Roebiono Kertopati, Bapak Persandian Indonesia
Dokter yang memimpin lembaga sandi negara selama lebih dari separuh hidupnya. Tipe pekerja yang tidak suka bermain politik.
JIKA Amerika Serikat punya John Edgar Hoover, direktur Federal Bureau of Investigation (FBI) pertama, yang menjabat selama 37 tahun dari tahun 1935 hingga kematiannya pada 1972. Maka, Indonesia punya Roebiono Kertopati, kepala Lembaga Sandi Negara pertama yang menjabat hampir 38 tahun, sejak bernama Dinas Code (1946), Djawatan Sandi (1949), Lembaga Sandi Negara (1972) hingga kematiannya pada 1984.
Sejak awal bergabung dengan Republik Indonesia, Roebiono sudah berkecimpung mengurusi persandian.
Arsip Kementerian Pertahanan Republik Indonesia No. 738 tentang organisasi Kementerian Pertahanan Bagian B menyebut Roebiono menjadi penasihat dan kepala bagian kode dan radio. Dia dibantu dua pegawai perempuan: Raden Roro Roekmini dan Sriwati. Roebiono membentuk Dinas Code pada 4 April 1946. Tanggal ini diperingati sebagai Hari Persandian Nasional.
Bagian B adalah badan intelijen yang didirikan Amir Sjarifuddin. Setelah Bagian B dibubarkan dan diganti Kementerian Pertahanan Bagian V (KP-V), Roebiono masih dilibatkan.
Baca juga: Zulkifli Lubis, Bapak Intelijen Indonesia
Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Badan Intelijen Indonesia menyebut Roebiono masih mengurusi persandian di badan yang dikuasai politisi sayap kiri itu. Roebiono tampaknya manusia tipe pekerja yang bisa diandalkan tapi tidak suka ikut-ikutan berpolitik dengan ideologi tertentu, hingga dia terus dipercaya mengurus sandi negara hingga akhir hayatnya.
Sebelumnya, Roebiono yang lahir di Ciamis, Jawa Barat pada 11 April 1914, hanya seorang dokter. “Dokter Roebiono tamatan Sekolah Dokter di Surabaya, setahun atau dua tahun setelah saya tamat dari sekolah yang sama,” kata Mayjen dr. Soemarno Sastroatmodjo dalam otobiografinya, Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya. Almamater mereka adalah Nederlandsch Indische Artsen School (NIAS) Surabaya. Alumni NIAS lain adalah Ibnu Sutowo.
Baca juga: Kode Bahaya Masa Perang Kemerdekaan
Menurut Mara Karma dalam Ibnu Sutowo: Pelopor Sistem Bagi Hasil di Bidang Perminyakan, sejak lama Roebiono berkawan dengan Ibnu Sutowo dan G.A. Siwabessy. Mereka sering menyantap nasi goreng dan menenggak bir bersama. Roebiono lulus sebagai dokter sebelum Jepang datang, sekitar tahun 1939. Ketika Jepang datang, Roebiono berada di Merauke. Masa-masa pendudukan Jepang adalah masa-masa petualangan baginya.
“[Roebiono] Menjadi dokter pemerintah (Hindia Belanda) di Merauke dan tiba pada 7 Oktober 1943 di Australia. Ditempatkan di NEFIS III. Pada 1 Maret 1944 dilantik menjadi perwira kesehatan kelas dua (setara letnan) ditempatkan di Detasemen Melbourne,” catat Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit: De Indonesische officieren uit het KNIL 1900–1950.
Roebiono kemudian ditempatkan di Morotai yang sudah direbut dari tentara Jepang. Di Morotai, dia memimpin pemberantasan penyakit malaria.
Koran Trouw, 14 Desember 1944, menyebut Roebiono yang bekerja bekerja di rumah sakit Eugenie (dibangun sekitar akhir September 1944) harus merawat sebanyak 400 orang. Baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak. Sebelumnya, tentara Jepang tidak ambil pusing dengan kesehatan masyarakat di sana.
Roebiono juga menangani kesehatan 2.200 orang, yang di antaranya pengungsi perang. Keterbatasan tenaga medis memaksa Roebiono melatih anak laki-laki dan perempuan Indonesia untuk dijadikan perawat sementara.
Baca juga: Kode Partikelir Dinas Code
Setelah Indonesia merdeka, Roebiono dimanfaatkan NEFIS untuk masuk ke Jawa. Dia mendarat ketika rakyat Indonesia merebut senjata tentara Jepang di Jawa. Tanpa pemberitahuan kepada pemerintah Indonesia, pesawat Angkatan Udara Inggris Royal Air Force (RAF) menerjunkan 15 orang di Malang pada 29 September 1945.
“Dari nama-nama mereka dapat diketahui bahwa sebagian terbesar rombongan itu terdiri dari orang-orang Belanda, hanya beberapa orang saja yang berkebangsaan Inggris, bahkan seorang di antaranya berkebangsaan Indonesia, ialah Letnan dr. Roebiono,” kata Asmadi dalam Pelajar Pejuang.
Mereka terlihat seperti Palang Merah internasional yang akan mengurusi tawanan dan korban perang. Menurut catatan Soepardijo dalam PETA: Tentara Sukarela Pembela Tanah Air, tim medis itu berkantor di Splendid. Tim yang di dalamnya ada dokter Belanda itu lalu dicurigai sebagai mata-mata Sekutu-Belanda. Mereka pun ditangkap. Roebiono kala itu dapat izin untuk bertemu keluarganya di Yogyakarta.
Baca juga: NEFIS Belanda Mengawasi Indonesia dari Australia
Bouman menyebut Roebiono sempat dipenjara oleh pihak Republik sebelum akhirnya dipekerjakan di badan intel sebagai petugas kode. Hal itu karena, menurut Conboy, Roebiono pernah dilatih militer Sekutu di Nugini, termasuk dalam hal sandi. Mantan NEFIS lain yang dipekerjakan pemerintah Republik Indonesia adalah Letnan Laut Belanda Abdulrachman Atmosudirdjo.
Jawatan Sandi berkantor di Jalan Batanawarsa ketika ibu kota Republik Indonesia berada di Yogyakarta. Roebiono menunjukkan kesetiaan dan jasanya ketika Yogyakarta diduduki Belanda. Dia ikut melayani perhubungan antarpejabat pemerintahan Indonesia yang tersisa dan tempatnya berjauhan, agar maksud pesannya tidak dipahami pihak Belanda.
Para politisi dari berbagai ideologi dan kepentingan politik hanya menganggap Roebiono sebagai pekerja, sehingga dia tak pernah disingkirkan dalam posisinya sebagai kepala dinas kode oleh para menteri pertahanan atau perdana menteri manapun dalam sejarah Indonesia. Tak heran jika Roebiono memimpin jawatan sandi lebih dari separuh hidupnya.
Selain kepala jawatan sandi negara, Roebiono juga dokter tentara kepercayaaan Presiden Sukarno. Harsya Bachtiar dalam Siapa Dia Perwira Tinggi TNI-AD menyebut, pada 1963 Roebiono menjadi Ketua Tim Dokter Kepresidenan. Dia juga termasuk dokter yang ikut mengotopsi jenazah Pahlawan Revolusi.
“Roebiono itu bukan patolog!” kata dokter ahli patologi Liaw Yan Siang yang ikut memeriksa jenazah Pahlawan Revolusi. Roebiono tidak banyak bicara terkait hasil otopsi Pahlawan Revolusi yang katanya disilet-silet itu. Kala itu, sebagai Brigadir Jenderal Angkatan Darat, dia harus satu pendapat dengan orang nomor satu di Angkatan Darat, Jenderal TNI Soeharto.
Selama Orde Baru, Mayor Jenderal TNI Roebiono Kertopati tetap pada posisinya sebagai kepala Lembaga Sandi Negara hingga ajal menjemputnya pada 23 Juni 1984. Dia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar