk menjaga kepentingan para penduduk pribumi dari daerah jajahan kita yang tinggal di Belanda,” sambungnya.
Menurut sejarawan Harry A. Poeze dalam Di Negeri Penjajah: Orang-orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600–1950, tanpa komisi pun Oost en West sesungguhnya telah mencurahkan perhatian kepada nasib orang “biasa” di Indonesia. Perhimpunan ini menyelenggarakan aksi-aksi pengumpulan dana yang sedikit banyak memperoleh sukses, dan berhasil membuka satu toko di Den Haag untuk menjual hasil kerajinan tangan.
Selain itu, Oost en West juga memiliki sebuah pusat pertemuan di Den Haag dengan rumah makan bernama “Soedikampir”, yang tanpa pamrih dikelola oleh Nyonya Ten Bosch, anggota pengurus Oost en West. Restoran itu menghidangkan makanan Hindia dengan harga yang sangat murah.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar