Alasan PM Belanda Menolak Istilah "Kejahatan Perang"
PM Mark Rutte minta maaf atas kekerasan ekstrem di masa Perang Kemerdekaan Indonesia tapi menolak menyebutnya kejahatan perang.
HASIL penelitian dekolonisasi yang disusun tiga lembaga pemerintah Belanda menimbulkan pro dan kontra di ranah publik hingga Parlemen Belanda sendiri. Tetapi Perdana Menteri (PM) Mark Rutte menyambut baik karena penelitian itu jadi upaya mencari kebenaran, mengingat ia menyebutkan perang di Indonesia periode 1945-1950 adalah sejarah yang belum selesai.
Rutte menyampaikannya di sela sesi debat di Tweede Kamer (Parlemen Belanda) terkait penelitian “Onafhankelijkheid, Dekolonisatie, Geweld en Oorlog in Indonesië, 1945-1950” (Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945-1950) pada Rabu (14/6/2023). Penelitian yang hasilnya dirilis pada 14 Februari 2022 itu menimbulkan polemik, utamanya terkait temuan kekerasan ekstrem militer Belanda yang terstruktur terhadap penduduk sipil dan kekerasan “Masa Bersiap”.
“Baru beberapa dekade ini Belanda melihat sejarah ke belakang dengan lebih kritis dan terbuka. Kolonialisasi, perbudakan, dan dekolonisasi menghasilkan trauma kolektif dan kita tidak bicara tentang dekolonisasinya saja tapi juga dampaknya yang masih terasa sampai sekarang. Atas nama pemerintah, saya mengucapkan permintaan maaf atas apa yang terjadi di masa itu,” kata Rutte di parlemen sebagaimana diterjemahkan Arjan Onderdenwijngaard daria live streaming laman Tweede Kamer.
Permintaan maaf Rutte itu bukan hanya untuk para korban sipil Indonesia akibat kekerasan ekstrem militer Belanda. Para keluarga korban dari komunitas Indo Eropa, Maluku, dan beberapa golongan masyarakat lain yang turut jadi korban “Masa Bersiap” termasuk dalam permintaan maaf itu.
Selain itu, Rutte juga mengakui Proklamasi 17 Agustus 1945. Lalu, mengakui pula bahwa tidak hanya militer tapi juga pemerintah Belanda di masa itu bertanggungjawab atas kekerasan ekstrem sebagai hasil konflik kedua belah pihak pada periode tersebut.
Dalam kesempatan yang sama, PM Rutte membuka diri untuk merespons banyak pertanyaan. Salah satunya perihal kemungkinan hasil penelitian itu jadi pengetahuan baru di bidang kebudayaan dan pendidikan di Belanda, sebagaimana ditanyakan Frank Futselaar dari Socialistische Partij (Partai Sosialis) dan Simone Kerseboom dari FvD (Partai Forum untuk Demokrasi).
“Bidang budaya akan punya peran besar, baik lewat teater, film, pameran, untuk mengedukasi masyarakat. Sekolah-sekolah juga bisa mulai mengubah pelajaran sejarahnya. Untuk pendidikan, itu penting untuk menambah pengetahuan lebih luas dan juga melihat dari perspektif para veteran. Dalam pendidikan, ini akan diproses ke depannya. Karena akan baik jika ini bisa jadi bahan perdebatan untuk melihat dua sisi dalam bidang pendidikan, tetapi untuk menyusun kurikulum itu bukan tugas pemerintah tetapi untuk para guru dan spesialis (pakar),” sambung PM asal VVD (Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi) tersebut.
Baca juga: Perdebatan Alot Parlemen Belanda Mengupas Penelitian Dekolonisasi
Kendati begitu, Rutte menolak istilah oorlogsmisdaden (kejahatan perang) ditujukan kepada aksi-aksi militer Belanda di periode itu. Sebelumnya di sesi debat, beberapa anggota parlemen –antara lain Corinne Ellemeet dari Partai GroenLinks (Hijau Kiri) dan Don Ceder dari ChristenUnie (Partai Persatuan Kristen)– sempat mempersoalkan istilah hukum perang dan penggunaan istilah “kekerasan ekstrem” dalam hasil penelitian dekolonisasi tersebut. Keduanya berargumen bahwa yang dilakukan militer Belanda adalah kejahatan perang jika menilik Konvensi Den Haag 1899 dan 1907 terkait hukum perang dan kejahatan perang.
“Konvensi Den Haag belum jadi landasan yuridis. Pemerintah mengikuti kesepakatan (Kovensi) Jenewa 1949 dan bukan Konvensi Den Haag. Apakah bisa secara yuridis bicara bahwa itu kejahatan perang? Kesimpulannya kami tidak setuju bahwa itu kejahatan perang secara yuridis,” terang Rutte.
Jawaban Rutte mendorong Ellemeet dan Ceder kembali berargumen. Konvensi Den Haag 1899 dan 1907 itu, kata keduanya, menjadi dasar bagi Konvensi Jenewa 1949 yang disepakati pasca-Perang Dunia II. Konvensi Den Haag 1899 dan 1907 bahkan turut dijadikan landasan Pengadilan Nürnberg (1945-1946) dan Pengadilan Tokyo (1946) yang mengadili dan menghukum para penjahat perang dan kemanusiaan Nazi Jerman dan para petinggi militer Jepang dalam PD II.
Lagi-lagi Rutte mengelak dan beralasan bahwa kekerasan itu terjadi sebelum kesepakatan Konvensi Jenewa 1949. Tidak pula bisa serta-merta disebutkan kejahatan perang karena aksi-aksi militer Belanda di Indonesia bukanlah konflik internasional.
“Karena konflik ini mendahului Konvensi Jenewa (1949) dan ini perang kemerdekaan, oleh karenanya secara yuridis itu adalah konflik internal dan bukan konflik internasional. Interpretasi kami adalah bahwa kekerasan bisa disebut kejahatan perang jika terjadi setelah 1949,” tambahnya.
Alasannya saat itu berlaku hukum Hindia Belanda dan hukum Belanda. Dia mendasarkan pendapatnya pada Pasal 38 KUHPM yang hanya berlaku pada masa perang, sedangkan aksi-aksi polisionil di Indonesia tidak dianggap sebagai perang internasional pada masa itu.
Rutte menganggap ada perbedaan interpretasinya dengan argumentasi yang disampaikan Ellemeet dan Ceder. Oleh karenanya, aktivitas militer Belanda disebut sebagai politionele actie merujuk konflik domestik, bukan perang atau konflik internasional. Hal itu justru menjadi kontradiktif lantaran Rutte mengakui kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945.
“Saya tidak sepakat (istilah kejahatan perang). Saya tekankan lagi bahwa kita bisa menyebut demikian jika konfliknya terjadi setelah Konvensi Jenewa 1949. Itu interpretasi kami. Dan saya memahami bahwa kita tidak sepakat tentang itu,” tukas Rutte.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar