Torehan Medali Olimpiade dari Sabetan Raket
Sejarah mencatat raket Christian Hadinata dkk. pernah menyabet emas olimpiade 20 tahun sebelum Susi Susanti.
SKUAD tim nasional Indonesia yang turun pada cabang bulutangkis Olimpiade Paris 2024 sudah menggelar proses adaptasi dan latihan perdananya di Chambly Maville pada Senin (15/7/2024). Cabang bulutangkis sendiri memulai event-nya di Porte de la Chapelle alias Adidas Arena pada 27 Juli 2024 atau sehari pasca-upacara pembukaan.
PBSI (federasi bulutangkis Indonesia) sendiri mengirim sembilan pendekar raketnya. Mereka akan turun di lima nomor untuk bertarung memperebutkan medali emas dengan 163 pebulutangkis dari 48 kontingen negara lain, baik di event individu maupun beregu.
Jonathan Christie dan Anthony Sinisuka Ginting akan jadi andalan kontingen Merah-Putih di nomor tunggal putra. Sedangkan di nomor tunggal putri, hanya diwakili Gregoria Mariska Tunjung. Untuk nomor ganda putra, diperkuat pasangan Fajar Alfian/Muhammad Rian Ardianto dan di nomor ganda putri diisi Apriyani Rahayu/Siti Fadia Silva Ramadhanti. Tarakhir di nomor ganda campuran, wakilnya duet Rinov Rivaldy/Pitha Haningtyas Mentari.
“Di sisa waktu yang ada sebetulnya hanya menjaga performa. Program latihan tetap sama seperti di pelatnas, satu hari dua kali tetapi tidak ada penekanan khusus, sesuai dengan kebutuhan dan kebiasaan atlet saja,” tutur Kabid Binpres PBSI Ricky Soebagdja di laman resmi PBSI, Senin (15/7/2024).
Tentu ada harapan mereka bisa meneruskan tradisi raihan emas. Sejak cabang bulutangkis resmi dipertandingkan di Olimpiade Barcelona 1992, sabetan-sabetan raket atlet Indonesia nyaris tak pernah gagal menyumbangkan setidaknya sekeping medali emas untuk kontingen Indonesia. Pengecualian hanya terjadi di Olimpiade London 2012.
Medali yang Tak Diakui
Sebagaimana yang diketahui publik olahraga Indonesia, pebulutangkis tunggal putri Susi Susanti tak hanya diakui sebagai atlet yang pertama menyumbang medali emas pertama dari cabang bulutangkis. Ia juga diakui sebagai penyumbang medali emas pertama bagi kontingen Indonesia sepanjang keikutsertaannya sejak Olimpiade Helsinki 1952.
Padahal, raihan medali perunggu, perak, dan emas bulutangkis Indonesia sudah diraih sejak Olimpiade Munich 1972 dan Olimpiade Seoul 1988. Namun, pada dua olimpiade itu cabang bulutangkis masih jadi cabang non-resmi sehingga lima medali yang diraih di event demonstrasi Munich 1972 maupun event eksebisi di Seoul 1988 tak terhitung sebagai perolehan resmi kontingen Indonesia.
“Sayang saat saya masih bermain, bulutangkis belum masuk (cabang resmi) olimpade. Tahun 1972 di Munich baru eksebisi. Dieksebisikan diperkenalkan ke IOC (Komite Olimpiade Internasional, red.) bahwa bulutangkis seperti ini,” kenang pebulutangkis legendaris Christian Hadinata kepada Historia.
Baca juga: Gelar Juara Dunia Christian Hadinata yang Tak Disangka
International Badminton Federation (IBF) selaku federasi bulutangkis internasional sejatinya sudah memulai perjuangannya memasukkan olahraga tepok bulu sebagai cabang resmi olimpiade ke IOC sejak 1960-an. Mulanya melulu gagal. Namun setelah kursi presiden dijabat tokoh bulutangkis Indonesia, Ferry Sonneville, IOC memberi kesempatan untuk bulutangkis lebih dulu dijadikan event demonstrasi.
“Perjuangan itu dimulai Ferry yang pada 1965 mengusulkan agar cabang bulutangkis bisa tampil dalam Olimpiade. Lalu ketika menjabat sebagai Presiden IBF (1971-1974), peran Ferry bagi perkembangan olahraga bulutangkis sangatlah besar. Ia yang merintis dan melontarkan ide dengan menggelar pertandingan eksebisi di tengah-tengah berlangsungnya Olimpiade Munich 1972,” tulis Justian Suhandinata dan Broto Happy Wondomisnowo dalam Tangkas: 67 Tahun Berkomitmen Mencetak Jawara Bulu Tangkis.
Event demonstrasinya dihelat hanya satu hari, 4 September 1972, dengan diikuti 25 pebulutangkis putra dan putri dari 11 negara. Selain tuan rumah Jerman Barat, 10 peserta lainnya adalah Indonesia, Denmark, Swedia, Jepang, Malaysia, Inggris, India, Thailand, Kanada, dan Belanda.
Baca juga: Utami, Srikandi Bulutangkis Putri
Mengutip Die Spiele: The Official Report of the Organizing Committee for the Games of the XXth Olympiad Munich 1972, Volume 3, Indonesia sendiri mengirim empat atletnya. Selain Rudy Hartono yang turun di tunggal putra, ada sang adik, Utami Dewi, di tunggal putri. Utami juga turun di ganda campuran berpasangan dengan Christian Hadinata. Pun juga Christian Hadinata yang juga turun di ganda putra berduet dengan Ade Chandra.
Tak satupun dari empat pendekar raket itu pulang zonder medali. Dua medali emas disabet Rudy Hartono dan pasangan Christian Hadinata/Ade Chandra. Lantas masing-masing sekeping perak diraih Utami Dewi dan perunggu juga sukses dibawa pulang duet Christian Hadinata/Utami Dewi.
Sayangnya perjuangan itu sempat direcoki konflik internal. Tak ayal, upaya pengajuan bulutangkis ke IOC kerap terganggu. Terlebih setelah terjadi dualisme organisasi bulutangkis insternasional pasca-lahirnya Badminton World Federation (BWF) sebagai sempalan IBF.
“Sebanyak 13 negara Asia dan enam asosiasi Afrika bertemu di Hong Kong pada 24 Februari 1978 dan bersepakat memisahkan diri dari IBF yang sudah eksis sejak 1934. Perpecahan ini juga jadi faktor yang cukup berpengaruh pada prestis bulutangkis itu sendiri terkait pengakuan Olimpiade (IOC),” ungkap Jean-Yves Guillain dalam Badminton: An Illustrated History from Ancient Pastime to Olympic Sport.
Baca juga: Public Enemy Bulutangkis Bernama Scheele
IBF sendiri akhirnya melebur ke dalam BWF pada 1981. Baru setelah itu, konsolidasi, upaya, dan l0bi-lobi baru digencarkan lagi ke IOC. Salah satunya lewat agenda pertemuan Presiden BWF Craig Reedie dengan Presiden IOC Juan Antonio Samaranch di sela Sesi Kongres IOC di Roma, 23 Mei 1982. Agenda itu berbalas kehadiran Samaranch di Kejuaraan Dunia 1983 di Kopenhagen, Denmark.
“Event (Kejuaraan Dunia 1983) itu menghasilkan imej bulutangkis yang penuh kegembiraan dan jadi upaya meyakinkan Samaranch bahwa bulutangkis pantas mendapat tempat (sebagai cabang resmi) dalam program olimpiade,” tulis Jørgen Bagger Kjær dalam artikel “Badminton” yang termaktub dalam buku Routledge Handbook of Global Sport.
Segala perjuangan itu akhirnya berbuah manis. Pada IOC Session ke-90 di Berlin (4-6 Juni 1985), IOC secara resmi menyatakan akan memasukkan bulutangkis sebagai cabang resmi di Olimpiade Barcelona 1992. Sebagai langkah pendahuluannya, bulutangkis dijadikan ajang eksebisi di Olimpiade Seoul 1988.
Baca juga: Lambang Supremasi Bulutangkis Putri
Sebagaimana pada Munich 1972, event eksebisi bulutangkis di Seoul 1988 pun hanya digelar sehari di Seoul National University Gymnasium, 19 September 1988. Menukil Official Report: Games of the XXIVth Olympiad Seoul 1988, Volume 1, event itu diikuti sembilan negara, termasuk Indonesia. Dari lima nomor, pebulutangkis tunggal putra Icuk Sugiarto sukses memetik medali perak.
Lantaran sekadar cabang eksebisi, medali perak yang disumbangkan Icuk itu tak terhitung koleksi medali resmi kontingen Indonesia. Sejarah mencatat, medali pertama untuk Indonesia disumbangkan trio beregu putri Nurfitriyana Saiman Lantang-Lilies Handayani-Kusuma Wardhani di cabang panahan. Baru pada Olimpiade Barcelona 1992, medali pertama yang juga medali emas dipersembahkan Susi Susanti dan Alan Budikusuma.
“Itu 20 tahun kemudian saat saya jadi pelatih baru diterima di Olimpiade Barcelona, di mana Susi dan Alan jadi juara. Jaraknya 20 tahun tuh setelah kita perkenalkan, baru diterima jadi cabang resmi olimpiade,” tandas Christian Hadinata.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar