Laskar Napindo dari Halilintar hingga Naga Terbang
Barisan laskar PNI ini banyak menyumbangkan para jago yang mewarnai Perang Kemerdekaan di Sumatra Utara. Kadang-kadang mereka bergerak di luar kendali partai.
BEBERAPA pentolan laskar di pantai timur Sumatra masuk dalam radar intelijen Belanda. Di wilayah yang semasa kolonial Hindia Belanda bernama Karesidenan Sumatra Tmur itu, mereka dicap sebagai pengacau. Perusahaan perkebunan Belanda dijarah oleh laskar-laskar itu tanpa sisa. Kebanyakan berasal dari kelompok laskar Nasional Pelopor Indonesia (Napindo).
“Si pencopet Timur Pane berhasil menjadi jenderal mayor di Republik itu dengan bantuan geng-gengnya. Perusahaan-perusahaan perkebunan dijarah dan instalasi pabriknya dijual ke Malaka. Bahkan alat produksi pun hilang. Beberapa juta dolar diambil untuk kepentingan Napindo, organisasi pejuang Partai Nasional Indonesia (PNI) pimpinan Dr. (A.K) Gani. Pemimpin Napindo saat itu adalah Matheus Sihombing yang terkenal, dijuluki 'Bung Mitraliur',” demikian sentil koran Belanda Nieuwe Courant, 17 Oktober 1947.
Timur Pane dan Matheus Sihombing merupakan tokoh Napindo. Timur Pane menamai pasukannya laskar “Naga Terbang” sementara Matheus Sihombing dikenal sebagai pemimpin Napindo di Medan. Namun, keduanya bukanlah pemuka utama dalam pembetukan Napindo.
Menurut Sayuti Fitri, keberadaan Napindo seiring dengan dihidupkannya kembali PNI lewat Maklumat Pemerintah 3 November 1945. Maklumat itu memberikan kesempatan pada partai-partai politik membentuk barisan laskar dalam rangka mempertahankan kemerdekaan. Pesindo lebih dulu membentuk barisan laskarnya bernama Ksatria Pesindo, disusul Barisan Merah dari Partai Komunis Indonesia (PKI), dan Divisi Panah yang berafiliasi dengan Partai Kristen Indonesia (Parkindo). Dibandingkan partai-partai tersebut, PNI lebih belakangan membentuk laskarnya. Pimpinan partai Saleh Umar dan Jacob Siregar terlambat datang ke Sumatra Timur dari persembunyian mereka di Jawa dan Sumatra Selatan.
Sampai akhir November 1945, hanya berdiri pasukan-pasukan pemuda yang masing-masing dipimpin oleh tokoh-tokoh penganut aliran PNI. Mereka adalah: Marzuki Lubis di Jl. Arjuna, Selamat Ginting di Jl. Kapten, Lahiraja Munthe di Jl. Sepat, Timur Pane di Pasar Belakang, Bedjo di Pulo Brayan, Jacob Lubis di Tembung, Abdullah Hamid di Sunggal, Liberty Malau, dan Matheus Sihombing di Medan. Atas inisiatif Marzuki Lubis, pada 1 Desember 1945, orang-orang PNI berkumpul di Petisah. Selain Marzuki turut hadir Nip Xarim, Selamat Ginting, Bedjo, Rapotan Siregar, Lahiraja Munthe, D.M. Egon, dan Abdullah Hamid. Mereka masing-masing membawa para pemuda yang menjadi inti pasukan. Dalam pertemuan itu, semua yang hadir setuju atas pembentukan organisasi kelaskaran PNI yang dinamakan Nasional Pelopor Indonesia (Napindo).
“Sebagai pimpinan organisasi diangkat Marzuki Lubis karena ia merupakan orang yang berpengaruh dan berpengalaman. Kemudian D.M Egon diangkat sebagai wakil, Selamat Ginting sebagai kepala bagian persenjataan, dan Bedjo sebagai kepala bagian pengadaan makanan, sedangkan pemuda-pemuda lainnya dinyatakan sebagai anggota,” kata Sayuti Fitri berdasarkan wawancara dengan Marzuki Lubis, dalam skripsinya di Universitas Indonesia berjudul “Nasional Pelopor Indonesia (Napindo) Sumatera Timur (1945—1947).
Baca juga: Timur Pane: Lakon Sang Bandit
Menurut Sejarah Daerah Sumatra yang disusun tim peneliti Depdikbud, Napindo adalah laskar yang terkuat di antara laskar-laskar di Sumatra Timur selain Ksatria Pesindo, Hizbullah, dan Mujahidin. Dalam Pertempuan Medan Area, beberapa tokoh Napindo tergabung dalam Komando Resimen Laskar Rakyat Medan Area (RLMA) di bawah pimpinan Nip Xarim. Dari empat sektor pertahanan, komandan Napindo memimpin tiga di antaranya, yakni Sektor Medan Barat oleh Abdul Hamid, Sektor Medan Utara oleh Bedjo, dan Sektor Medan Timur oleh Jacob Lubis. Sementara Sektor Medan Selatan di bawah pimpinan Maliki dari Pesindo.
Seiring waktu, tiap komandan laskar menganggap dirinya sebagai komando tertinggi. Mereka bergerak sendiri-sendiri dan berlomba-lomba memperkuat pasukannnya dengan cara masing-masing. Dengan segera terjadi perpecahan dalam tubuh Napindo. Napindo yang kuat itu kemudian terpecah delapan di bawah pimpinan Selamat Ginting (Napindo Halilintar), Matheus Sihombing (Napindo Legiun Penggempur), Timur Pane (Naga Terbang), Liberty Malau (Banteng Marsose), Jakob Lubis (Napindo Tembung), Lahiraja Munthe (Napindo Medan Timur), Bedjo (Napindo Medan Utara), dan Sakti Lubis (Napindo Kuala Namu).
“Selamat Ginting, pemimpin milisi Batak Karo, berhasil merampas truk penuh dengan senjata Jepang dan keberhasilan itu menjadikannya pemimpin yang terkuat dari milisi nasionalistis Napindo Halilintar. Pemimpin-pemimpin lain, seperti Timur Pane, berkembang menjadi panglima perang, yang merampas perkebunan dan mendapatkan kekayaan dengan ekspor tembakau, karet, dan sisal. Dalam sepuluh bulan pertama tahun 1946, para panglima perang melakukan ekspor senilai 126 juta dolar ke Singapura dan Penang. Dengan hasil itu mereka dapat membeli senjata,” ungkap Harry Poeze dan Henk Scholte Nordjolt dalam Merdeka: Perang Kemerdekaan dan Kebangkitan Republik yang Tak Pasti.
Tidak hanya rivalitas di antara sesama mereka, beberapa komandan Napindo juga terlibat gesekan dengan barisan laskar dari partai lain. Kementerian Penerangan dalam Republik Indonesia: Propinsi Sumatra Utara menyebut, Napindo penggempur yang dipimpin Matheus Sihombing dan berkedudukan di Tanah Merah (Galang), menyerang Ksatria Pesindo dan melucuti persenjataannya. Selain pertikaian senjata antar-sesama laskar, tokoh laskar Napindo seperti Timur Pane juga acapkali mengacau pemerintah termasuk bentrok dengan tentara Republik.
“Pertikaian kecil terjadi di Lubuk Pakam antara beberapa anggota Polisi Tentara dengan beberapa anggota dari Napindo. Dalam pertikaian ini tersangkut penglucutan senjata. Pertikaian kecil ini akhirnya menjadi pertempuran besar-besaran, dimana TRI dibantu oleh Pesindo mencoba menyerang Markas Napindo Kuala Namu,” demikian diterangkan Kementerian Penerangan.
Beberapa di antara tokoh Napindo meniti jalan tarung yang berakhir tragis. Seperti Matheus Sihombing yang tewas terbunuh dalam suatu baku tembak oleh rekannya sesama pimpinan laskar, sedangkan Timur Pane hilang tanpa jejak setelah pengakuan kedaulatan. Sementara itu, Bedjo barangkali termasuk yang sukses setelah ikut melebur ke dalam TNI hingga mencapai perwira tinggi dengan pangkat brigadir jenderal TNI.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar