Solidaritas Prajurit India Untuk Indonesia Merdeka
Ratusan serdadu Inggris asal anak benua India melakukan aksi mogok ketika ditugaskan menghadapi orang-orang Indonesia. Sebagian dari mereka bahkan melakukan pembelotan ke kubu tentara Republik.
SUATU hari di bulan Maret 1971. Mayor Z.A. Maulani bersama rekannya dari KKo-AL, Mayor Suharmo Haryanto bertamu ke KBRI (Kedutaan Besar Republik Indonesia) di Pakistan. Saat akan memasuki pintu gerbang kedutaan, mereka berdua disambut dengan penghormatan “jaga jajar” dari para satpam KBRI.
Begitu turun dari mobil, betapa terkejutnya kedua perwira itu saat melihat di saku kiri kameja para petugas satpam tersebut terpasang Bintang Gerilya. Itu nama medali penghargaan bagi seorang tentara Indonesia yang pernah terlibat aktif dalam Perang Kemerdekaan (1945-1949).
“Setelah memberi salut secara sempurna kepada mereka, sebagai tanda hormat kepada senior, saya tidak dapat menahan diri untuk bertanya tentang Bintang Gerilya yang mereka kenakan,”ujar Kepala Badan Koordinasi Intelijen Negara era Presiden B.J. Habibie itu.
Salah seorang dari mereka akhirnya menjelaskan bahwa pada 1945-1949, mereka pernah tergabung dalam TNI-Polri dan aktif dalam perjuangan fisik melawan militer Belanda. Rupanya para satpam itu adalah para prajurit Inggris muslim dari kesatuan British Indian Army (BIA) yang membelot ke kubu kaum Republik karena tidak merasa nyaman harus memerangi orang-orang yang seagama dengan mereka.
Perasaan simpati para prajurit muslim dari BIA memang sudah muncul sejak awal kedatangan mereka di Pulau Jawa. Tersebutlah pada suatu hari di bulan Oktober 1945. Sebuah iring-iringan konvoi BIA yang melewati jalanan Bogor tetiba dihadang sekelompok lasykar yang terdiri dari anak-anak muda bersenjatakan beberapa pucuk bedil usang dan parang.
Alih-alih bisa menghancurkan konvoi kecil itu, para serdadu BIA malah dalam waktu cepat bisa balik bisa mengepung dan menjadikan anak-anak muda tersebut bertekuk lutut. Usai mengumpulkan para tawanan, salah seorang opsir mereka menyampaikan ceramah pendek di hadapan anak-anak muda itu.
“Isinya nasehat supaya anak-anak kita jangan melawan, karena katanya mereka bersimpati terhadap perjuangan kita. Dianjurkan pula oleh opsir itu agar anak-anak berlatih dahulu sebelum turun dalam suatu pertempuran sungguh-sungguh…” ungkap Jenderal (Purn) A.H Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Jilid 2.
Menurut Nasution, adanya rasa simpati pasukan Inggris asal anak benua India terhadap perjuangan orang-orang Indonesia tentunya bukan tanpa dasar. Bukan rahasia lagi jika sebagian besar bangsa India, saat itu menyimpan rasa kurang suka terhadap Belanda, yang menjadi musuh orang-orang Indonesia. Hal itu terkait dengan kejadian di Afrika Selatan, di mana perlakuan rasis keturunan Belanda berlangsung secara kencang terhadap orang-orang keturunan India di sana.
Baca juga:
Namun para peneliti sejarah BIA di Indonesia seperti Firdaus Sjam dan Zahir Khan menyebut justru karena soal kesamaan agama-lah yang menjadi pemicu utama munculnya rasa simpati tersebut.
“Faktor ini yang melahirkan sikap mereka untuk bahu membahu dengan para pejuang republik berperang melawan penjajah sebagai satu fisabilillah…”tulis Sjam dan Khan dalam Peranan Pakistan di Masa Revolusi Kemerdekaan Indonesia.
Hal itu terbukti pada saat satu seksi BIA pimpinan Letnan Abu Nawaz menolak keras perintah atasannya untuk menghancurkan Masjid Jami yang terletak di Jalan Serdang, Medan. Alih-alih melaksanakan perintah atasannya itu, seksi BIA yang keseluruhan prajuritnya beragama Islam itu malah membelot ke kubu musuh: para pejuang Indonesia.
“Penghancuran Masjid itu kemudian dilakukan oleh pasukan Inggris yang lain…”ujar Muhammad TWH, wartawan senior sekaligus pemerhati sejarah di Medan.
Sementara itu, di Utara Jakarta, Prajurit Ghulam Ali awalnya sama sekali tak mengerti mengapa pimpinan pasukan Inggris melarang keras para prajurit BIA untuk bergaul dengan penduduk lokal. Ketidakmengertian itu mulai terjawab saat suatu hari ia diikutkan dalam suatu patroli ke sebuah kampung.
“Ketika kami memasuki sebuah rumah kosong, kami menemukan kaligrafi basmallah dan sebuah kitab Al Qur’an di sana. Kami menjadi terharu dan muncul keinginan untuk membantu orang-orang Indonesia…”kenang pensiunan Polri itu seperti ditulis dalam Buletin Badan Kontak Purnawirawan/Warakawuri-Polri Mabes edisi Agustus 1986.
Baca juga:
Munculnya rasa solidaritas sebagai sesama muslim dan bangsa Asia menjadikan prajurit-prajurit muslim asal India bertambah nekad. November 1945, terjadi pembangkangan massif saat Panglima Pasukan Sekutu di Jawa Barat memerintahkan 400 serdadu BIA untuk berangkat ke front Surabaya. Beberapa hari sebelumnya, pembangkangan terhadap intruksi itu dilakukan pula oleh 200 prajurit BIA dengan melakukan aksi duduk di tempat dan mogok kerja.
“Keenamratus serdadu itu akhirnya ditindak oleh Panglima Sekutu dengan mengirim mereka ke kamp militer di Pulau Onrust, Kepulauan Seribu,” tulis Muhammad Rivai dalam Merdeka atau Mati.
Baca juga:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar