Perang Tiga Abad tanpa Pertumpahan Darah
Ketika Belanda terlibat prahara dengan sebuah negeri kepulauan selama 335 tahun. Perangnya diakhiri dengan bertukar candaan.
PULAU St. Mary’s dikelilingi garis pantai yang memukau dengan hamparan luas pantai berpasir putih dan teluk-teluk kecil berbatu yang dramatis. Ke pulau indah itulah duta besar (dubes) Belanda untuk Inggris, Jonkheer Rein Huydecoper, mampir pada 17 April 38 tahun silam. Bukan untuk pelesiran, melainkan menyelesaikan urusan serius: mengakhiri perang.
Pulau St. Mary’s jadi pulau terbesar di Kepulauan Scilly di perbatasan paling selatan wilayah Inggris Raya, 28 mil (45 km) barat daya Semenanjung Lizard. Pulau ini sudah resmi jadi bagian Kerajaan Inggris Raya sejak pertengahan abad ke-16 tapi mendapat otonomi khusus untuk mengatur pemerintahan daerahnya sendiri yang terpisah dari county Cornwall sejak 1888.
Jonkheer Huydecoper datang ke Pulau St. Mary’s dari London pada 17 April 1986 atas undangan Roy Duncan, sejarawan cum ketua Dewan Kepulauan Scilly. Duncan mengundangnya untuk duduk bersama dan menyelesaikan salah satu perang terlama dalam sejarah antara Kepulauan Scilly dan Belanda. Undangannya tentu disambut baik sang dubes.
“Dubes Jonkheer Huydecoper melakukan perjalanan sejauh 28 mil dari pesisir barat daya Inggris menuju kepulauan kecil dengan helikopter membawa satu gulungan kertas mewah yang menyatakan pengakhiran perang,” tulis suratkabar The New York Times, 18 April 1986.
Baca juga: Pertempuran Texel, Palagan Terakhir di Eropa
Pada 1985, ketika sudah menjabat ketua dewan, Duncan sempat mengulik sejumlah dokumen dan arsip soal konflik itu. Tetapi hasilnya minim temuan, selain perihal pernyataan perang pada 335 tahun silam.
Ia pun mengontak Kedutaan Belanda untuk Inggris di London untuk meminta informasi apakah terdapat arsip soal perjanjian perdamaian. Namun pihak Kedutaan Belanda mengaku tidak menemukan satu arsip pun soal perjanjian perdamaian. Artinya, Kepulauan Scilly dan Belanda masih berstatus dalam keadaan perang sejak 1651.
Oleh karenanya, awal 1986 Duncan mengundang Jonkheer Huydecoper untuk menyepakati penyelesaiannya. Dalam suasana yang hangat dan penuh canda, keduanya menandatangani perjanjian damai itu.
“Kita secara teknis masih berperang,” gurau Duncan saat menyambut Jonkheer Huydecoper di balaikota. “Itu jadi bahan bercanda di sini sejak lama,” sambungnya.
Jonkheer Huydecoper pun menimpali. “Pasti perasaannya tidak mengenakkan ketika tahu bahwa kami bisa saja menyerang Anda kapanpun,” ujarnya.
Baca juga: Empat Kerajaan Buatan tanpa Pengakuan
Perang 335 Tahun tanpa Jatuh Korban
Hingga kini perang itu kondang dikenal sebagai Perang 335 Tahun. Konflik tanpa pertumpahan darah dan korban “terlupakan” itu merupakan buntut dari fase akhir Perang Saudara Inggris (1642-1651) antara kaum Parlementaria dan kaum Royalis.
Syahdan pada 1648, pemimpin Parlementaria Oliver Cromwell mendesak pasukan dan Angkatan Laut (AL) Royalis sampai ke Cornwall di ujung barat daya daratan utama Inggris. AL Royalis sampai melarikan diri ke Kepulauan Scilly yang kala itu masih merupakan aset tanah milik tuan tanah dari kalangan Royalis, John Granville.
Republik Belanda yang merasa utang budi kepada Inggris memutuskan untuk terlibat. Pasalnya dalam Perang Delapan Puluh Tahun (1566-1648) menghadapi Spanyol, Belanda acap dibantu Inggris. Oleh karenanya, Belanda pun mengirimkan 12 kapal perangnya di bawah komando Laksamana Maarten van Tromp ke perairan Kepulauan Scilly. Belanda memutuskan untuk memihak kaum Parlementaria karena kaum Royalis sudah di ambang kekalahan dan nasib Raja Charles I sudah di ujung tanduk. Alasan lainnya karena kaum AL Royalis juga diperkuat kalangan perompak yang acap membajak kapal-kapal dagang Belanda.
“Pada 30 Maret 1651 Laksamana Maarten Tromp datang dengan 12 kapal dan berambisi menghabisi para perompak yang memanfaatkan kepulauan (Scilly) sebagai basis mereka membajak kapal-kapal kargo Belanda,” tulis Graeme Donald dalam Loose Cannons: 101 Myths, Mishaps and Misadventures of Military History.
Baca juga: Nasib Tragis Raja Charles I yang Dimakzulkan
Akan tetapi sebelum menembakkan satupun meriamnya, pada 17 April 1651 Laksamana Tromp menerima undangan negosiasi dari kaum Royalis. Ia pun mendarat di Falmouth dan bernegosiasi di Kastil Pendennis.
“Diceritakan Tromp datang ke Pendennis dari (kepulauan) Scilly untuk menuntut reparasi atas kapal-kapal Belanda dan kargo-kargo yang dirampas oleh pelaut-pelaut Royalis; dan karena tidak menerima jawaban yang memuaskan, ia mendeklarasikan perang terhadap mereka (Royalis),” ungkap R. L. Bowley mengutip sebuah surat dari seorang kaum Royalis yang tersimpan Memorial Whitelocke, dalam Scilly at War.
Pada Juni 1651, AL Royalis menyerah kepada armada Parlementaria di bawah pimpinan Laksamana Robert Blake. Ia menjanjikan pada Tromp bahwa armadanya yang akan menyelesaikan segala urusan dengan sisa-sisa armada Royalis.
“Menerima janji Blake untuk menertibkan persaingan kapal-kapal dagang dan perompak, Tromp berlayar pulang tanpa membatalkan deklarasi perang yang ia nyatakan saat kedatangannya,” lanjut Bowley.
Terlepas dari sejumlah konflik antara Inggris dan Belanda di kemudian hari, perang antara Kepulauan Scilly dan Belanda seolah terlupakan tanpa penyelesaian damai secara formal hingga lebih dari tiga abad berselang.
Meski begitu, beberapa akademisi dan peneliti merasa perkara “Perang 335 Hari” itu sekadar gimmick pariwisata belaka. Bowley mengungkapkan fakta bahwa Tromp tidak punya kewenangan dari pemerintah Republik Belanda untuk mendeklarasikan perang terhadap penduduk dan “pemberontak” di Scilly.
“Tromp sekadar seorang laksamana, bukan (pemimpin) sebuah negara dan Scilly bagian dari wilayah Inggris. Kisah (Perang 335 Tahun) ini sekadar kampanye yang bagus untuk pariwisata kepulauan,” tulis Donald.
Terlepas dari pendapat-pendapat itu, toh dubes Jonkheer Huydecoper tetap datang secara resmi dalam rangka memenuhi surat undangan Duncan. Keduanya bersepakat mengakhiri status perang selama 335 tahun, dua pekan, empat hari yang terlupakan itu pada 17 April 1986.
“Sampai pada 1986 ketika ketua Dewan Kepulauan Scilly, Roy Duncan menyurati Kedutaan Belanda, meminta status perang diakhiri. Dubes Huydecoper yang memahami situasinya pun datang pada 17 April dan memberikan satu gulungan kertas untuk ditandatangani yang menyatakan penyelesaian konflik selama 335 tahun,” tukas Kirsty Fergusson dalam Cornwall & The Isles of Scilly.
Baca juga: Belanda vs Inggris di Maluku
Tambahkan komentar
Belum ada komentar