Jurnalis Perempuan Pemberani Diangkat Menjadi Menteri
Berkali-kali dijebloskan ke jeruji besi karena keberaniannya mengkritik pemerintah Hindia Belanda, SK Trimurti tak takut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Menjadi Menteri Perburuhan pertama Republik Indonesia.
PRESIDEN Prabowo Subianto melantik para menteri Kabinet Merah Putih di Istana Negara hari ini, Senin (21/10/2024). Sehari sebelumnya, presiden kedelapan Republik Indonesia itu lebih dahulu mengumumkan sejumlah nama yang akan menjabat sebagai menteri dan pejabat setara menteri, serta wakil menteri di Istana Negara. Salah satu nama yang mencuri perhatian publik adalah Meutya Viada Hafid atau populer disebut Meutya Hafid. Penunjukannya sebagai Menteri Komunikasi dan Digital Republik Indonesia, yang di era sebelumnya bernama Menteri Komunikasi dan Informatika, membuat Meutya menjadi perempuan pertama yang mengisi posisi tertinggi di kementerian tersebut.
Karier politik Meutya dimulai ketika ia bergabung dengan Partai Golkar di tahun 2009. Ia kemudian ikut serta dalam kontestasi pemilihan umum anggota DPR RI dari daerah pemilihan Sumatera Utara I. Pada 2010, perempuan kelahiran Bandung, 3 Mei 1978 itu berhasil melenggang ke Senayan sebagai anggota DPR pengganti antar-waktu. Ia menggantikan posisi almarhum Burhanuddin Napitupulu. Pada pemilihan umum 2019, Meutya kembali terpilih menjadi salah satu anggota dewan legislatif. Pada periode 2019-2024 ini, Meutya menduduki jabatan ketua Komisi I DPR RI yang membidangi masalah pertahanan, luar negeri, komunikasi, dan informasi.
Aktivitas Meutya dalam dunia politik membuat namanya dikenal sebagai salah satu politisi perempuan Indonesia. Namanya semakin populer lantaran profesinya sebagai jurnalis kerap membuat wajahnya tampil di media elektronik pada medio 2000-an. Terlebih setelah sebuah peristiwa tahun 2005 yang tak akan dilupakan Meutya. Ketika itu ia mendapat tugas meliput pemilihan umum di Irak. Kegiatan liputan itu berubah menjadi mencekam ketika Meutya bersama rekannya, seorang juru kamera bernama Budiyanto, diculik dan disandera oleh kelompok milisi bersenjata selama beberapa hari. Kabar mengenai penculikan dan proses pembebesan Meutya hingga kembali ke tanah air menjadi sorotan masyarakat Indonesia.
Baca juga:
Meski begitu, Meutya Hafid bukan satu-satunya jurnalis perempuan yang pernah menjabat sebagai menteri di Republik Indonesia. Di masa awal kemerdekaan Indonesia, ada S.K. Trimurti yang ditunjuk menjadi menteri perburuhan pada kabinet Amir Sjarifuddin I. Jauh sebelum menduduki posisi menteri, perempuan yang lahir di Boyolali, 11 Mei 1912 dengan nama Surastri itu telah lama dikenal sebagai jurnalis tangguh dan juga pemberani.
Sejak tahun 1930-an, lulusan sekolah guru di Solo itu mulai aktif dalam dunia pergerakan kemerdekaan Indonesia dan jurnalistik. Meski mulanya tak percaya diri untuk menjadi jurnalis, kepercayaan dirinya muncul seiring adanya dorongan ketika Sukarno meminta S.K. Trimurti menulis dalam majalah Fikiran Rakyat. Tulisan pertama Trimurti dalam majalah itu membahas tentang riwayat penjajahan Hindia Belanda. Namun, hanya sekali ia menulis di Fikiran Rakyat karena setelah Bung Karno ditangkap, majalah itu tidak terbit lagi.
Setelahnya, Trimurti mulai aktif mengirimkan tulisan ke sejumlah suratkabar. Perempuan yang ikut berperan dalam pendirian sekolah Perguruan Rakyat di Pasirkaliki, Bandung, pada tahun 1930-an itu bahkan mendapat tawaran untuk menerbitkan majalah Bedug. Menurut Soebagijo I.N. dalam S.K. Trimurti: Wanita Pengabdi Bangsa, Bedug di sini dimaksudkan bahwa majalah itu merupakan tengara atau pertanda akan datangnya saat untuk bangkit dan berjuang.
“Bedug yang ditulis dalam bahasa Jawa itu hanya terbit satu kali; kemudian berganti nama menjadi Terompet, sedangkan bahasanya adalah bahasa Indoensia. Dengan demikian diharapkan agar ruang penyebaran serta pembacanya menjadi lebih luas lagi,” tulis Soebagijo.
Aktivitas Trimurti dalam dunia jurnalistik yang seringkali mengkritik kebijakan pemerintah Hindia Belanda membuatnya bolak-balik diinterogasi oleh P.I.D (Politieke Inlichtingen Dienst) atau Dinas Intelijen Politik. Semangat memperjuangkan kemerdekaan Indonesia bahkan membuat Trimurti harus merasakan dinginnya jeruji besi. Peristiwa itu terjadi pada tahun 1939. Kala itu Trimurti yang bekerja di harian Sinar Selatan dititipkan sebuah tulisan tanpa nama oleh salah seorang rekannya untuk dimuat dalam harian tersebut. Menurut. Trimurti dalam Wartawan Wanita Berkisah, tulisan itu tak dicantumkan nama pembuatnya karena sang penulis khawatir bila P.I.D. mengetahui, ia akan kembali dibuang ke Boven Digul. Kekhawatiran itu cukup beralasan, sebab rekan Trimurti yang bernama Sayuti Melik itu pernah tertangkap pemerintah jajahan Inggris ketika berada di Singapura. Imbas penangkapan tersebut, Sayuti Melik harus berjanji untuk tidak lagi aktif dalam pergolakan politik jika tak ingin kembali dibuang.
Trimurti kemudian membawa tulisan itu ke harian Sinar Selatan untuk dimuat. Saat itu, dunia, termasuk Hindia Belanda, tengah “panas” karena Perang Dunia II telah meletus di Eropa. Di Hindia Belanda yang kini bernama Indonesia, sejumlah persiapan untuk melakukan serangan dan membentuk pertahanan dilakukan sebagai upaya mengantisipasi serangan Jepang yang sewaktu-waktu dapat menyerang.
“Di masa inilah tulisan tersebut muncul, dengan isi: ‘Rakyat Indonesia tidak usah ikut membela Belanda. Sebab Belanda itu imperialis. Juga tidak perlu membela Jepang, sebab Jepang kemungkinan juga imperialis. Belanda dan Jepang ibarat macan dan buaya. Sama-sama berbahaya. Yang baik sikap bangsa Indonesia, ialah memperkuat diri sendiri, untuk mempersiapkan kemerdekaannya sendiri.’ Aku sungguh setuju dengan isi artikel itu. Maka dengan senang hati aku masukkan artikel itu dalam harian Sinar Selatan,” tulis Trimurti.
Setelah artikel yang termuat di harian Sinar Selatan itu tersebar, PID segera bertindak karena tulisan itu dianggap berbahaya. Namun karena tak ada yang mengetahui siapa penulis artikel tersebut selain Trimurti sebagai pembawa tulisan untuk dimuat di harian tersebut, maka ialah yang harus bertanggungjawab. Mulanya sang penulis asli, Sayuti Melik, terdorong untuk mengaku tetapi Trimurti memutuskan bahwa ia yang akan maju ke depan dan mengakui tulisan itu.
“Kalau ia (Sayuti Melik, red.) yang mengakui, risikonya berat, ialah dia dibuang lagi. Dan kalau dia dibuang, berarti pikiran dan tenaganya tidak bisa dipergunakan untuk perjuangan. Bagiku, kecuali mengingat kode etik jurnalistik, juga karena setia-kawan. Bila ada teman yang terkena bahaya, lebih baik akulah yang menjadi perisai. Jika aku yang dihukum, hukumanku tidak akan berat,” jelas Trimurti.
Pemeriksaan terhadap perkara ini berjalan cukup lama. Trimurti sendiri kala itu tak langsung dipenjara walau gerak-geriknya masih terus diawasi dengan ketat oleh PID. Status sebagai tahanan luar ini berlangsung lebih dari setahun. Setelah Trimurti dan Sayuti Melik menikah dan dikaruniai seorang putra yang baru berumur 2 bulan, barulah putusan terkait hukuman yang akan diberikan kepada Trimurti terkait kasus tersebut muncul. Trimurti dijatuhi hukuman dua bulan penjara.
Sang suami menyuruhnya untuk naik banding dan Trimurti menurutinya. Namun bukannya dibebaskan dari penjara, hukuman yang dijatuhkan kepada Trimurti justru bertambah menjadi 6 bulan.
‘’Inilah ketiga kalinya aku kena perkara. Pertama kali kena spreek-delict di Bandung tahun 1933, kedua kali karena aku membikin pamflet, kena 9 bulan di Semarang tahun 1937, dan ketiga kalinya kena pers-delict di Semarang lagi, dan kali ini aku kena hukuman 6 bulan, pada tahun 1939,” tulis Trimurti.
Kendati berkali-kali dicurigai hingga dijebloskan ke penjara oleh pemerintah Hindia Belanda, Trimurti tak pernah berhenti memperjuangkan kemerdekaan Indonesia lewat suratkabar. Setelah menikah, Trimurti bersama sang suami menerbitkan Majalah PESAT. Sesuai namanya, majalah ini berkembang cukup pesat dari majalah tengah bulanan menjadi mingguan, lalu harian. Sayangnya majalah ini ditutup di masa pendudukan Jepang. Di masa ini, Trimurti lebih banyak aktif dalam persiapan kemerdekaan Indonesia.
Perhatian besar terhadap negara turut membawa ibu dua anak itu aktif dalam urusan pemerintahan. Pada 1947, Trimurti diangkat menjadi menteri perburuhan pertama Republik Indonesia.
Sebagai orang yang diberi tanggung jawab mengurusi perburuhan, Trimurti menunjukkan komitmennya yang besar dalam melindungi kaum buruh, khususnya pekerja perempuan. Yudi Latif menulis dalam Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan bahwa atas dasar hal itu pula Trimurti menetapkan aturan untuk memperoleh cuti pada hari pertama menstruasi bagi buruh perempuan.
‘’UU No.33/1947 ini dalam konsiderannya menyatakan, ‘Untuk menjamin penghidupan yang layak bagi buruh, perlu diadakan peraturan tentang pembayaran ganti-kerugian kepada buruh yang mendapat kecelakaan berhubung dengan hubungan kerja.’ UU ini menyebutkan perusahaan memberikan tunjangan dan ganti kerugian untuk buruh yang mengalami ‘kecelakaan berhubung dengan hubungan kerja pada perusahaan’, penyakit yang timbul karena hubungan kerja dipandang sebagai kecelakaan, dan meninggal dunia akibat kecelakaan yang demikian itu,’’ tulis Latif.
Setelah tak lagi menjabat sebagai menteri, Trimurti kembali ke dunia jurnalistik. Selain aktif menulis untuk beberapa suratkabar, ia juga ambil bagian dalam pembentukan Gerakan Wanita Indonesia Sedar (Gerwis) pada 1950. Pada 1962, Trimurti dikirim ke Yugoslavia dengan tugas mempelajari Worker’s Management di sana.
Kecintaannya terhadap dunia jurnalistik membuatnya terus berkarya di bidang ini. Di masa kepresidenan Soeharto, Trimurti menerbitkan Majalah Mawas Diri. Majalah ini memuat soal-soal keagamaan, aliran-aliran kepercayaan, etika, moral, dan sebagainya. Kesibukan jurnalis perempuan pemberani yang tak kenal lelah memperjuangkan keadilan bagi kaum perempuan itu terhenti pada 20 Mei 2008 saat Trimurti meninggal dunia di Jakarta pada usia 96 tahun.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar