Perwira Indonesia di Kapal Selam Belanda
R. Subyakto menjadi awak kapal selam Belanda selama Perang Dunia II. Ia kemudian menjadi KSAL ketiga.
SEKITAR awal tahun 1942, Karkono Soetardjo sudah sekolah di Yogyakata. Waktu itu, kota Yogyakarta sering diancam bom oleh pesawat udara Jepang. Tetapi kereta api dari arah Surabaya masih sering melintas.
“Ada seorang kurir mengantar surat kakak memberitahukan bahwa hari itu kakak melintas Yogya menuju Cilacap,” kata Karkono Soetedjo dalam album keluarga. Untuk beberapa tahun, Karkono tidak bertemu kakaknya itu yang bernama R. Subyakto.
Dari Cilacap, Subyakto berlayar ke tempat yang jauh. Di zaman itu, dengan modal ijazah SMA, ia bisa menjadi lebih dari seorang kelasi.
Sejak tahun 1942, Subyakto berstatus calon perwira cadangan di Koninklijk Marine alias Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Tahun berikutnya, ia benar-benar menjadi perwira cadangan Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Sekitar tahun 1943, Angkatan Laut Kerajaan Belanda kekurangan cadangan awak kapal selam.
Baca juga: Kisah Taruna Indonesia dalam Angkatan Laut Belanda
“Dari bulan Januari hingga Juni 1943 ia mengikuti pelatihan calon awak kapal selam di instalasi pelatihan kapal selam di Dundee, Skotlandia,” tulis Dinas Sejarah Angkatan Laut RI dalam Laksamana R. Subyakto: Perintis Modernisasi Angkatan Laut.
Pelatihan itu difasilitasi Royal Navy atau Angkatan Laut Kerajaan Inggris, sekutu Belanda. Setelah menjalani pelatihan, Subyakto sebagai perwira kapal selam ditempatkan di kapal selam K-15 milik Belanda.
“Kami juga mendapat LTZ III Soebijakto ketika kami meninggalkan Inggris, sebagai yang termuda di kapal, dari pelatihan bahasa Inggris, berangkat ke Mediterania dan seterusnya,” kata Aart Hopman, salah satu perwira muda di K-15 yang pernah bersama Subyakto, dalam majalah Klaar voor Onderwater No. 117 tahun 2011. Mereka sama-sama yang termuda di kapal selam K-15 dan sama-sama berpangkat letnan laut kelas tiga (LTZ III) –setara letnan dua pelaut dalam Angkatan Laut Indonesia.
Baca juga: Nanlohy Bersaudara di Kapal Maut Junyo Maru
Kapal selam K-15 buatan era 1930-an lebih sering hanya menjadi kapal penyusup. Menurut Kolonel Heri Sutrisno dari Dinas Sejarah TNI AL, kapal selam ini tidak diandalkan untuk pertempuran laut.
Kapal selam K-15 setidaknya berperan penting dalam operasi intelijen Netherlands East Indies Forces Intelligence Service (NEFIS), badan intel Belanda yang dibentuk di Australia. Tujuan operasi intelijen NEFIS untuk mempersiapkan pendudukan kembali Belanda di Indonesia.
Kapal selam K-15 mengantar mata-mata NEFIS ke Indoensia yang diduduki Jepang. Salah satunya Letnan Abimanjoe yang menjalankan operasi sulit. Tak heran jika ia tak bertemu NEFIS lagi sebelum perang selesai.
Baca juga: John Lie di Kapal Sekutu
Tak hanya mata-mata NEFIS, menurut Julius Tahija dalam Horizon Beyond, kapal selam yang diawaki Subyakto juga ikut mengantar satuan intel tempur Sekutu bernama Z Force ke daerah operasi.
Setelah Jepang menyerah pada 14 Agustus 1945, kerja Angkatan Laut Belanda berkurang. Jepang bukan lagi ancaman, namun Belanda punya masalah baru di bekas koloninya, yakni Republik Indonesia.
Subyakto tak bisa diharapkan lagi kehadirannya di kapal selam K-15. Ia kemudian keluar dari Angkatan Laut Kerajaan Belanda dan menjadi pendukung Republik Indonesia. Ia terlibat perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan kemudian menjadi Kepala Staf TNI AL ketiga (menjabat 1948–1959).*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar