Adu Kuasa di Angkasa Korea
Perang Korea, tempat duel pesawat jet pertama.
LANGKAH Presiden Korea Selatan (Korsel) Moon Jae-in dan pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong Un menandatangani Deklarasi Panmunjom untuk Perdamaian, Jumat, 28 April 2018 membawa angin segar bagi kedua negara. Deklarasi itu menjadi lompatan besar untuk menutup konflik kedua negara yang berlangsung sejak Perang Korea (1950-1953).
Meski gencatan berhasil menghentikan perang itu, ia tak mampu mengakhiri konflik. Akibatnya, selama 65 tahun kedua negara selalu dibayangi curiga, waspada, dan siaga.
Rebutan Angkasa
Perang Korea, hasil awal dari adu kuat blok Barat pimpinan Amerika Serikat (AS) dan blok Timur pimpinan Uni Soviet, bukan semata membuka Perang Dingin tapi juga menjadi ajang adu persenjataan, taktik, dan strategi militer pertama blok Timur melawan blok Barat. Kedua pihak menggunakan banyak persenjataan baru, memicu persaingan senjata kedua blok hingga 1990-an. “Tak mungkin kita memahami Perang Dingin tanpa sedikit pengetahuan tentang Perang Korea,” tulis Stanley Sandler dalam The Korean War: No Victors, No Vanquished.
Di udara, Perang Korea menjadi pentas pertama adu pesawat tempur bermesin jet. “Para aviator tak hanya melulu mendemonstrasikan kebolehan dan teknologi aviasi teranyar; mereka juga memainkan peran penting bagaimana mestinya bertempur di dalam peperangan dan juga bagaimana mengakhirinya,” tulis Kenneth P. Werrell dalam Sabres Over MiG Alley: The F-86 and The Battle for Air Superiority in Korea.
Mulanya, perang udara tak imbang. AU Korut hanya memiliki pilot-pilot minim jam terbang, 132 pesawat tempur, dan 30 pesawat transport serta latih warisan Soviet. Pesawat Yak-9 dan La-9 Korut tak mampu menandingi Lockheed F-80 Shooting Star, Grumman P-9F Panther, North American Aviation F-51 Mustang, atau Vought F-4U Corsair AU PBB. Akibatnya, kata Richard J. Blanchfield dalam "Weapons, Tactics, and Training", dimuat dalam Coalition Air Warfare in the Korean War 1950-1953, “AU Korea Utara yang tua dan lebih kecil dengan cepat dihancurkan [oleh AU PBB, red.] dan berbarengan dengan itu superioritas udara PBB pun terpancang.”
Namun, kehadiran Mig-15 Fagot membalik keadaan. “Kehadiran MiG-15 buatan Soviet pada 1 November 1950 mengubah segalanya,” tulis Blanchfield. F-80, F-51, F-84, F4U, F9F Panther ataupun Douglas AD Skyraider AU PBB menjadi seperti tak bertaji.
“Ini merupakan debut ‘MiG-15’ dan para petinggi AU AS melihat perkembangan apa yang digambarkan sebagai ‘organized panic’ dari Korea hingga Pentagon,” tulis Earl Swinhart dalam “The Mikoyan-Gurevich MiG-15”, dimuat www.aviation-history.com.
AS malu, sebulan kemudian langsung menurunkan jet tempur F-86 Sabre. Duel udara jadi imbang dan seru. Duel para pilot Soviet-pilot AS seru sekaligus menentukan. Adu pembuktian superioritas di udara itu terutama terjadi di MiG Alley –tempat yang membentang antara mulut Sungai Yalu dan Laut Kuning. Banyaknya duel membuat banyak orang menganggap Mig Alley sebagai tempat kelahiran pertempuran jet tempur.
Dogfight pertama F-86 dan Mig-15 terjadi pada 17 Desember 1950, ketika empat F-86 Skuadron ke-336 pimpinan Letkol Bruce Hinton bertemu empat Mig-15 Soviet di ketinggian 32 ribu kaki. Pertempuran seru langsung terjadi. Hinton berhasil menembak satu Mig, membuat ketiga Mig lain kabur.
Namun, ace pilot terbesar dalam Perang Korea adalah pilot Soviet Mayor Nikolai Vasilievich Sutyagin (21 kills). Pada 24 Juni 1951, Sutyagin berhasil menembak jatuh F-86 yang dipiloti Kolonel Glenn Eagleston, komandan komandan 4th Fighter Interceptor Wing AU AS. Kemenangan itu jadi kemenangan paling mengesankan buat Sutyagin.
Setelah musim semi 1952, menurut Kum-Sok No, para pilot Amerika jadi lebih agresif. “Dogfight harian meluas hingga ke langit China, tepatnya di Mansuria selatan,” kata Kum. Bersamaan dengan kian banyaknya pilot China dan Korut menggantikan pilot-pilot Soviet, pendulum pun kembali bergeser ke AU PBB. Sabre menang atas Fagot.
“Setara dengan kemenangan RAF dalam Battle of Britain, kemenangan Amerika di ‘MiG Alley’ ikut menentukan bagian besar pertempuran dalam Perang Korea,” tulis Werrell dalam Sabres Over MiG Alley: The F-86 and The Battle for Air Superiority in Korea.
Pada dasarnya, kata Diego Zampini dalam “Russian Aces Over Korea: Mikoyan-Gurevich MiG-15 Fagot Pilots”, dimuat www.acepilots.com, kontes teknologi antara Mig-15 Soviet dan F-86 Sabre AS sebanding. Mig-15 Fagot lebih baik dalam banyak hal tapi F-86 bisa mengimbangi antara lain dengan kemampuan diving yang lebih stabil, pandangan penembak lebih baik, dan pakaian untuk pilotnya. “Yang terpenting adalah orangnya, bukan mesin,” ucap Chuck Yeager, pilot legendaris AU AS.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar