Operasi Khusus Subyakto
Setelah keluar dari Angkatan Laut Kerajaan Belanda, Subyakto memimpin Special Operation. Meski singkat operasi khusus ini melatih banyak perwira ALRI.
KAPAL selam K-15 milik Koninklijk Marine (KM) atau Angkatan Laut Kerajaan Belanda merapat di Tanjung Priok, Jakarta pada September 1945. Seorang awaknya memutuskan keluar untuk bergabung dengan Republik Indonesia yang baru merdeka.
“Subyakto pergi setibanya di Tanjung Priok (Jakarta) September 1945,” kata Aart Hopman, perwira muda di K-15 dalam majalah Klaar voor Onderwater No. 117 tahun 2011.
Letnan Laut Kelas Tiga R. Subyakto dan Perwira Administrasi Kelas Dua Washington Siahaan resmi keluar dari Angkatan Laut Kerajaan Belanda terhitung sejak 1 Januari 1947 berdasarkan Koninklijk Besluit van 16 Januari 1947 No. 25, sebagaimana diwartakan koran Nederlandsche Staatscourant, 7 Maret 1947. Keduanya diterima oleh Republik Indonesia yang butuh banyak tenaga pendukung di bidang militer.
Tak lama setelah keluar dari Angkatan Laut Kerajaan Belanda, Subyakto bertugas di Singapura. Sekitar tahun 1947, sebut Aboebakar Loebis dalam Kilas Balik Revolusi: Kenangan, Pelaku dan Saksi, Subyakto menjadi wakil ALRI di Singapura dan terlibat dalam usaha pembelian kapal untuk Republik Indonesia.
Baca juga: Perwira Indonesia di Kapal Selam Belanda
Blokade ekonomi yang dilakukan Belanda di laut dan udara menyulitkan Republik Indonesia. Untuk menembus blokade Belanda, Bagian V (KP-V), badan intelijen Kementerian Pertahanan, yang dikepalai Kolonel Abdul Rachman Atmosudirdjo membentuk Special Operation atau operasi khusus. Menteri Pertahanan Amir Sjarifuddin menyadari potensi Subyakto karena bekas awak kapal selam Angkatan Laut Kerajaan Belanda.
Pada suatu hari di bulan November 1947, Subyakto mendapat telegram dari Abdul Rachman Atmosudirdjo. Seperti Subyakto, Abdul Rachman Atmosudirdjo juga bekas Letnan Laut Kelas Tiga di Angkatan Laut Kerajaan Belanda pada waktu Perang Dunia II.
“Saudara diangkat menjadi Komandan Special Operation dengan pangkat Letnan Kolonel I dengan gaji Rp400,” tulis Abdul Rachman Atmosudirdjo kepada Subyakto seperti tersimpan dalam Arsip Kementerian Pertahanan RI No. 275. Subyakto menerima tugas itu untuk menyiapkan kader-kader penembus blokade Belanda.
Baca juga: Kisah Taruna Indonesia dalam Angkatan Laut Belanda
Dalam Special Operation, Subyakto dibantu Bagus Nacis Djajadiningrat, bekas taruna Akademi Angkatan Laut Belanda di Surabaya; Kanido Rachman Masjur, keluaran Akademi Militer Breda; Eddy Martadinata, perwira kapal didikan Angkatan Laut Jepang; dan R. Iskak, seorang guru olahraga; dan lainnya.
Menurut Arsip Kementerian Pertahanan RI No. 269, Special Operation berusaha menghimpun bekas pelaut dari Jawatan Perhubungan Laut Belanda, Angkatan Laut Belanda, dan lainnya. Kemudian calon peserta pelatihan diambil dari bekas siswa sekolah Angkatan Laut di Kalibakung. Arsip Kementerian Pertahanan RI No. 268 menyebut mereka dilatih di Sarang Garoeda Complex, Sarangan.
Subyakto tidak lama memimpin Special Operation karena KP-V bubar setelah Perdana Menteri Amir Sjarifuddin lengser. Meski berumur pendek, Special Operation telah melatih banyak perwira ALRI, di antaranya Sudomo, Muljadi, dan Yos Sudarso.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar