Kado Pahit Ulang Tahun Jenderal Moersjid
Seyogianya hari jadi ke-44 tahun menjadi momen sukacita bagi Moersjid sekeluarga. Siapa sangka, hari itu justru harus dilalui dengan menitikan air mata.
Siti Rachma Moersjid akan menyiapkan jamuan besar. Dua hari lagi sang suami, Mayor Jenderal Moersjid merayakan ulang tahun ke-44. Tapi bak petir di siang bolong, hari itu mendadak berubah menjadi malapetaka.
“Pada pagi hari 8 Desember 1969, ayah diminta menghadap Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) dan disitulah surat penahanan diberikan oleh KASAD, Pak Umar Wirahadikusuma,” tutur Siddharta Moersjid kepada Historia.id.
Pada waktu itu, Moersjid baru saja mengakhiri masa dinasnya sebagai duta besar RI untuk Filipina. Setelah kembali ke Jakarta bulan Oktober, Moersjid dikembalikan ke Markas Besar Angkatan Darat (MBAD) tanpa jabatan. Kabar yang beredar, Moersjid terlibat konflik dengan Marshall Green, asisten menteri luar negeri Amerika Serikat urusan Timur Jauh. Insiden itu hampir berujung baku hantam sehingga Moersjid dipanggil pulang ke Indonesia.
Baca juga: Kisah Para Deputi Jenderal Yani
MBAD bukan tempat yang asing bagi Moersjid. Pada 1962, dia pernah menjadi orang nomor dua di sana ketika menjabat Deputi 1/Operasi Menteri Panglima Angkatan Darat. Waktu itu, pucuk pimpinan Angkatan Darat masih diemban Letnan Jenderal Ahmad Yani. Sepulangnya Moersjid dari Filipina, semuaya berubah. Rezim telah berganti dari Presiden Sukarno ke Jenderal Soeharto. Pimpinan Angkatan Darat kini dijabat oleh Umar Wirahadikusumah.
Pemanggilan Moersjid juga berkaitan dengan upaya pihak militer menjadikannya saksi sehubungan dengan rencana untuk mengadili Sukarno. Bagi sebagian kalangan, Moersjid disebut-sebut sebagai salah satu jenderal yang pro-Sukarno. Jenderal Abdul Haris Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 6: Masa Kebangkitan Orde Baru menyebutkan bahwa Moersjid adalah seorang perwira tinggi pengaggum Bung Karno. Dan sebaliknya, kata Nasution, Sukarno begitu mempercayai Moersjid.
Baca juga: Moersjid, Jenderal Pemarah yang Disegani Sukarno
Entah intrik politik apa yang terjadi di belakang layar, tiada seorang pun yang mengetahui. Seperti diungkapkan sesepuh TNI AD Letjen (Purn.) Sayidiman Suryohadiprodjo kepada Historia.id, “rupanya ada orang-orang di sekitar Presiden Soeharto yang menganggap Pak Moersjid seorang Sukarnois.” Sayidiman sendiri tidak tahu persis siapa “pembisik” tersebut.
Kendati demikian, kejadian yang menimpa Moersjid pada 8 Desember 1969 masih terekam jelas dalam memori putranya, Siddharta. Saat itu, Siddharta baru saja pulang sekolah. Setiba di rumah, Moersjid sang ayah bergegas keluar rumah, menenteng koper dan mengenakan pakaian harian tentara. “Sida, Papa pergi dulu, jagain mama di rumah,” demikian pesan pamit dari Moersjid. Sementara itu, ibunda Siti Rachma terpaku mengiringi kepergian sang suami. Air mata-nya meleleh di pipi.
“Saya selalu ingat, karena tanggal 10 Desember adalah ulang tahun Ayah. Dan saat Ayah saya kembali ke rumah untuk ambil pakaian dan pamit sama Ibu, saat itu Ibu sedang mempersiapkan masakan untuk tanggal 10,” kenang Siddharta.
Baca juga: Kekecewaan Istri Seorang Jenderal: Kisah Siti Rachma Moersjid
Hari itu jadi momen duka bagi Moersjid sekeluarga. Rencana selamatan ulang tahun dua hari lagi pupus seketika lantaran Moersjid berangkat ke Rumah Tahanan Militer (RTM) Budi Utomo. Selama empat tahun Moersjid mendekam dalam tahanan tanpa melalui proses pengadilan. Peristiwa itu begitu mengecewakan hati sang istri sehingga dia memusnahkan semua atribut militer milik Moersjid lengkap dengan lencana dan tanda jasa.
Sampai saat ini, mengapa Moersjid dijerumuskan ke dalam penjara rezim Orde Baru tetap menjadi tanya yang belum terjawab bagi keluarganya. Apalagi siapa yang terlibat di dalamnya pun masih seperti kabut gelap. Ketika Moersjid ditahan, tidak banyak informasi yang diperoleh oleh keluarganya.
Baca juga: Moersjid, Jenderal yang Nyaris Menjadi Satpam
Moersjid sendiri hingga akhir hayatnya masih dikejar pertanyaan, “Siapa yang telah memfitnah diriku?” seperti dicatat wartawan senior Julius Pour dalam obituari Moersjid di Kompas, 25 Agustus 2008. Secercah terang barangkali dapat terkuak bilamana surat pemanggilan Moersjid ke Indonesia ditemukan. Surat tersebut berasal dari Kementerian Luar Negeri yang waktu itu dijabat oleh Adam Malik.
“Banyak sekali yang saya tidak dapatkan,” kata Siddharta. “Yang sampai sekarang ingin saya ketahui adalah surat Pak Adam Malik saat memanggil pulang Ayah.”
Keluarga besar masih berharap, suatu saat keadilan sejarah bagi mendiang Moersjid akan tersingkap. Dengan demikian, periode paling kusut dalam sejarah politik Indonesia ini perlahan-lahan kian benderang.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar