De Zeven Provincien Kapal Hukuman
Kapal De Zeven Provincien dijuluki kapal hukuman karena beberapa perwira berumur yang indisipliner dan tidak cakap bekerja di tempat lain, dipindahkan ke kapal ini untuk memperbaiki diri.
KAPAL perang De Zeven Provincien dibangun pada 1908 dan mulai digunakan dua tahun kemudian. Ia berbobot 6,530 ton, panjang 101,50 meter dan lebar 17,10 meter. Kapal tua ini telah naik dok untuk perbaikan besar-besaran pada 1919 dan 1920. Salah satu kapal terbesar di Hindia Belanda ini dilengkapi persenjataan berat, bahkan meriamnya yang terberat di seluruh Hindia Belanda. Namun, ketepatan tembakannya tak seberapa karena buruknya panel bidik, dan tak memiliki penangkis serangan udara.
Kapal berkecepatan sedang ini digunakan sebagai kapal latih. Setelah menempuh pendidikan teori di Pendidikan Dasar Pelaut Pribumi (Kweekschool voor Inlandse Schepelingen atau KIS) di Makassar, para pelaut pribumi mendapatkan pendidikan praktik di kapal ini.
Menurut J.C.H. Blom, De Zeven Provincien mendapat julukan kapal hukuman karena beberapa perwira berumur yang indisipliner dan tidak cakap bekerja di tempat lain, dipindahkan ke kapal ini untuk memperbaiki diri. Kapal ini dipilih karena satu-satunya kapal besar bukan kapal modern, yang lingkup pelayarannya luas. Di kapal ini ada dua orang “bermasalah” yang keberadaannya telah diketahui pemimpin marinir, yaitu Boshart dan Paradja.
Baca juga: Drama Mematikan di Laut Jawa dan Selat Sunda
Boshart pernah menjadi pengurus beberapa serikat. Pada rapat-rapat di Surabaya, dia termasuk juru bicara yang keras. Komandan Eikenboom telah diperingatkan tentang dia. Orang kedua adalah Paradja yang pernah berhubungan atau masih berhubungan dengan kelompok-kelompok nasionalis. Kedua orang “bermasalah” ini yang memainkan peran penting dalam pemberontakan.
“Penelitian resmi menyimpulkan bahwa beberapa orang anggota Eropa ikut aktif dalam persiapan dan pelaksanaan pemberontakan. Boshart dipastikan merupakan tokoh terpenting,” tulis Blom. Namun, Boshart menyangkal keras terlibat pemberontakan. Dia membela diri bahwa perannya berusaha menengahi antara pemberontak dan perwira Belanda agar tidak terjadi pertumpahan darah.
Setelah dibom, De Zeven masih mampu berlayar sampai Pulau Onrust. Pada 1 Juli 1933, De Zeven ditarik sementara dari dinas, diperbaiki dan diubah, kemudian dipakai lagi. Pada 18 Februari 1942, kapal yang mendapat sebutan “Surabaya” ini justru tenggelam di Surabaya akibat serangan udara Jepang. Jepang mengangkat kapal itu dan mempergunakannya. Kelak, kapal ini tenggelam lagi di perairan Surabaya. Kali ini tidak diselamatkan lagi.*
Baca laporan khusus pemberontakan kapal De Zeven Provincien sebagai berikut:
Tambahkan komentar
Belum ada komentar