Wasit Pemberani Bernama Tjen A. Kwoei
Wasit yang memiliki reputasi mumpuni di cabang olahraga korfball atau bola keranjang. Berani dan tegas dalam memimpin pertandingan.
KEBANYAKAN orang tentu tak asing dengan permainan basket yang setiap regu beranggotakan lima pemain. Pertandingan olahraga ini diselenggarakan terpisah untuk putra dan putri. Meski begitu, ada olahraga yang serupa dengan basket namun di setiap regu terdapat pemain pria dan wanita. Cabang olahraga itu adalah bola keranjang atau korfball. Sesuai namanya, korf dalam bahasa Belanda berarti keranjang, dan bal berarti bola, cabang olahraga ini berasal dari Negeri Kincir Angin yang diperkirakan muncul awal abad ke-20.
Adrian Room, ahli toponimi dan onomastik dari Inggris, menulis dalam Dictionary of Sports and Games Terminology bahwa permainan asal Belanda yang menyerupai bola basket itu dimainkan oleh dua tim beranggotakan delapan orang, dengan tujuan mencetak gol ke dalam keranjang gantung yang terbuat dari anyaman rotan.
Menurut Colin Brown dalam “Sport, Modernity and Nation Building: The Indonesian National Games of 1951 and 1953” yang termuat di Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 164 No. 4 (2008), asal-usul korfball dapat ditelusuri kembali ke seorang guru sekolah Belanda bernama Nico Broekhuysen. Terinspirasi oleh permainan yang dia mainkan saat mengikuti program musim panas di Nääs, Swedia, Broekhuysen menciptakan permainan korfball di Amsterdam pada 1902.
“Korfball adalah permainan tim yang dimainkan oleh 12 orang; biasanya tim harus terdiri dari pemain laki-laki dan perempuan, meskipun setiap orang hanya akan bertanding melawan pemain dengan jenis kelamin yang sama,” tulis Brown.
Baca juga:
Kolonialisme Belanda berperan dalam menyebarkan korfball di wilayah koloni. Korfball pun menjadi permainan yang digemari di Hindia Belanda, Curacao, dan Suriname.
Taufiq Tanasaldy dalam “Legacy of the Past: Chinese Indonesian Sporting Achievements During the Sukarno Era” yang termuat di Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 173, No. 1 (2017), menyebut permainan korfball begitu populer di Indonesia sebelum tahun 1950-an. Asosiasi korfball nasional bernama, Persatuan Bola Kerandjang Seluruh Indonesia (PBKSI), telah dibentuk sejak tahun 1936. Selain itu, bola keranjang juga masuk dalam daftar cabang olahraga yang diperlombakan di Pekan Olahraga Nasional (PON) I pada 9–12 September 1948 di Solo dan PON II di Jakarta pada 1951.
Seperti olahraga lain, pertandingan korfball juga dipimpin seorang wasit. Salah satu wasit yang memiliki reputasi mumpuni adalah Tjen A. Kwoei. Majalah Minggu Pagi edisi 26 April 1953 menyebut pria keturunan Tionghoa berdarah Suriname ini sebagai wasit terbaik Persatuan Bola Kerandjang Indonesia Djakarta (PBKID).
Henk, sapaan akrab Tjen A. Kwoei, dikenal begitu mencintai dunia olahraga. Sejak remaja, pria kelahiran Semarang itu telah ambil bagian dalam berbagai pertandingan, khususnya cabang olahraga favoritnya, korfball. Kala itu dia belum menjadi wasit melainkan pemain. Kegemaran Henk terhadap korfball membuatnya rajin berlatih dan memperdalam pengetahuan tentang teknik dan aturan permainan tersebut.
Baca juga:
“Dari seorang pemain yang dianggap paling banyak mengerti mengenai peraturan-peraturan yang berlaku dalam lapangan ini, Henk sering kali dijadikan linesman, seorang pembantu wasit yang dalam bahasa Indonesia mungkin disebut sebagai penjaga garis,” tulis Minggu Pagi.
Henk dianggap mampu bertindak bijaksana dan objektif selama bertugas menjadi “hakim” di lapangan. Sejak itu, dia kerap diminta menjadi wasit. Meski begitu, pekerjaan ini bukan tanpa risiko, terlebih pengalaman Henk sebagai wasit masih belum banyak. Karena hal ini pula suatu peristiwa kurang menyenangkan terjadi padanya hingga mengancam reputasinya.
Kala itu Henk menjadi wasit pertandingan korfball antarsekolah. Dia dianggap tidak dapat bertindak tegas karena kurang nyaring meniup peluit saat memimpin jalannya pertandingan. Menurut mereka hal itu menandakan Henk ragu-ragu dalam mengambil keputusan.
Ternyata, bukan karena kurang reaktif saat melihat pelanggaran, alih-alih meniup peluit, Henk justru berteriak guna menjelaskan kesalahan atau pelanggaran yang terjadi. “Akibatnya bunyi peluitnya pun kurang nyaring dan sering kali tak terdengar oleh pemain-pemain yang bersangkutan dan orang yang kurang luas pandangannya dengan segera menarik kesimpulan: ‘Wasitnya bodoh! Kurang baik! Tidak Tegas! Memihak dan sebagainya’. Bahwa Tjen baru untuk pertama kali itu bertindak sebagai wasit tidak diketahui mereka, sehingga tersiarlah kampanye bisikan: ‘Jangan mau main terus kalau dia dijadikan wasit lagi!’,” tulis Minggu Pagi.
Henk tidak putus asa akibat pengalaman kurang mengenakan yang diterimanya. Dia justru semakin giat mempelajari segala sesuatu terkait pekerjaannya sebagai wasit. Pada saat latihan, dia lebih suka bertindak sebagai wasit. Kegigihannya membuat Henk masuk dalam daftar wasit yang khusus ditugaskan untuk memimpin pertandingan bola keranjang kelas satu.
“Henk hafal semua pasal-pasal yang tercantum dalam peraturan permainan, sehingga dalam menentukan keputusan rasanya ia dapat disamakan dengan seorang hakim yang menentukan suatu vonis berdasarkan Hukum Pidana,” sebut majalah yang terbit setiap Minggu itu.
Selain sebagai wasit, Henk juga masih menjadi pemain yang aktif. Dalam perkumpulan olahraga “Kenchana” dia termasuk pemain utama. Oleh karena itu, teknik dan keahliannya dalam permainan berkembang sejalan dengan pengetahuan teori yang dimilikinya.
Sementara itu, kepiawaiannya dalam memimpin pertandingan membuat Henk ditunjuk sebagai wasit pertandingan-pertandingan penting yang diselenggarakan oleh PBKID. Dia pun mendapat kesempatan menjadi wasit pertandingan korfball dalam PON II dan pertandingan korfball antarkota.
Baca juga:
Henk juga termasuk wasit yang memimpin pertandingan-pertandingan “sukar” karena pemain-pemainnya kurang sportif. Seperti pertandingan Bandung vs Maluku yang diselenggarakan oleh PBKSI. Suasana tegang hampir meletus menjadi perkelahian hebat akibat hasutan para penonton. Henk tidak gentar dan tetap tenang dalam bertindak. Bahkan, dia mengancam pemain-pemain yang tidak sportif dengan skorsing.
Henk juga pernah bertindak tegas kepada penonton. Suasana penonton bergemuruh membuat Henk menghentikan pertandingan. Setelah keadaan kondusif, dia meniup peluit tanda permainan dimulai lagi. Namun, segerombolan penonton mengejek beberapa pemain tertentu. Henk tidak suka dan memutuskan menunda kembali pertandingan. Dia kemudian menanyakan kepada orang yang masih ribut: “Dapatkah saudara bertindak sebagai wasit? Jika saudara mampu, maka silahkan memimpinnya.”
Henk memberikan peluitnya kepada penonton tersebut yang terdiam, tak berani mengucap sepatah kata pun. Keberanian dan ketegasan Henk membuat para penonton berhenti melakukan provokasi. Tak berselang lama suasana kembali kondusif. Setelah itu, Henk memimpin kembali pertandingan hingga selesai. Berkat keberaniannya, Henk berhasil mengantisipasi terjadinya perkelahian di tengah pertandingan. Orang-orang kemudian berkomentar: “Untung Henk yang menjadi wasit, kalau bukan wah…bisa berabe!”*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar