Wali Kota Padang Berpulang di Bulan Ramadan
Wali kota Padang kedua dihabisi tentara Belanda dengan keji. Mengawali agresi militer Belanda pertama di bulan puasa.
Hari itu, Minggu, 19 Juli 1947, memasuki awal puasa Ramadan. Wali Kota Padang Bagindo Aziz Chan dan istri, Zaura Usman, dalam perjalanan menuju Padang Panjang. Sekitar pukul enam sore, mereka disetop tentara Belanda di jembatan Ulak Karang.
Komandan tentara Belanda, Letnan Kolonel J.C.C. van Erp memberi tahu Aziz Chan bahwa ada lagi aksi ekstremis, sebutan pihak Belanda kepada pejuang Indonesia, yang melakukan kekacauan di wilayah Belanda. Dia mengajak Aziz Chan untuk melihat tempat kejadian. Aziz Chan lalu naik mobil tentara Belanda itu menuju ke Lapai, Padang Luar Kota. Itulah hari terakhir bagi Aziz Chan.
Tentara Belanda kemudian memberi tahu istrinya bahwa Aziz Chan ditembak ekstremis di Lapai. “Ketika Zaura Usman menjenguk suaminya di RST (Rumah Sakit Tentara) Ganting, ternyata dia sudah meninggal dengan kepalanya rusak,” kata Joeir Moehamad dalam Memoar Seorang Sosialis.
Baca juga: Bulan Puasa di Bawah Agresi Militer Belanda
Bagindo Aziz Chan lahir di Padang pada 30 September 1910 dari orang tua Bagindo Montok dan Djamilah. Dia menempuh pendidikan sekolah dasar (Hollandsch Inlandsche School) di Padang. Dia kemudian melanjutkan pendidikan ke Jawa: sekolah menengah pertama (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) di Surabaya, sekolah menengah umum (Algemene Middelbare School) di Batavia, dan Sekolah Tinggi Hukum (Rechtshoogeschool) di Batavia.
Aziz Chan terjun ke pegerakan kemerdekaan dengan bergabung dalam organisasi Jong Islamieten Bond. Setelah kembali ke kampung halamannya, dia mengajar di Modern Islamic Kweekschool. Dia sempat aktif di Persatuan Muslim Indonesia (Permi) sampai dibubarkan pada 1937.
“Saya mengenal dan bekerja sama dengan Aziz Chan sejak zaman Jepang, karena kami sama-sama bekerja di kantor Gunseikan (pemerintah militer Jepang),” kata Joeir.
Setelah Indonesia merdeka, Aziz Chan memimpin PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia) dan menjadi anggota KNI (Komite Nasional Indonesia) Sumatra Barat. Dia diangkat menjadi wali kota Padang pada Agustus 1946 menggantikan Mr. Abubakar Djaar yang dipindahkan ke Sumatra Timur. Dia menjabat wali kota Padang kedua sampai dibunuh tentara Belanda pada 19 Juli 1947.
Joeir bersama Mr. Sutan Mohammad Rasjid, Residen Sumatra Barat, naik kereta api untuk menjemput jenazah Aziz Chan ke Padang. “Kami hanya sampai di Tabing karena diperingatkan oleh banyak pejuang Republik agar tidak masuk kota Padang berhubung ada hal yang tidak wajar dengan kematian Aziz Chan,” kata Joeir.
Jenazah Aziz Chan dijemput oleh pasukan Mobrig (kini Brimob). Sore hari jenazah yang didampingi kerabat diantarkan oleh ambulans ke stasiun Tabing. Jenazah lalu dinaikkan ke dalam kereta api untuk dibawa ke Bukittinggi. Sesampai di Bukittinggi, malam itu jenazah diotopsi oleh dokter Indonesia.
Baca juga: Tentara India dan Gurkha dalam Pasukan Sekutu
Joeir menyebut bahwa hasil otopsi menyatakan Aziz Chan meninggal karena pukulan benda keras di bagian belakang kepalanya. Jadi, bertentangan dengan keterangan pihak Belanda yang menyatakan bahwa dia ditembak ekstremis Indonesia.
“Memang ada lubang yang dibuat tembakan peluru di wajahnya, namun menurut tim dokter lubang itu adalah hasil tembakan setelah Aziz Chan menjadi mayat,” kata Joeir.
Jenazah Aziz Chan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan di Bukittinggi malam harinya dalam upacara yang dihadiri para pejabat sipil dan militer. “Esoknya [21 Juli 1947], Belanda melancarkan agresi militernya,” kata Joeir.
Sejarawan Mestika Zed dalam Sumatera Barat di Panggung Sejarah, 1945–1995 menyebut bahwa sejak semula Belanda benar-benar berniat melakukan agresi yang meletus secara serentak di Jawa dan Sumatra. Di Sumatra Barat khususnya, awal agresi militer pertama didahului oleh intimidasi dan provokasi yang puncaknya pembunuhan brutal terhadap Wali Kota Padang Bagindo Aziz Chan.
“Peristiwa itu menandai awal konflik yang lebih serius, saat Belanda pada hari-hari berikutnya menerobos ke front pertahanan Republik di luar kota. Sejak itu semua front tanpa kecuali bergolak dan pertempuran demi pertempuran, pencegatan dan maju-mundur perjuangan membawa jatuhnya korban di kedua belah pihak,” tulis Mestika.
Baca juga: Pasukan Sekutu di Sumatra
Mestika menyebut agresi militer Belanda pertama di Sumatra Barat hanya mencapai hasil terbatas karena sebagian besar wilayah tetap dapat dipertahankan oleh tentara Republik. Meskipun telah mengerahkan seluruh kekuatannya, Belanda hanya dapat memperluas daerah pendudukannya secara terbatas keluar Kota Padang.
Untuk menghormati perjuangannya, Bagindo Aziz Chan diabadikan menjadi nama jalan di Padang dan Bukittinggi serta dibuatkan patung dan monumen. Pemerintah memberikan penghargaan Bintang Mahaputera Adipradana dan gelar Pahlawan Nasional pada 2005.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar