Kolonel Latief dalam Pertempuran 10 November di Surabaya
Latief memimpin pasukan yang ikut bertempur di Surabaya. Pasukannya dijepit hingga harus mundur.
Kabar buruk dari Surabaya sampai juga di Bojonegoro. Isinya beragam, mulai dari kabar terbunuhnya Brigadir Mallaby hingga makin kerasnya sikap Inggris akibat kematian jenderalnya itu.
Pemuda-pemuda Bojonegoro pun bersiap ke Surabaya meresponnya. Bekal mereka hanya senjata dan latihan yang dirasa cukup. Pemuda Abdul Latief yang bakal memimpin mereka.
“Anak-anak buah kami berikat kepala merah putih dan senjata-senjatanya dikibarkan merah putih, setiap wagon (gerbong) berkibarlah bendera merah putih yang besar-besar sebagai lambang panji-panji perang kemerdekaan. Pada saat-saat berangkat tidak dilupakan untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya yang selalu membuat berdiri bulu romaku dan berangkatlah kereta api itu ke jurusan Surabaya,” aku Abdul Latief dalam catatan riwayat hidup yang tak diterbitkan.
Baca juga: Kolonel Latief Waktu Perang Dunia II
Perjalanan ke Surabaya itu melewati banyak kota. Di tiap stasiun, mereka disambut dan diberi makan. Latief melihat banyak keihklasan di zaman itu. Padahal, ekonomi pasca-perang masih belum membaik seperti ketika “zaman normal” sebelum tahun 1942. Suasana tegang mengganggu jalannya kereta ketika pasukan itu mendekati Surabaya.
“Pasukan tidak masuk stasiun Pasar Turi, tetapi berhenti di stasiun Tandes dan semua pasukan istirahat di kantor kecamatan bekas pabrik padi. Saya mengirimkan lima orang untuk mencari informasi keadaan di dalam kota dan untuk menemui komandan pertempura kota menanyakan pasukan kami akan ditempatkan di mana?” aku Latief.
Pasukan Latief akhirnya ditentukan panempatannya di Asemrowo, dekat Pelabuhan Tanjung Perak. Daerah itu termasuk daerah berbahaya. Musuh ada di daerah pelabuhan. Pasukan Latief dipersiapan untuk menghadapi musuh yang akan datang dari pelabuhan.
Baca juga: Kenapa Yogyakarta Mudah Direbut Belanda?
Kala itu menjelang 10 November 1945, tanggal batas akhir ultimatum Mayor Jenderal Mansergh yang menuntut para pemuda Surabaya menyerahkan senjata-senjata mereka ke Sekutu-Inggris. Ultimatum itu tak dituruti para pemuda yang memilih berperang meski hanya dengan senjata seadanya.
Sebelumnya, para pemuda-pejuang telah membuktikan diri mampu menghadapi pasukan Inggris dalam pertempuran tiga hari di pengujung Oktober. Kendati korban berjatuhan, para pemuda-pejuang tak gentar melawan pasukan modern yang baru saja memenangkan Perang Dunia II.
“Waktu kami melawan itu memang cuma bersandar pada ideologi dan semangat kami yang berkobar-kobar merdeka atau mati! Jadi akhirnya tercetuslah pertempuran melawan Inggris yang berlangsung tiga hari, yaitu pada tanggal 28, 29, dan 30 Oktober 1945. Kalau tidak kepepet, kami tidak akan berbuat begitu. Memang pertempuran tiga hari melawan tentara Sekutu itu merupakan peristiwa pertempuran yang dahsyat sekali dan kalau pertempuran itu tidak dihentikan oleh kedatangan rombongan Presiden dari Jakarta, akan berakhir dengan kekalahan fatal dari pasukan Mallaby,” ujar Soemarsono, pemimpin Barisan Pemberontak Republik Indonesia (BPRI), dalam Revolusi Agustus: Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah.
Baca juga: Soemarsono di Surabaya
Dengan tekad kuat para pemuda-pejuang itu, Inggris tak berhasil mendapatkan apa yang diinginkan. Maka pada 10 November 1945, tembakan artileri Inggris menghantam daerah-daerah yang ditinggali para pemuda.
“Gelegar bom dan desingan peluru tidak kita hiraukan. Pasukan kita banyak yang mati bergelimpangan tanpa kita hiraukan. Kita terus melawan. Pasukan kita mendapat tekanan hebat sekali dari udara dan darat dengan tank-tanknya dan kekuatan kita sangat tidak seimbang. Terpaksalah kita mundur pada malam harinya, karena kalau siang hari sangat berbahaya menyusuri jalur kereta api, melalui kuburan Tembok Dukuh terus menuju Tendes ke markas kami semula,” aku Latief.
Dalam Pertempuran Surabaya melawan pasukan Inggris itu, pasukan Latief dan badan-badan perjuangan lain terlibat pertempuran kota. Pertempuran biasanya terjadi di jalan-jalan utama.
Baca juga: Dialog dengan Kolonel Latief
“Pertempuran-pertempuran sering terjadi di jalan-jalan antara jurusan jalan Gresik dari pelabuhan Tanjung Perak sampai Viaduct (jalan kereta api di atas), Jalan Simpang Lima sampai alun-alun Contong dan Bubutan. Tentara Inggris dan Gurkha sering berpatroli di tempat itu dan di situlah dihadang oleh pasukan bersenjata, baik tentara yang telah diresmikan maupun pasukan kelaskaran,” kenang Latief.
Setelah kalah secara militer dalam beberapa pertempuran kecil, pasukan Latief diperintahkan mundur. Namun seperti pasukan lain, kerja pasukan Latief tidak hanya bertempur tapi juga ditugasi mengurus evakuasi rakyat sipil ke luar kota. Meski tak mendapat kemenangan, pertempuran Surabaya mengasah naluri Latief sebagai komandan pasukan. Setelah 1945, Latief terus menjadi komandan tempur dan mencapai puncak karier pada 1965 sebagai komandan Brigade Infanteri 1 Kodam Jakarta Raya dengan pangkat kolonel.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar