Benny Moerdani Sowan ke Kiai
Insiden berdarah Peristiwa Tanjung Priok meninggalkan kesumat di kalangan umat Islam, khususnya kepada tentara. Jenderal Benny Moerdani turun tangan demi memulihkan citra TNI sekaligus menangkal kesan anti-Islam pada dirinya.
PONDOK Pesantren Lirboyo di Kediri, Jawa Timur, kedatangan tamu penting hari itu. Pada Kamis, 8 November 1984, Panglima ABRI Jenderal Leonardus "Benny" Moerdani berkunjung memenuhi undangan pimpinan pesantren Kiai Haji Mahrus Ali. Suasana hangat sudah terjalin di ambang pintu pesantren. Ketika Benny mengucap “Assalamualaikum”, Kiai Mahrus Ali segera menyambutnya dengan rangkulan mesra. Saat hendak masuk pesantren, Benny hendak melepas sepatunya. Namun, tuan rumah mempersilakan sang jenderal langsung naik saja. Sambil menggandengkan tangan Benny, Mahrus Ali berkelakar.
“Wah kalau saya yang jadi Jenderal, belum tentu saja bisa kemari,” celetuk Mahrus Ali yang disambut gelak tawa para ulama, sebagaimana diwartakan Berita Yudha, 9 November 1984.
“Aah, masya iya,” balas Benny. “Kalau ada Jenderal yang tidak mau memenuhi undangan seorang ulama, maka itu pasti bukan Jenderal ABRI. Sebab seorang anggota ABRI adalah rakyat juga. Jadi dia tidak mungkin melupakan asal mulanya.”
Safari Benny ke pesantren, sebagaimana diterangkan dalam biografinya Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan yang ditulis Julius Pour, untuk menyampaikan penjelasan tentang latar belakang Peristiwa Tanjung Priok. Tragedi Tanjung Priok disebut-sebut sebagai salah satu kejahatan HAM yang terjadi di masa Orde Baru. Alih-alih penanganan huru-hara, tindakan aparat keamanan dalam peristiwa tersebut lebih mengarah kepada pembantaian.
Insiden bermula ketika seorang anggota Babinsa (Bintara Pembina Desa) memerintahkan jamaah Musala Assa'dah di Gang IV Koja, Tanjung Priok, untuk menurunkan poster-poster bernada anti pemerintah. Cekcok yang terjadi di musala menyulut isu bahwa seorang tentara mengobrak-abrik musala tanpa melepas sepatu. Dua hari kemudian, 12 September 1984, bentrokan terjadi antara sekelompok massa dan tentara yang memakan korban jiwa. Diperkirakan ratusan orang tewas dalam peristiwa tersebut, sementara pemerintah menyatakan korban tewas sembilan orang dan 54 orang luka-luka.
Baca juga: Kesaksian Peristiwa Tanjung Priok
Peristiwa Tanjung Priok meninggalkan kesumat di kalangan umat Islam, khususnya kepada tentara. Benny selaku panglima Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dan Pangdam Jaya Mayor Jenderal Try Sutrisno dianggap bertanggung jawab atas kerusuhan yang memakan korban di pihak warga sipil tersebut. Benny menghadapi masalah itu dengan bersilahturahmi ke pesantren-pesantren. Langkah rekonsiliasi Benny dimulai ketika menghelat pertemuan kepada sejumlah tokoh Islam di rumah kediaman Menteri Agama Munawir Sjadzali. Dari Jakarta, Benny tercetus ide untuk melakukan hal serupa di daerah-daerah.
“Dengan segera gagasan ini diwujudkannya. Benny melakukan perjalanan keliling ke berbagai pesantren utama, memenuhi undangan yang disampaikan oleh para ulama setempat. Karena banyaknya jumlah pesantren dan terbatasnya waktu, maka dalam pelaksanaan pertemuan, para ulama di setiap daerah diundang datang secara bersamaan. Dengan secara terbuka dan hati tulus, Benny menjelaskan mengenai latar belakang sebenarnya dari keributan yang telah terjadi di daerah Tanjung Priok,” catat Julius Pour.
Kendati demikian, kesan anti-Islam semakin kuat melekat pada diri Benny setelah Peristiwa Tanjung Priok. Sebelumnya, Benny yang beragama Katolik ini diisukan acapkali bersikap keras pada perwira yang beragama Islam atau latar belakang Islam. Sikap itu terlihat dari kebijakannya dalam merekrut atau penempatan personel. Misalnya dalam perekrutan perwira Kopassus diambil 20 orang, 16 di antaranya beragama Kristen atau Protestan, dua dari Islam, satu Hindu, dan satu lagi Buddha.
Namun, menurut Salim Said, Benny bukanlah sosok yang anti pada Islam. Pakar politik-militer Indonesia itu menyimpulkan tafsiran Benny terhadap ideologi TNI adalah semacam ideologi sekuler yang melihat agama semata urusan sangat pribadi, yang harus disembunyikan dari mata umum terutama bagi mereka yang anggota TNI. Para perwira harus tunduk pada ideologi TNI sesuai dengan tafsiran sekularistik tersebut.
“Sikap dan persepsi Benny yang sekularistik itulah yang kemungkinan besar diterjemahkan oleh bawahannya yang kadang ekstrem, bahkan over acting dan lalu menjadi bahan pembicaraan sehingga akhirnya Benny dituduh anti-Islam,” ungkap Salim Said dalam Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto.
Benny sendiri menolak tudingan yang dialamatkan kepadanya. Apalagi Benny berayahkan seorang Muslim. Dalam safarinya ke pesantren-pesantren, tak jarang Benny memberikan bantuan materi atau bahkan membiayai pembangunan masjid. Ketika mengungjungan Pesantren Lirboyo, Benny menegaskan sama sekali tidak benar rumor yang menyatakan adanya kelompok ABRI dan kelompok agama. Oleh sebab itu kehadirannya di tempat tersebut jangan diartikan sebagai kunjungan pimpinan ABRI ke pesantren, melainkan kunjungan pejabat pemerintah kepada masyarakat muslimin.
“Tidak benar ada kelompok ABRI dan kelompok agama,” kata Benny dikutip Berita Yudha.
Baca juga: Benny Moerdani, Penjaga Setia Penguasa Orde Baru
Di Pesantren Lirboyo, Benny menyampaikan ceramah di hadapan sekira 850 alim ulama. Turut mendampingi Benny yakni Gubernur Jatim Wahono, Pangdam VII/Brawijaya Mayjen TNI Sularso, dan Kapolda Jatim Brigjenpol Djatmiko. Sementara itu, tokoh alim ulama yang ikut hadir antara lain Kiai Haji Assad Samsul Arifin, Kiai Haji Yusuf Hasyim dari Pesantren Tebu Ireng, dan Kiai Haji Ahmad Sidik dari Jember. Kepada para ulama tersebut, Benny menyatakan peranan penting alim ulama sebagai pembangun akhlak masyarakat beragama untuk mendukung keamanan dan ketertiban.
“Jadikanlah pesantren sebagai salah satu bentuk lembaga pendidikan yang dapat membantu mencerdaskan kehidupan bangsa, membantu tercapainya kesejahteraan dan kebahagiaan lahir batin masyarakat,” terang Benny.
Pada pertemuan itu, para ulama menyatakan keprihatinan mereka atas tragedi 12 September 1984 di Tanjung Priok, Jakarta. Namun, sebagaimana imbauan Benny, mereka juga bertekad untuk memelihara ketentraman, stabilitas nasional, juga menjaga masyarakat di wilayahnya agar tidak mudah terpancing isu perpecahan dari manapun datangnya. Secara umum, para ulama menyatakan dukungannya kepada pemerintah dalam memberantas kemaksiatan, pornografi, sadisme, narkotika, dan kumpul kebo yang kesemuanya merusak akhlak manusia.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar