Cahaya kemerdekaan terbit di cakrawala. Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Jepang meninggalkan gelanggang perangnya dengan beban kehancuran di Hiroshima dan Nagasaki. Rumah Laksamana Maeda menjadi saksi bisu atas peristiwa perumusan naskah proklamasi kemerdekaan. Jepang kalah perang, Indonesia menang berjuang. Sejarah perjumpaan kedua bangsa terus bergerak ke depan, ke masa yang akan datang.

PROCLAMATION - The light of independence rose in the horizon. Indonesia proclaimed its independence on 17 August 1945. Japan left the battlefield with the burden of great destruction in Hiroshima and Nagasaki. The house of Admiral Maeda became a silent witness to the important event of the independence proclamation text drafting. Japan lost the war, Indonesia won the struggle. The history of the two nations’ encounter continues to move forward until the present time.

slide 3 of 2

Naskah Proklamasi

Naskah proklamasi disusun oleh Sukarno, Mohammad Hatta dan Ahmad Soebardjo pada dini hari 17 Agustus 1945 di kediaman Laksamana Maeda. Sukarno menulis konsep proklamasi kemerdekaan, sedangkan Hatta dan Ahmad Soebardjo memberi masukan. Konsep tulisan tangan itu diserahkan kepada Sayuti Melik untuk diketik. Naskah Proklamasi Kemerdekaan dibubuhi tanda tangan Sukarno dan Hatta sebagai wakil bangsa Indonesia. Bertitimangsa 17-08-2605 senada dengan penanggalan Jepang.

Proclamation Manuscript - The manuscript of the proclamation was written by Sukarno, Mohammad Hatta and Ahmad Soebardjo in the early hours of August 17, 1945 at the residence of Admiral Maeda. Sukarno wrote the concept of the Independence proclamation, while Hatta and Ahmad Soebardjo helped finalize the draft. The handwritten concept was handed over to Sayuti Melik to be typed. The manuscript of the Independence Proclamation was signed by Sukarno and Hatta as the representatives of the Indonesian nation and dated on 17-08-2605 to follow suit the Japanese calendar.

slide 2 of 4

Tanda Jasa

Setelah Sekutu menang perang, sekitar seribu mantan serdadu Jepang memutuskan berjuang bersama rakyat Indonesia mempertahankan kemerdekaan. Shichio Eto, salah seorang dari mereka, terlibat dalam sejumlah pertempuran melawan Sekutu dan Belanda di Sumatera Utara. Untuk menghargai peran dan jasanya, pemerintah Republik Indonesia menganugerahkannya Bintang Gerilya. Eto dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.

Bintang Gerilya - After the allies won the war, approximately a thousand former Japanese soldiers decided to fight with the Indonesian people to defend their independence. Shichio Eto, one of them, was involved in a number of battles against the Allies and the Dutch in North Sumatra. To appreciate his role and services, the government of the Republic of Indonesia awarded him the Bintang Gerilya (Guerrilla Star). Eto was buried at the Kalibata Heroes Cemetery, Jakarta.

slide 2 of 4

Kamera

Kamera Eyemo 71 buatan Bell and Howell (Amerika Serikat) ini digunakan untuk merekam peristiwa Ikada, 19 September 1945. Kamera ini dibawa tanpa izin oleh Soetarto dari kantor film propaganda Jepang Nippon Eigasja untuk mengabadikan momen bersejarah itu. Ribuan orang menunggu kedatangan Presiden Sukarno, yang akhirnya urung menyampaikan pidato mempertimbangkan keamanan dan keselamatan rakyat yang hadir di lapangan Ikada. Rakyat membubarkan diri setelah mendengar imbauan Sukarno untuk pulang.

Camera - The Eyemo 71 camera made by Bell and Howell (United States) was used to record the Ikada incident, 19 September 1945. This camera was taken without permission by Soetarto from the Japanese Nippon Eigasja propaganda film office to capture this historic moment. Thousands of people awaited the arrival of President Sukarno. But after considering the people’s security and safety, President Soekarno canceled delivering his speech there and dismissed the crowd.

slide 2 of 6

Para Penggerak Massa Rapat Ikada

Momentum penting setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia terjadi di Lapangan Ikada, Jakarta, 19 September 1945. Pertemuan antara pemimpin dengan rakyatnya itu diorganisir oleh kelompok mahasiswa Prapatan 10 yang dipimpin oleh Eri Soedewo dan kelompok pemuda Menteng 31 yang dipimpin Sukarni dan Chaerul Saleh. Beberapa tokoh pemuda yang turut menggalang massa antara lain Moefreni Moekmin, Wikana, A.M. Hanafi dan Sidik Kertapati. Setelah sempat tertunda beberapa hari karena alasan teknis dan keamanan, akhirnya pada 19 September ribuan massa membanjiri Lapangan Ikada dengan penjagaan ketat tentara Jepang. Sukarno hadir dan menyampaikan pidato singkat: “Saudara-saudara, kita akan terus mempertahankan Proklamasi kita.
Kita tidak mundur satu patah kata pun. Sekarang saya minta dengan tenang dan tenteram, saudara-saudara pulang meninggalkan rapat, dengan menunggu perintah dalam keadaan siap sedia.”

The Youth Behind the Ikada Rally - A momentous event after the Indonesian Independence proclamation happened on 19 September 1945 at the Ikada field in Jakarta. This rally was organized by the Prapatan 10 student group chaired by Eri Soedewo and the Menteng 31 Youth group led by Sukarni and Chaerul Saleh. The others who also gathered the mass were Moefreni Moekmin, Wikana, A.M. Hanafi and Sidik Kertapati. After being postponed for several days due to technical and safety concerns, the meeting was finally held and attended by thousands of people under the Japanese soldiers’ strict supervision. Sukarno joined the rally and gave a brief speech: “Brothers and Sisters, we are going to firmly defend our Proclamation. We will not take any step back. Now I ask you to leave this rally and go home peacefully, while be ready and wait for the next command.”