Atmosfer Semu Pemain Keduabelas
Beragam cara diambil untuk mengakali atmosfer stadion tanpa “pemain keduabelas”. Dari mural kontroversial hingga boneka seks.
APA jadinya pertandingan sepakbola tanpa atmosfer penonton? Bukan hanya manajemen tim yang rugi karena tiada pendapatan dari tiket, namun juga berpengaruh pada soal emosional dan mental pemain di lapangan. Perkara inilah yang harus dikompromikan demi berjalannya lagi kompetisi sepakbola seluruh dunia.
Yeyen Tumena, bek Timnas Indonesia periode 1995-2007 cum asisten pelatih timnas 2013, mengutarakan, bisa saja kompetisi digulirkan tanpa penonton seiring “The New Normal” di masa pandemi corona ini. Namun feel-nya akan sangat lain jika permainan tak diiringi emosi penonton.
“Korea, misalnya, sudah bisa jalan kompetisinya tanpa penonton. Tetapi sepakbola itu kan bukan hanya permainan teknik dan taktik,” tutur Yeyen dalam obrolan live “Bolatoria” yang dihelat Historia.id dan Bolalob.com di Facebook dan Youtube pada 15 Mei lalu. “Saya tidak bisa bayangkan kalau sepakbola tanpa penonton. Itu yang sulit kita terima. Ketika pertandingan itu tidak boleh ada penonton, ada yang hilang dari sepakbola. Karena sepakbola itu ada antusias, ada support, nyanyian, euforia, itu yang membuat sepakbola itu sangat menarik,” sambungnya.
Sebagaimana diberitakan, Korea Selatan dengan K-League-nya jadi salah satu kompetisi yang melanjutkan musim ini di saat corona masih merajalela di berbagai belahan dunia. Untuk mengisi kekosongan euforia dan emosi dari “pemain keduabelas” itu, tribun-tribun stadion di Korea diisi fans palsu dengan beragam cara.
Baca juga: Medan Laga Korea Utara dalam Sepakbola
Salah satunya, trik yang digunakan klub FC Seoul dengan menggunakan boneka-boneka seks. Manajemen FC Seoul menganggap, penggunaan manekin-manekin yang aslinya sebagai alat pemuas syahwat itu akan lebih menarik ketimbang memajang papan-papan atau spanduk bergambar penonton biasa sebagaimana yang diterapkan klub-klub K-League lain.
Namun, kebijakan itu dianggap tak pantas dan melukai kaum perempuan. Alhasil, sebagaimana dikutip dari LA Times, 20 Mei 2020, FC Seoul didenda 100 juta won oleh komite disiplin K-League.
“Kami meminta maaf sedalam-dalamnya terkait situasi ini. Kami aka meninjau prosedur-prosedur internal kami untuk memastikan hal ini tak terjadi lagi,” kata perwakilan FC Seoul.
Sementara, di Bundesliga (liga Jerman) yang jadi kompetisi Eropa paling awal yang melakoni kick-off lagi, beberapa klub menggunakan cara konvensional dengan memajang gambar-gambar fans di kursi penonton. Borussia Dortmund memilih mengosongkan semua kursi namun menayangkan kerumunan fansnya di videotron di setiap sisi tribun Signal Iduna Park.
Baca juga: Sepakbola, Puasa, dan Corona
Cara konvensional serupa tampaknya bakal ditiru liga-liga top Eropa lain yang akan menyusul menggulirkan kembali kompetisi 2019/2020: La Liga Spanyol pada 11 Juni, Premier League Inggris 17 Juni, dan Serie A Italia 20 Juni. Namun, tidak demikian dengan Superligaen Denmark.
Sepertinya tiada yang lebih unik dan canggih dari cara yang ditempuh Superligaen yang sudah kembali berjalan pada akhir Mei lalu. Untuk menyiasati atmosfer semu akibat ketiadaan penonton, liga Denmark menghadirkan para fansnya secara live via platform konferensi video Zoom. Trik itu dianggap bisa membuat suasana lebih hidup ketimbang menghadirkan fans palsu. Beragam reaksi dari ribuan penonton bisa tetap dirasakan pemain lewat Zoom yang ditampilkan sejumlah videotron di tepi lapangan.
Mural Kontroversial Arsenal
Perkara pseudo fans sebetulnya bukan barang baru. Arsenal FC tercatat sebagai tim pertama yang melakoninya, 28 tahun lampau.
Tentu musababnya bukan karena wabah atau pandemi, melainkan karena markasnya, Stadion Highbury, tengah direnovasi pada permulaan Premier League musim 1992/1993. Saat itu, tribun yang ditutup untuk renovasi hanya tribun belakang gawang sebelah utara sementara tribun barat, timur, dan belakang gawang sebelah selatan tetap dibuka.
Diungkapkan Joshua Robinson dan Jonathan Clegg dalam The Club: How the English Premier League Became the Wildest, Richest, Most Disruptive Force in Sports, tribun utara itu mulai dipermak pada Agustus 1992 dan baru selesai pada Juli 1993. Untuk menutup tribun yang tengah dikonstruksi sepanjang musim, manajemen menutupnya dengan mural kerumuman delapan ribu suporter berbahan vinyl yang memakan dana 150 ribu poundsterling.
“Musim pembuka Premier League 1992/1993 akan disiarkan secara langsung oleh televisi dan Highbury dirasa tak boleh terlihat berantakan di hadapan semua kamera. Wakil ketua klub David Dein dan direktur Ken Friar mencetuskan ide menghadirkan delapan ribu wajah suporter dalam bentuk poster setinggi 35 kaki dan lebarnya menutupi konstruksi,” tulis Robinson dan Clegg.
Baca juga: Kala Arsenal Tak Berdaya di Surabaya
Beberapa pemain merasa aneh dengan keputusan itu. Tampil di hadapan penonton dari benda mati tentu tanpa reaksi jika mereka mencetak gol. “Tetapi setidaknya saya tidak disoraki dengan ejekan saat berbuat kesalahan,” kata bek Lee Dixon, dikutip Robinson dan Clegg.
Pilar pertahanan Arsenal lainn, Steve Bould, malah menganggap poster yang menutupi tribun utara itu seolah merupakan pembawa sial. Pasalnya, di laga kandang pertama pada 15 Agustus 1992, Arsenal keok 2-4 saat menjamu Norwich City.
“Mural di tribun (utara) itu terasa aneh –semua wajah bisu yang terlukis menatap permainan Anda. Pertandingan pertama kami sempat unggul 2-0, tetapi pada akhirnya kalah 4-2 dan buat saya itu imbas dari tampil di depan mural aneh itu,” paparnya, disitat The Sun, 24 Mei 2020.
Pendapat berbeda keluar dari mulut penyerang gaek Alan Smith. “Orang-orang menganggap ada kutukan pada mural itu. Butuh enam laga sampai akhirnya kami bisa mencetak gol ke gawang yang berada di sisi mural itu lewat gol sundulan Ian Wright saat melawan Manchester City (28 September). Jadi yang jelas mural itu bukan kutukan, namun memang sangat janggal rasanya tak merasakan sorakan dukungan yang nyata dari tribun itu,” ujar Smith, dikutip Jon Spurling dalam Highbury: The Story of Arsenal In N.5.
“Walau begitu saya merasa adanya mural di sana lebih baik ketimbang tidak sama sekali. Setidaknya mural itu memberi suasana lebih intim. Memang performa kami di musim itu tidak maksimal, namun bukan berarti gara-gara ketiadaan penonton di tribun utara itu,” sambungnya.
Atmosfer semu yang dirasakan pemain dari mural di tribun utara itu bukan soal utama yang menjadikannya kontroversial. Yang paling dipermasalahkan adalah keragaman sosok penonton di mural itu. Padahal, Arsenal dikenal sebagai salah satu klub kosmopolitan dan banyak pemain lokal maupun asingnya berkulit hitam.
“Mural Highbury itu sungguh kontroversial dan merupakan suatu hal yang memalukan bagi fans Arsenal. Absennya wajah-wajah berkulit hitam di mural itu merupakan kegagalan dalam merefleksikan basis fans klub yang sebenarnya,” ungkap Paul Brown dalam Savage Enthusiasm: A History of Football Fans.
“Fans setia mereka bukan merasa tergantikan tapi justru merasa seperti diusir dari pertandingan. Sebuah survei fans yang dirilis Desember 1992 menyatakan, sebagian besar fans menganggap klub menghilangkan hak mereka untuk eksis, mengeksploitasi, dan membuang fans,” tambahnya.
Sebagai salah satu petinggi klub, David Dein akibatnya mendapat protes langsung dari salah satu pemain kulit hitam Arsenal. “Kevin Campbell datang pada saya dan mengatakan: ‘Tuan Dein, tidak ada sama sekali saudara-saudara (berkulit hitam) saya di mural itu.’ Saya kaget dan baru menyadari bahwa dia benar. Dengan bodohnya kami tidak menyadari itu sebelumnya. Saat itu juga kami langsung memperbaikinya,” tandas Dein.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar