Prakarsa Indonesia atas Perang Korea
Sampai saat ini, status perang antara Korea Utara dan Korea Selatan masih gencatan senjata. Indonesia punya kepentingan untuk perdamaian Korea mengingat ancaman nuklir dan banyaknya migran Indonesia di sana.
LEDAKAN bom atom kedua hampir saja mengguncang dunia ketika Perang Korea bergolak. Dalam perang itu, Korea terbagi oleh dua kekuatan. Korea Utara disokong oleh Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Uni Soviet sedangkan Korea Selatan dibantu Amerika Serikat (AS) beserta sekutu PBB. Upaya penyelesaian perang lewat bom atom dicetuskan oleh Jenderal AS Douglas MacArthur, panglima tertinggi komando gabungan PBB, setelah Tiongkok terlibat langsung menyokong Korea Utara. Namun, gagasan MacArthur tersebut ditolak Presiden Harry S. Truman.
“Meskipun penggunaan semua senjata, termasuk bom atom telah dipertimbangkan, Truman tidak ingin melihat bom atom digunakan pada orang-orang tidak bersalah yang tidak ada hubungannya dengan agresi militer,” catat sejarawan militer Amerika Walter G. Hermes dalam United States Army in The Korean War: Truce Tent and Fighting Front.
Perang Korea berlangsung sedari 1950—1953. Pada 25 Juni 1950, Korea Utara lebih dulu menyerang ke perbatasan Korea Selatan. Seiring meningkatnya eskalasi perang, isu Perang Korea menempati halaman utama berita mancanegara di suratkabar selama tahun-tahun berlangsungnya perang. Perhatian yang sama atas Perang Korea juga disorot oleh media-media di Indonesia meski berada nun jauh dari Semenanjung Korea.
Baca juga: Adu Kuasa di Angkasa Korea
“Tentara Korea Utara dengan besar-besaran, yang di dalamnya juga tergabung tentara RRT mengadakan serangan besar-besaran yang dahsyat pada garis pertahanan tentara PBB yang baru di Korea. Pada salah satu tempat, pasukan Korea Utara itu berhasil menerobos garis pertahanan tadi hingga 3 mil dari jembatan sungai Chonchon di Anju.” demikian diwartakan Kedaulatan Rakjat, 7 November 1950.
Secara politik, Indonesia pada awalnya menjaga jarak atas perang yang terjadi di Korea itu. Lagipula, perang itu merupakan manifestasi dari persaingan Blok Barat (AS) dan Blok Timur (Uni Soviet) usai Perang Dunia II. Indonesia enggan ikut campur dalam perseteruan kedua blok yang dikenal sebagai Perang Dingin itu. Sikap yang sama diperlihatkan menyusul terjadinya Perang Korea.
Tak lama setelah pecah Perang Korea, Ketua DPR Mr. Sartono menyatakan bahwa konflik di Semenanjung Korea adalah masalah internal bangsa Korea dalam mencapai kemerdekaan mereka yang sesungguhnya. Posisi Indonesia ditegaskan dengan penolakan terhadap kapal-kapal asing yang ikut berpartisipasi dalam operasi PBB di Korea. Pelarangan kapal asing itu meliputi kepentingan untuk mengisi bahan bakar, bongkar muat, atau memperbaiki kapal di pelabuhan Indonesia.
Baca juga tulisan premium: Perang Negeri Ginseng
Sikap netral Indonesia terhadap Korea di masa permulaan perang, menurut Rostineu, berdasar dari fondasi kebijakan luar negeri bebas dan aktif. “Cara pandang Indonesia secara politik terhadap Korea dasarnya demikian (bebas dan aktif). Pasca Perang Korea, baik Korea Utara maupun Korea Selatan memandang Indonesia sebagai mitra strategis,” ungkap dosen pengampu Sejarah Korea Modern di Program Studi Sastra Korea Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia ini.
Seiring waktu, Perang Korea kian berkecamuk. Berita-berita tentang pertempuran di Korea yang setiap hari mengisi halaman depan suratkabar turut menyita perhatian masyarakat Indonesia. Rasa prihatin timbul karena Indonesia baru saja menerima pengakuan kedaulatan dari Belanda setelah empat tahun perang mempertahankan kemerdekaan. Di Medan, ribuan orang dari kelompok buruh, tani, pemuda, wanita, pedagang, dan lain-lain golongan melahirkan Komite Pembela Perdamaian Dunia pada 6 Agustus 1950. Dalam aksi damainya, kelompok ini memprakarsai resolusi perdamaian atas Perang Korea yang ditujukan kepada Presiden Sukarno.
Di forum internasional, sikap aktif Indonesia terhadap Korea mulai terlihat setelah resmi bergabung menjadi anggota PBB pada September 1950. Indonesia tergabung dalam Resolusi 13 Negara yang mengecam keputusan Tiongkok atas keterlibatannya secara langsung dalam Perang Korea. Selain Indonesia, Afghanistan, Burma, Mesir, India, Iran, Irak, Lebanon, Pakistan, Filipina, Arab Saudi, Suriah, dan Yaman adalah negara-negara yang mengajukan resolusi “Peking Government”. Resolusi itu pada intinya agar Tiongkok menarik mundur pasukannya dan gencatan senjata antara Korea Utara-Selatan. Resolusi itu ditolak Tiongkok sehingga menyebabkan perang terus berlanjut.
Dalam Kedaulatan Rakyat, 1 April 1954, Menteri Luar Negeri Sunario menerangkan bahwa Indonesia tetap mencari penyelesaian masalah Korea dengan melalui PBB. Di dalam mencari penyelesaian politik mengenai Korea, imbuh Sunario, “hendaknya negara-negara Asia yang tidak ikut berperang di Korea diturut sertakan, sebab negara-negara itu berkepentingan juga.” Imbauan itu dinyatakan Sunario ketika berpidato dalam Sidang Majelis Umum PBB 1953.
Pada 1953, Perang Korea berakhir dengan status gencatan senjata. Ketika Indonesia menyelenggarakan Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung pada 1955, sempat tercetus ide untuk melibatkan baik Korea Utara maupun Korea Selatan sebagai peserta. Namun, karena status hukum kedua negara tersebut masih menjadi polemik, para inisiator yang tergabung dalam “Colombo Powers” memutuskan untuk tidak mengundang.
Akibat Perang Korea, menurut Wildan Sena Utama, sejarawan Universitas Gadjah Mada, perdebatan tentang mengundang Korea Utara dan Korea Selatan jelang KAA menjadi polemik di antara inisiator dalam Konferensi Bogor. Meski demikian, Perang Korea (dan juga Perang Vietnam) turut menjadi latar belakang urgensi penyelenggaraan KAA, yaitu untuk menegakkan perdamaian dunia.
“(Selama KAA) Memang ada satu-dua negara yang menyinggung Perang Korea seperti Srilanka. Isu Perang Korea dan Perang Vietnam dimasukkan dalam kerangka pembicaraan pentingnya perdamaian dan bahaya perang bagi stabilitas kawasan,” kata Wildan.
Hingga saat ini, Korea Utara dan Korea Selatan masih dalam status gencatan senjata. Pengalaman sejarah atas prakarsa Indonesia di masa silam kiranya menjadi rujukan untuk resolusi perdamaian di masa mendatang. Mengingat ancaman bahaya perang nuklir dan banyaknya migran Indonesia di semenanjung Korea, Indonesia tentu punya kepentingan atas perdamaian Korea Utara dan Korea Selatan. Kendati demikian, Indonesia harus luwes menempatkan diri di tengah kedua negara.
“Indonesia perlu menjaga keseimbangan dalam berpolitik karena keberadaan migran Indonesia di Korea Selatan cukup banyak, sehingga perlu berhati-hati juga terhadap Korea Utara dengan berupaya tetap mendukung perdamaian di antara kedua Korea sembari tetap menjalankan pijakan politik bebas aktif,” pungkas Rostineu.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar