Menyegarkan Kembali Historiografi Revolusi Indonesia
Dua dari 14 buku yang merangkum penelitian Belanda merupakan hasil kolaborasi. Upaya menjembatani narasi sejarawan Belanda dan Indonesia.
SETAHUN pasca-dirilisnya hasil penelitian Belanda tentang masa revolusi di Indonesia bertajuk “Onafhankelijkheid, dekolonisatie, geweld en oorlog in Indonesië, 1945-1950” (Kemerdekaan, dekolonisasi, kekerasan, dan perang di Indonesia, 1945-1950), tiga lembaga Belanda: KITLV (Koninklijk Instituut vor Taal, Land, en Volkenkunde), NIOD (Netherlands Instituut Oorlog Documentatie), dan NIMH (Netherlands Institute for Military History) mempublikasikannya lewat 14 buku. Dua di antaranya adalah Revolutionary Worlds: Local Perspectives and Dynamics During the Indonesian Independence War, 1945-1949; dan Onze Revolutie: Bloemlezing uit de Indonesische Geschiedshrijving over de Strijd voor de Onafhankelijkheid, 1945-1949.
Sebagaimana proyek riset yang beranggaran 4,1 juta euro itu, dua buku tersebut juga disusun secara kolaboratif antara para peneliti dari tiga lembaga Belanda itu dengan sejumlah sejarawan dan akademisi Indonesia. Ada empat isu yang, menurut antropolog Ratna Saptari, dapat dipetik dari buku itu yang jarang dibicarakan publik selama ini lantaran begitu kompeksnya konflik yang terjadi baik di pihak Belanda maupun Indonesia. Yakni isu penulisan sejarah, bagaimana revolusi terbentuk dari struktur-struktur kekuatan yang berbeda, dan juga perbedaan di antara para subyek dan pelaku yang terlibat dalam perjuangan anti-kolonial.
“Soal writing history, tentang siapa pelaku kekerasan, siapa pahlawan, siapa korban. Kenapa penulisan ini penting? Karena ini menjadi basis awareness sejarah. Ini juga jadi alasan kenapa terdapat ketidaksepahaman tentang bagaimana mestinya mempresentasikan sejarah yang terjadi. Buku ini juga memeriksa cita-cita yang berbeda, di mana konflik tidak hanya terjadi antara kekuatan kolonial dengan pergerakan nasionalis Indonesia tapi juga persaingan di dalam dua pihak ini, di mana terjadi perbedaan dan konflik internal,” kata Ratna di simposium bertajuk “Bridging the Narratives: Indonesian and Dutch Historians Re-Examine The Indonesian Independence War” yang dihelat di Museum Volkenkunde, Leiden, Belanda, Kamis (2/2/2023) petang waktu setempat.
Baca juga: Penelitian tentang Kejahatan Perang Belanda di Indonesia
Buku Revolutionary Worlds setebal 526 halaman itu berisi 17 artikel. Sebelas di antaranya ditulis sejarawan dan akademisi dari beberapa kampus di Indonesia: Dr. Abdul Wahid, Apriani Harahap, Muhammad Yuanda Zara, Mawardi Umar, Taufik Ahmad, Galuh Ambar Sasi, Farabi Fakih, Sarkawi B. Husain, Julianto Ibrahim, Erniwati, dan Tri Wahyuning M. Irysam.
Revolutionary Worlds berfokus pada bagaimana pengalaman sejumlah kelompok minoritas di akar rumput yang kehidupannya berubah drastis pada masa revolusi di Sumatra Timur, Aceh, hingga Sulawesi. Kelompok itu yakni komunitas India, Tionghoa, Indo-Eropa, hingga para petani dan kombatannya sekalipun. Harapan dari penulisan ini adalah agar masyarakat bisa melihat perspektif yang lebih mendalam lagi dalam narasi historiografi sejarah revolusi.
“Kita bisa lihat historiografi Indonesia didominasi narasi pemerintah. Kami ingin melampaui narasi itu, memberi energi baru terhadap minat sejarawan-sejarawan muda dalam meriset periode ini. Jadi saya pikir kita juga ingin meriset lebih dari sekadar nama-nama besar untuk memahami apa yang terjadi di periode itu dengan kompleksitasnya. Pada hakikatnya kami ingin memproduksi historiografi yang lebih sehat tentang periode itu,” kata Ketua Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Budaya UGM Abdul Wahid.
Contoh dari perubahan kehidupan itu terjadi pada komunitas India di Sumatera Timur (kini Sumatera Utara), yang ditulis sejarawan Universitas Negeri Medan Apriani Harahap dalam bab bertajuk “Playing it Safe: Survival Strategies of the Indian Community in East Sumatra Cities, 1945-1946”. Komunitas India yang di dalamnya terdiri dari orang-orang Sikh, Tamil, dan Chetti itu datang sejak pemerintah kolonial membuka banyak perkebunan. Mereka kemudian “menikmati” status sebagai golongan Timur Asing, dan seketika berubah drastis sejak kedatangan Sekutu yang notabene juga membawa banyak prajurit asal India pada Oktober 1945.
Komunitas India, menurut Apriani dalam presentasi artikelnya, para pemudanya mulanya mencoba merespons situasi revolusi dengan membentuk organisasi sosial-politik. Sebagian lagi menggabungkan diri ke beberapa laskar perjuangan.
“Tetapi para pedagang India yang lebih kaya dan mapan memilih menyokong Inggris dan Belanda untuk mengembalikan kekuasaan kolonial. Sisanya beberapa golongan India berusaha netral dan memikirkan hidup mereka masing-masing,” kata Apriani.
Baca juga: Cerita Para Pembelot India
Seiring perjalanan waktu, perbedaan sikap di antara anggota komunitas India itu menimbulkan konflik dengan kalangan bumiputera. Akibatnya sampai terjadi teror, perampokan, dan pembunuhan terhadap para saudagar India yang berpihak pada Inggris dan Belanda di Medan pada akhir 1945.
Di sisi lain, di internal komunitas India sendiri terjadi konflik antara kelompok Hindu dan Muslim. Walau jumlah keseluruhan korban teror dan kekerasannya belum diketahui, orang-orang India yang terpaksa mengungsi tercatat sekitar dua ribu orang.
“Riset kita selain mencari di Arsip Nasional dan Perpustakaan Nasional, dari arsip dan koran-koran lama, kita juga berusaha mendatangi komunitas itu. Sebagian besar golongan Sikh tidak ingin bicara, meski saya akhirnya menemukan seorang ibu yang sudah tua dan mau bicara tentang pengalamannya. Beberapa orang Chetti juga mau memberi informasi soal periode itu,” imbuhnya.
Sedangkan buku Onze Revolutie yang dihimpun Abdul Wahid dan Yulianti, berfokus pada pengungkapan kompleksitas masa revolusi melalui artikel-artikel lintas masa. Yulianti memaparkan, artikel-artikel yang diseleksi itu untuk mencari kontradiksi yang lebih obyektif terhadap narasi-narasi pemerintah yang umumnya homogen.
“Judulnya juga mirip tulisan (pamflet) Sutan Sjahrir, Onze Strijd (Perjuangan Kita, red.), kita berharap Onze Revolutie bisa merefleksikan artikel-artikel yang kami pilih dari beberapa periode waktu. Kami tidak fokus pada narasi pemerintah. Kami ingin membawakan sejarah sosial tentang revolusi. Makanya kami juga memanifestasi spirit perjuangan itu lewat bagaimana kami memilih para periset dan topiknya. Menjadikan Revolutionary Worlds dan Onze Revolutie sebagai dua buku yang tak terpisahkan,” tutur Yulianti.
Upaya Menjembatani Narasi Berbeda
Selama tujuh dasawarsa, publik Indonesia maupun Belanda menempuh jalan masing-masing dalam perspektif dan memahami sejarah periode 1945-1949. Menurut direktur NIOD, Prof. Martijn Eickhoff, kolaborasi dalam penelitian dan publikasi lewat dua buku di atas bisa jadi cara baru untuk berkolaborasi dan bahkan menjembatani dua perspektif berbeda antara mantan penjajah dan mantan terjajah.
“Contoh kecil ketika (Abdul) Wahid membawa saya ke Monumen Ambarawa, di sejarah Indonesia disebutkan itu salah satu pertempuran besar. Tapi menurut kami, itu bukan pertempuran karena Inggris sedang mundur. Jadi Indonesia dengan monumen itu memperingati pertempuran, sementara di kami itu withdraw,” ujar Eickhoff.
Baca juga: Mempertanyakan Peran Indonesia dalam Penelitian Belanda
Selanjutnya, ketika kita bicara revolusi, Eickhoff melanjutkan, orang-orang Indonesia juga punya perbedaan (perspektif) antara yang di pusat kota-kota besar dan di daerah. Belum lagi kalau dikomparasi dengan di daerah barat dan timur kepulauan.
“Jadi menurut saya menjadi kolaborasi yang inspiring,” tandas Eickhoff.
Bicara kolaborasi, Prof. Bambang Purwanto menimpali, butuh lebih dulu dialog intensif antara para akademisi Indonesia dan Belanda sebelum start proyek penelitian dan publikasi bukunya. Sederhananya dialog untuk saling “kompromi”.
“Jika Anda melihat judul proyeknya (riset) dengan menambahkan lema ‘kemerdekaan’, itu sudah menjawab semua pertanyaan Anda. Karena mulanya proyek ini tanpa (kata) ‘kemerdekaan’. Ini yang menjadi jembatan dengan sejarawan Belanda,” tutur Bambang.
Yang juga penting, lanjut Bambang, adalah penggunaan kata ‘dekolonisasi’. Menurutnya dalam khazanah sejarah Indonesia kata itu tidak dipakai karena konsepnya bukan dekolonisasi ketika Indonesia sudah merdeka secara politik sejak 17 Agustus 1945. Menariknya, sambung Taufik Ahmad, para akademisi Belanda juga bisa lebih terbuka untuk menerimanya.
“Semisal juga Aksi Polisionil, yang saya sendiri di sekolah dasar (mendapatkan pelajaran tentangnya, red.) dengan (menggunakan istilah) Agresi Militer karena terjadi agresi dari satu negara ke negara berdaulat lain, dan itu berbahaya buat militer Belanda karena membuat mereka menjadi penjahat perang. Di kemudian hari, saya pun merangkul awareness itu, menggabungkan dua kata itu untuk mempresentasikan kompleksitasnya, menjembatani narasi-narasi yang berbeda dengan lebih dulu berdialog agar pesannya tersampaikan,” tandas Taufik.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar