Ibunya Dieksekusi, Alfa Balas Dendam kepada Wali Kota
Alfa Giubelli menyaksikan ibunya dieksekusi karena dituduh mata-mata fasis. Setelah dewasa, ia membalas dendam dengan membunuh wali kota yang menjadi otak pembunuhan ibunya.
ALFA GIUBELLI, seorang wanita muda di Italia, dipenjara karena membalas dendam kepada seorang pria yang menjadi otak pembunuhan ibunya. Perbuatannya dikecam sekaligus dibela. Bagi mereka yang membela, Alfa adalah korban dari kejahatan perang. Sedangkan pengecam memandang Alfa sebagai sisa-sisa fasisme Italia yang harus disingkirkan.
Kisahnya bermula pada 1944. Ibu Alfa, Margherita Ricciotti menjadi target kelompok partisan yang dipimpin Aurelio Bussi, seorang gerilyawan komunis yang dipanggil Nino atau Palmi. Menurut Giampaolo Pansa dalam La destra siamo noi, Margherita yang berusia 36 tahun dianggap sebagai seorang fasis, meskipun ia tidak pernah mengangkat jari untuk melawan partisan di daerah tersebut.
Sementara suaminya, Pietro Giubelli, berada di daerah lain di Italia utara dan telah bergabung dengan Republik Sosial Italia (Repubblica Sociale Italiana, RSI) yang dipimpin oleh Benito Mussolini. “Di desa mereka, keluarga Giubelli dikenal sebagai keluarga pendukung rezim Mussolini. Namun, mereka kebanyakan adalah orang miskin,” tulisnya.
Baca juga:
Ketiadaan suami membuat Margherita harus bekerja keras sebagai buruh di pabrik wol untuk membiayai hidupnya dengan sang putri yang lahir pada 1934. Alfa tumbuh sebagai anak pendiam, murid yang baik di sekolah, dan sangat dekat dengan ibunya. Oleh karena itu, ketika anak buah Aurelio Bussi mendatangi kediaman mereka pada 15 Juli 1944 untuk membawa pergi Margherita, Alfa tak melepaskan cengkeramannya dari ibunya.
“Jika Anda ingin menginterogasi saya, lantas kepada siapa anak ini saya titipkan?” tanya Margherita.
Domizia Carafòli dalam La Bambina e Il Partigiano, Alfa Giubelli: Storia di Una Vendetta menyebut Margherita diizinkan membawa serta putrinya. Namun, alih-alih dibawa ke markas seperti yang dikatakan oleh dua orang bersenjata itu, mereka justru dibawa ke kompleks pemakaman, di mana Palmo telah menunggu bersama anggota partisan lainnya. “Tidak ada interogasi, hanya hukuman mati, sebuah senapan mesin yang ‘meledak’, sementara Alfa yang dipisahkan dari sang ibu gemetar ketakutan,” tulis Carafòli.
Kematian Margherita menjadi bukti gentingnya kondisi di sejumlah wilayah Italia setelah jatuhnya rezim fasis Mussolini. Di wilayah-wilayah yang dikuasai partisan antifasis marak perburuan terhadap orang-orang yang dianggap fasis maupun berseberangan dengan kelompok mereka. Pada musim panas 1944, menurut Pansa, membunuh warga sipil yang dianggap fasis adalah praktik yang terus menerus dilakukan.
“Tuduhannya selalu sama, meski sulit dibuktikan, tetapi tidak bisa dihindari, yakni menjadi mata-mata fasis atau Jerman. Francesco Moranino, Gemisto yang terkenal, bahkan memerintahkan anggota sebuah misi Italia yang bekerja sama dengan Sekutu untuk dibunuh, hanya karena mereka bukan komunis. [...] Pada Juli 1944, partisan Gemisto menargetkan ibu Alfa. Beginilah yang terjadi dalam perang saudara; bahkan seorang pekerja miskin pun menjadi musuh yang harus ditindas,” tulis Pansa.
Baca juga:
Eksekusi mati Margherita membuat Alfa trauma hebat. Tak hanya merasakan kesedihan mendalam, ia juga dibayangi mimpi buruk. Pada 1949, Alfa yang telah menginjak usia 15 tahun menikah dengan Rino Basadonna. Pernikahan membahagiakan Alfa, tetapi trauma atas kematian ibunya membuat hidupnya seperti di neraka. Ia menyadari satu-satunya cara agar terbebas dari penderitaan adalah balas dendam.
Alfa tahu bahwa Aurelio Bussi, mantan pekerja tekstil yang juga seorang komunis adalah orang yang memerintahkan eksekusi ibunya. Ia juga sempat melihat pria kelahiran tahun 1902 itu berada di dekat tempat ibunya diinterogasi secara singkat sebelum dibunuh.
Sementara itu, Bussi hidup makmur. Ia terpilih sebagai wali kota Crevacuore, dan “dengan bangga memamerkan bintang emas yang diberikan oleh pemerintah atas keberaniannya sebagai seorang partisan,” tulis majalah Time, 25 Maret 1957.
Menurut Pansa, Bussi pertama kali ditunjuk sebagai wali kota Crevacuore oleh Komite Pembebasan Nasional dan jabatan itu dikukuhkan pada pemilu Maret 1946. Sepuluh tahun kemudian, ia masih memimpin kota tersebut. Dengan demikian, tak sulit bagi Alfa untuk mengetahui di mana ia tinggal.
Pada sore, 7 Maret 1956, Alfa yang telah berusia 22 tahun bersiap membalas dendam. Ia mempersiapkan diri dengan mengenakan pakaian terbaik, selendang untuk menutupi kepala, dan sepatu hak tinggi.
Alfa berangkat dari Desa Pella di Danau Orta, tempat tinggalnya bersama suami. Setelah berjalan kaki sebentar, ia naik bus ke Crevacuore. Ia sempat pergi ke balai kota, tetapi Bussi tidak ada di kantor. Seseorang memberi tahu kemungkinan Bussi berada di rumah temannya di Azoglio. Tak menyia-nyiakan kesempatan, Alfa bergegas pergi ke sana. Ia membunyikan bel ketika tiba di depan rumah.
Bussi yang berusia 53 tahun bangkit dari meja makan untuk membuka pintu. “Setelah pintu dibuka, Alfa berkata dengan mengeja kata-katanya: ‘saya Alfa Giubelli, putri Margherita Ricciotti’. Tak berselang lama wanita itu mengeluarkan pistol Browning caliber 7,65 dan mulai menembakkan seluruh peluru ke arah Bussi,” tulis Pansa.
Baca juga:
Setelah menuntaskan balas dendamnya, Alfa pergi ke markas Benemerita, berjalan dengan tenang dan berkata pada seorang carabinieri (polisi militer) bahwa ia telah membunuh wali kota. Pada Maret 1957, Alfa diadili oleh Pengadilan Assizes di Vercelli. Dalam salah satu persidangan, pengacara membacakan puisi yang ditulis Alfa ketika berusia 12 tahun.
“Saya teringat akan ibu saya... dari wajah malaikat yang manis itu, yang tidak lagi membelai tangan kecilku... Aku kembali, tapi ibuku tidak, dia tidak pernah kembali... Ya, aku menemaninya... langkah terakhirnya... oh, tapi mengapa; mengapa itu bukan langkah terakhirku juga?... Betapa aku juga ingin mengikutinya... Tidak merasakan siksaan dan rasa sakit dari hati saya... Tapi aku harus hidup untuk ayahku... Untuk saudaraku... Dan, setelah itu, suatu hari aku akan membalaskan dendamnya yang tidak pernah kembali.”
Ketika kasus Alfa tengah bergulir di meja hijau, banyak warga Italia yang mengikuti jalannya persidangan. “Media resmi Komunis Italia, L’Unita menyatakan bahwa Alfa bersalah atas ‘pembunuhan politik’, dan menuding wanita itu sebagai seorang fasis. [...] Di sisi lain, tak sedikit masyarakat yang menentang hukuman apa pun yang diberikan kepada Alfa. Ketika vonis dibacakan, kerumunan orang di ruang sidang berteriak dengan penuh kemarahan: ‘Bebaskan dia, bebaskan dia!’” tulis Time.
Pansa menyebut Alfa dinyatakan sebagai seminferma di mente (pikirannya setengah sakit) dan dijatuhi hukuman lima tahun tiga bulan penjara. “Pengadilan Banding mengukuhkan hukumannya, dan Alfa menjalani seluruh hukuman itu dengan tabah. Ia menghirup udara bebas pada musim semi tahun 1961, saat berusia 27 tahun. Ia melanjutkan hidup bersama suaminya dan melahirkan dua orang putri. Setelah peristiwa tersebut, Alfa tak mau mengucapkan sepatah kata pun tentang aksi balas dendam yang dilakukannya,” tulis Pansa.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar