Kala Dubes Amerika Nyaris Digebuk Jenderal Moersjid
Diberitakan dekat dengan CIA, Dubes AS Marshall Green nyaris digebuk Jenderal Moersjid
Pada 1968, Duta Besar Amerika Serikat Marshall Green bersiap-siap mengakhiri tugasnya di Indonesia. Tugas baru menantinya sebagai asisten Menteri Luar Negeri AS urusan Asia Timur dan Pasifik. Untuk itulah Green sering wara-wiri ke Filipina, yang menjadi salah satu negara sekutu Amerika di kawasan Asia-Pasifik.
Suatu ketika di Manila International Airport, kira-kira bulan Oktober atau November 1969, Green bersua dengan Mayor Jenderal TNI Moersjid, duta besar Indonesia untuk Filipina, di sebuah jamuan. Green tentu mengenal Moersjid. Setidak-tidaknya Green tahu bahwa Moersjid sebelumnya seorang pejabat tinggi di Markas Besar Angkatan Darat. Semasa Green awal bertugas di Indonesia tahun 1965, Moersjid menjabat sebagai Deputi I Menteri/Panglima Angkatan Darat. Dengan kata lain, Moersjid adalah wakil Jenderal Ahmad Yani yang membidangi urusan operasi dan intelijen.
Dalam pertemuan itu, Green melakukan provokasi. Dalam bahasa Inggris dia bertanya kepada Moersjid, “Bagaimana kabar Si Bung? (How’s the Bung doing?). “Si Bung” yang dimaksud adalah Presiden Sukarno yang sudah lengser dari kekuasaan. Kedudukan Sukarno kian melemah setelah Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965. Pada 1968, Sukarno sudah diberhentikan MPRS sebagai presiden dan digantikan oleh Jenderal Soeharto. Pada 1969, Sukarno bahkan harus menjalani masa-masa tahanan rumah di Wisma Yaso.
Baca juga: Sukarno, Jones, dan Green
Ditanya begitu, amarah Moersjid tentu saja terpantik hingga terjadi cekcok mulut. Moersjid bahkan hampir saja menggebuk Green saat itu. Ribut-ribut yang nyaris berujung baku hantam antara Green dan Moersjid terdengar sampai Jakarta. Akibat insiden itu, Moersjid dipanggil pulang dan dibebastugaskan dari posnya di Manila.
“Hanya saya dan Green yang terlibat, kok Jakarta langsung mencopot saya? Jelas, Green lebih dipercaya dan lebih kuasa, ini kan tai kucing namanya,” kata Moersjid seperti termuat dalam obituari Kompas, 25 Agustus 2008.
Menurut Siddharta Moersjid, putra ke-4 Moersjid, pertanyaan Green itu bernada melecehkan. Green tentunya lebih tahu apa yang terjadi di Indonesia. Sebagai duta besar Amerika terakhir yang bertugas di masa kepresidenan Sukarno, Green menyaksikan peralihan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto. Termasuk pula berita Sukarno yang harus meninggalkan istana kepresidenan di Jakarta.
Baca juga: Insiden Duta Besar Marshall Green
Pada hari-hari genting setelah G30S, Green melalui Kedutaan Amerika menyalurkan bantuan perangkat komunikasi kepada Angkatan Darat. Tujuannya untuk melindungi Jenderal Nasution dan Soeharto. Green juga disinyalir punya hubungan khusus dengan jaringan dinas intelijen Amerika (CIA) di Indonesia. Ketika Sukarno lengser, Nasution menjabat ketua MPRS yang menunjuk Soeharto sebagai presiden pengganti Sukarno. Green dalam berbagai pesan telegram juga rutin melaporkan kepada pemerintahnya tentang operasi penumpasan dan pembunuhan massal kaum komunis di Indonesia. Itulah sebabnya pertanyaan basa-basi Green disambut Moersjid dengan emosi.
“Apa yang terjadi tahun 1969, pada saat Bung Karno dalam tanda kutip seperti dilecehkan oleh Marshall Green, itu membuat ayah saya emosional,” tutur Siddharta kepada Historia. “Dia sangat marah. Kemarahannya itu menyebabkan dia dipanggil pulang.”
Kepulangan Moersjid ke Indonesia ternyata berbuntut panjang. Dia harus menandatangani surat penahanan yang disodorkan Kepala Staf Angkatan Darat Letjen Umar Wirahadikusumah. Selama empat tahun, Moersjid mendekam dalam tahanan tanpa proses pengadilan.
Baca juga: Kado Pahit Ulang Tahun Jenderal Moersjid
Siddharta mengenang ayahnya itu sebagai sosok tentara tulen. Posturnya yang kekar dengan tinggi badan 185 cm. Andai Moersjid lepas kendali saat insiden dengan Green di Manila, hal yang buruk tentu saja bisa terjadi kepada duta besar Amerika itu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar