Drama Mematikan di Laut Jawa dan Selat Sunda
Bentrokan kekuatan maritim Jepang dengan sisa-sisa Komando ABDA dalam Pertempuran Laut Jawa dan Pertempuran Selat Sunda.
LANGIT di Laut Jawa perlahan mulai teduh saat petang menjelang di hari itu, 27 Februari 1942. Dari teropong kru pengintai sebuah kapal Angkatan Laut (AL) Jepang, musuh yang dinanti akhirnya tampak saat waktu menginjak pukul 16.00. Rupanya armada kru pengintai kapal musuh juga mampu mendeteksi sebuah gugus serbu Angkatan Laut Jepang itu. Pertempuran Laut Jawa pun dimulai.
Pertempuran ini jadi momen adu gempur “tradisional” kolosal antarkapal permukaan tanpa pesawat pertama setelah Pertempuran Jutland (31 Mei-1 Juni 1916) di Perang Dunia I. Pertempuran ini juga jadi penentu laju ofensif Jepang dan upaya defensif terakhir Sekutu melalui ABDACOM atau Komando Amerika Serikat-Inggris-Belanda-Australia di wilayah Hindia Belanda.
Kekuatan Jepang yang dimaksud di atas adalah barisan Sentai 5 (Skadron 5), bagian dari Armada Ekspedisi Selatan ke-2 (Dai-Ni Nanken Kantai). Adalah Laksamana Muda (Laksda) Takeo Takagi yang mengomando armada berisi 28 kapal perang itu: dua kapal penjelajah berat, dua penjelajah ringan, 14 kapal perusak, dan 10 kapal angkut pasukan darat.
Baca juga: Midway, Adu Kekuatan Dua Armada
P. K. Ojong dalam Perang Pasifik mengungkapkan, skadron AL Jepang “Gugus Tugas Gurita Barat” itu bakal mengiringi invasi ke Pulau Jawa sekaligus menghancurkan sisa-sisa Komando ABDA. Skadron itu melaju dengan semangat tinggi mengingat kegemilangan para kompatriot mereka di Pertempuran Balikpapan (23-25 Januari 1942), serta direbutnya Singapura dan Palembang pada 15 Februari 1942.
“Armada Jepang mendekati Pulau Jawa dalam semangat yang menggembirakan. Sebaliknya armada Sekutu insyaf akan kelemahan mereka di semua lapangan: di darat, tapi terutama di laut dan udara. Sebagian besar angkatan udara (Belanda) telah hancur di medan pertempuran Malaya,” tulis Ojong.
Kekuatan maritim ABDA sudah mulai kolaps. Yang tersisa hanya Gugus Serbu Gabungan pimpinan Schout-bin-nacht (setara laksamana muda) Karel Doorman yang berkekuatan 14 kapal perang: dua penjelajah berat, tiga penjelajah ringan, dan tambahan sembilan kapal perusak dari Divisi Perusak 58 AL Amerika yang dikomando Letkol Laut Thomas H. Binford.
Dari segi angka, perbandingan kekuatan itu memang tidak besar. Tapi jika bicara segi psikologis, kenyataannya berbeda jauh. Jika skadron Jepang itu sudah terbiasa berlatih dan beroperasi bersama, tidak halnya dengan gugus gabungan ABDA.
“Semua kapal Jepang menggunakan satu bahasa dan satu kode. Tapi pimpinan ABDA tidak pernah mengarang satu kode yang seragam. Akibatnya menyedihkan, yaitu saling tidak mengerti antara Doorman dengan kapal-kapal Inggris dan Amerika. Kode Doorman dari (kapal komando) penjelajah ringan De Ruyter, setiba di (penjelajah berat) USS Houston harus diterjemahkan dahulu, baru diteruskan kepada kapal perusak Amerika yang kadang-kadang menerimanya tidak dalam urutan yang sebenarnya, sehingga mengacaukan dan membingungkan,” imbuhnya.
Baca juga: USS Houston "Tiga Kali" Celaka di Indonesia
Belum lagi, gugus gabungan Doorman sudah keletihan jelang pertempuran. Markas pusat ABDA di Surabaya sedianya sudah mendeteksi Sentai 5 dan memperkirakan akan tiba di Laut Jawa dari Malaya pada 27 Februari pagi. Namun Doorman “kepagian” memberangkatkan kapal-kapalnya dari Surabaya untuk mencegat kapal-kapal Jepang lebih dulu, sejak 25 Februari petang.
“Saat itu musuhnya masih jauh dan karena anak buahnya letih sekali, Doorman memutuskan hendak pulang ke Surabaya untuk mengaso pukul 9.30 pagi. Tapi justru pukul 10 pagi hari itu, ia menerima perintah dari (Panglima Laut ABDA) Laksamana Conrad Helfrich yang berkedudukan di Bandung: ‘Tanpa mempedulikan serangan udara, Tuan harus menuju ke jurusan timur untuk mencari dan menyerang musuh.’”
Doorman yang sudah sempat mengarahkan kapalnya ke tujuan Surabaya, akhirnya berbalik arah lagi. Sekira pukul 16.00 petang di perairan dekat Pulau Bawean, Doorman dan Takagi saling mendeteksi kekuatan masing-masing.
Pertempuran yang menentukan itu segera dimulai. Pertempuran laut “tradisional” itu tanpa bantuan udara sama sekali. Takagi tak bisa minta bantuan pesawat-pesawat pembom karena lokasinya terlalu jauh dari jangkauan armada induknya, meski dua penjelajah beratnya, Nachi dan Haguro, memiliki pesawat spotter atau penanda amfibi yang bisa diterbangkan untuk melaporkan tanda tembakan meriam kapal.
Kapal-kapal Takagi juga memiliki alat pengacak frekuensi radio, sementara di pihak ABDA hanya penjelajah berat HMS Exeter yang dilengkapi radar. Palagan ini pun harus ditentukan dengan intuisi dan keberanian para nakhodanya.
Baca juga: Operasi Mengebom Kapal Jepang
Tiga Pertempuran
Masing-masing kru dari tiang pengintai dan anjungan sudah saling mendeteksi menjelang pukul 16.00 petang. Alarm dan seruan siaga pun bersahutan. Sekira 16 menit selepas mendeteksi, meriam-meriam Nachi dan Haguro melepaskan tembakan-tembakan pertama ke posisi Exeter dan Houston, tetapi belum mengenai sasaran.
Exeter pun membalas. Sialnya, meski dilengkapi radar meriam Type 284, tembakannya kalah jangkauan. Justru serangan balik dari meriam 8 inci musuh mampu merusak bagian ruang mesin uap Exeter. Walau mengalami kerusakan, kapal Inggris itu masih bisa kabur ke Surabaya dengan dikawal kapal perusak Belanda Witte de With.
Korban berikutnya adalah Kortenaer. Kapal perusak Belanda itu mampus terbelah menjadi dua dan langsung tenggelam kendatiu hanya terkena satu torpedo Jepang. Lalu kapal perusak HMS Electra juga harus ditinggalkan para awaknya karena meriam-meriamnya kehabisan peluru dan mengalami kerusakan serta kebakaran hebat usai adu gempur dengan kapal perusak Asagumo dan penjelajah ringan Jintsū yang merupakan kapal komando Laksda Takagi.
“Situasinya menyedihkan karena kapal-kapal Doorman tak memiliki doktrin dan sistem komunikasi bersama hingga menimbulkan kekacauan. Faktor kelelahan juga ikut berperan dan persenjataan mereka tak sebanding dengan torpedo-torpedo jarak jauh Jepang. Lebih penting lagi, Doorman meminta pengintaian udara yang tak pernah datang. Akibatnya, justru posisi kapal-kapal Doorman yang ketahuan pesawat-pesawat spotter Jepang,” ungkap Spencer Tucker dalam World War II at Sea: An Encyclopedia.
Saat langit mulai gelap, serangan torpedo kapal-kapal Jepang lebih intensif. Sementara pada pukul 18.00, kapal-kapal perusak Amerika mencoba menebar asap untuk menyamarkan upaya kabur kapal-kapal sekutunya. Tetapi setelah hampir tujuh jam pertempuran, sekira pukul 11 malam kapal-kapal perusak Jepang mampu mengejar Doorman.
“Kapal-kapal Jepang akhirnya menenggelamkan tiga kapal perusak, penjelajah ringan Java dan kapal komando De Ruyter. Doorman ikut tewas di atas geladak De Ruyter. Jepang tak satupun kehilangan kapalnya. Hanya Asagumo yang harus undur diri karena mengalami kerusakan sedang,” lanjutnya.
Doorman sudah lenyap bersama ribuan pelautnya. Hanya 111 kru yang bisa diselamatkan penjelajah HMAS Perth dan USS Houston. Keduanya bersama Exeter yang kehabisan amunisi kabur ke Selat Sunda untuk menuju Cilacap, sementara barisan kapal perusak Amerika mencoba melarikan diri ke Ceylon (kini Sri Lanka) via Selat Sunda. Pertempuran Laut Jawa sudah usai namun sisa-sisa armada Sekutu belum selesai dikeroyok armada Jepang.
Kebetulan di Tanjung Priok terdapat satu kapal penjelajah Belanda, Evertsen. Kapal yang baru diperbaiki dan melakukan re-supply itu bergabung dengan Houston dan Perth. Sialnya pada 28 Februari malam, ketiganya dihadapkan kekuatan Jepang lain, Flotilla Perusak ke-5 pimpinan Laksda Kenzaburo Hara dan Divisi Penjelajah ke-7 di bawah komando Laksdya Takeo Kurita dengan total dua kapal induk, lima penjelajah, 12 kapal perusak, satu kapal ranjau, dan 58 kapal angkut pasukan darat.
Pertempuran Selat Sunda di perairan dekat Teluk Banten pun pecah pada pukul 23.06 tanggal 28 Februari. Ketiga kapal Sekutu itu tidak hanya dikepung dengan torpedo namun juga ranjau.
“Exeter, Perth, dan Houston tak mampu menembus kepungan Jepang, hingga kemudian Perth dan Houston tenggelam. Para penyintasnya ditawan kapal-kapal perusak Jepang dan dibawa ke Celebes (Sulawesi, red.) untuk dijadikan pekerja paksa selama tiga setengah tahun,” tulis Nick Shipley dalam Red Sun at War Part II: Allied Defeat in the Far East, Part 2.
Hampir semua sisa kekuatan ABDA luluh lantak, kecuali empat kapal perusak Amerika (USS John D. Edwards, John D. Ford, Alden, dan Paul Jones) yang sudah lebih dulu kabur ke Australia via Selat Bali. Sisa dari Pertempuran Laut Jawa dan Pertempuran Selat Sunda hanya Exeter serta kapal perusak HMS Encounter, USS Pope, dan Witte de With. Kapal yang terakhir ini mengalami problem mekanis hingga tak mampu ikut berlayar lagi, hingga menyisakan tiga saja.
Lagi-lagi ketiganya harus bertempur hingga amunisi terakhir saat dihadapkan lagi dengan skadron Takagi yang kali ini dibantu armada induknya pada Pertempuran Laut Jawa II pada 1 Maret 1942 pagi. Takagi datang tidak hanya dengan empat penjelajah dan lima perusak namun juga diperkuat satu kapal induk ringan, Ryūjō.
Baca juga: Akagi, Kapal Induk Kebanggaan Armada Jepang
Sekira pukul 9.35 pagi itu, perjalanan Exeter dan dua kapal perusaknya menuju Ceylon via Bawean disergap masing-masing dua kapal penjelajah dan perusak Jepang yang dikomando Takagi kala mencoba beralih arah ke timur laut untuk kabur. Ketiga kapal itu justru dihadapkan pada dua penjelajah berat dan dua perusak pimpinan armada Laksamana Ibō Takahashi.
Baru pada pukul 10.20 tembakan pertama dilontarkan dari meriam-meriam Jepang. Pope dan Encounter melepaskan asap untuk menyamarkan posisinya dari serangan torpedo, sementara Exeter melepaskan tembakan meriamnya.
Akan tetapi meriam-meriam Jepang yang lebih jitu justru mampu merusak ruang mesin uap yang belum lama diperbaiki. Hujan lebat tak menghentikan serangan-serangan Jepang hingga akhirnya Exeter tenggelam pukul 11.40 pagi.
Penjelajah-penjelajah Jepang kemudian beralih mengejar dua perusak lainnya. Encounter yang mencoba menyelamatkan para penyintas Exeter, harus menerima serangan-serangan telak hingga terbakar dan karam. Pope terus menghindari serangan di tengah hujan tetapi akhirnya tamat juga setelah terkena serangan udara dari pesawat-pesawat kapal induk Ryūjō.
“Baik taktis maupun strategis, Jepang mencapai kemenangan gilang-gemilang. Pendaratan pun bisa dilakukan tanpa rintangan. Satu minggu kemudian, 8 Maret 1942, tentara Belanda di Pulau Jawa menyerah kepada Jepang. Dalam waktu hanya empat bulan, berkuasalah Jepang di Asia Tenggara,” tukas Ojong.
Baca juga: Yamato Berjibaku
Tambahkan komentar
Belum ada komentar