Perjumpaan orang Jepang dengan masyarakat di Nusantara bergulir terus seiring waktu, baik di masa damai maupun di masa perang. Maret 1942, Belanda hengkang tak lama setelah Jepang datang. Kali ini orang-orang Jepang datang bukan sebagai pedagang atau ronin. Di bawah kuasa Jepang, seluruh aspek kehidupan masyarakat disesuaikan menurut tata tertib mereka. Waktu, cara hidup, dan pergaulan berubah. Rakyat diarahkan menghadap ke arah negeri matahari terbit, dari mana “saudara tua” datang.

UNDER THE RISING SUN - The encounter of the Japanese with the people in Nusantara has gone through times either in peace or war. In March 1942, the Dutch left not long after the arrival of the Japanese. This time the Japanese came not as merchants nor ronin. Under the Japanese rule, all aspects of the people's lives were adjusted according to their order. Time, ways of life, and people’s relationships were changed. People were directed towards the land of the rising sun, from where the “older brother” came.

Lukisan Iboekoe karya Affandi

Pameran Lukisan Zaman Jepang

Lukisan Iboekoe karya Affandi ini dipamerkan dalam steleng atau pameran lukisan Naturalistik dan Realistik di gedung Poetera, Jl. Soenda (kini Jl. Gereja Theresia) 28, Jakarta, pada tanggal 19 hingga 29 Agustus 1943, sebagaimana dilaporkan dalam tulisan S. Sudjojono di majalah Pandji Poestaka, Poetera dan pusat kebudayaan Keimin Bunka Shidoso memberi ruang bagi para perupa Indonesia untuk berpameran dan mempertunjukkan karya-karya mutakhir dan terbaik mereka.

Painting Exhibition in the Japanese Era - This painting entitled Iboekoe or “My Mother”, was exhibited in the Naturalistic and Realistic Painting Exhibition at the Poetera building, Jl. Soenda (now Jl. Gereja Theresia) no. 28, Jakarta, from 19 to 29 August 1943. This was reported by S. Sudjojono in his article published in the Pandji Poestaka magazine. Poetera and the Keimin Bunka Shidoso cultural center provided spaces for Indonesian visual artists to express and exhibit their best works.

Buku Panggoeng Giat Gembira

Panggoeng Giat Gembira

Keimin Bunka Shidoso sebagai pusat kebudayaan, menghimpun para seniman dari berbagai keahlian. Termasuk di dalamnya adalah para pengarang yang piawai menulis naskah sandiwara, yang merupakan medium kesenian yang sangat populer di masa pendudukan. Karya mereka diabadikan dalam tiga jilid buku Panggoeng Giat Gembira (1945) sebagai sarana propaganda dan mobilisasi.

The Book of Panggoeng Giat Gembira (1945) - As a cultural center, Keimin Bunka Shidoso gathered many talented artists including play writers. Play was a popular performing art in the Japanese colonialism era. The work of these writers were compiled in three book volumes of Panggoeng Giat Gembira (1945) as a means of propaganda and mobilization.

Buku Pengoempoelan Oendang Oendang

Pengoempoelan Oendang Oendang

Gunseikanbu, selaku kantor pemerintahan militer Jepang di Jawa, menyusun peraturan untuk diberlakukan di seluruh wilayah pendudukannya. Buku peraturan ini diterbitkan oleh Kokumin Tosyokyoku (Balai Pustaka) di Jakarta, 1944.

Collection of Rules and Regulations - Gunseikanbu, the office of the Japanese military government in Java, stipulated regulations to be enforced throughout the Japanese territories. These regulations were arranged in a book published by Kokumin Tosyokyoku (Balai Pustaka) Jakarta in 1944.

Buku DJAWA SEINENDAN

Djawa Seinendan

Seinendan adalah organisasi barisan kepemudaan yang didirikan pemerintah pendudukan Jepang di Jawa pada 9 Maret 1943. Organisasi ini bertujuan untuk mendidik pemuda secara kemiliteran agar mampu mempertahankan tanah airnya dari serangan musuh. Buku Djawa Seinendan yang disusun Djawa Gunseikanbu ini memuat sejumlah peraturan dan panduan mengenai pendidikan di dalam barisan Seinendan.

Java Seinendan - Seinendan is a youth organization in Java founded by the Japanese ruling government on 9 March 1943. This organization is aimed to educate youth in the military to be able to defend their homeland from enemy attacks. The regulations and guidelines regarding education in Seinendan was compiled by Djawa Gunseikanbu in the book of Djawa Seinendan.

Katana/Gunto

Gunto

Gunto adalah pedang atau katana yang dibawa oleh perwira militer Jepang. Demi kesucian atau kesakralannya, gunto asli biasanya hanya bisa diberikan secara turun temurun atau direbut dari musuh dalam peperangan.

Pada era Perang Dunia Kedua, gunto diproduksi secara massal untuk kebutuhan militer. Banyak perwira PETA yang mempunyai gunto hasil reproduksi lokal.

Gunto - Gunto is a sword or katana brought by the Japanese military officers. For the sake of its holiness or sacredness, the original gunto can only be inherited or taken as a loot.

During the Second World War, guntos were mass-produced for military purposes. Many PETA officers owned locally-reproduced guntos.

slide slide slide slide slide

Mobilisasi dan Kontrol

Mobilisasi dan kontrol adalah dua kata penting dalam memahami masa pendudukan Jepang. Seluruh sumber daya di Indonesia dikerahkan untuk proyek perang Jepang di Asia-Pasifik. Pesan tentang pembentukan angkatan perang dan kewaspadaan terhadap musuh tersiar secara luas ke seluruh masyarakat.

Dalam masa itu, masyarakat Indonesia beranjak statusnya dari masyarakat jajahan menjadi alat perang di bawah panji-panji solidaritas Asia Raya. Ribuan laki-laki dewasa dikerahkan bekerja paksa sebagai romusha, sementara perempuan dipekerjakan sebagai wanita penghibur (jugun ianfu).

Mobilization and Control - Mobilization and control are two important words to understand the Japanese colonialism. All resources from Indonesia were mobilized for Japan's war projects in the Asia-Pacific. The message of army formation and the caution against the enemy were spread widely.

During that period, the Indonesian status as colonized people was shifted to be armament under the banner of the Great Asia solidarity. Thousands of adult men were sent into forced labor as romusha, while women were turned into comfort women (jugun ianfu).

Kartu Pendaftaran Bangsa Asing (Tionghoa)

Kartu Pendaftaran Bangsa Asing (Tionghoa)

Ketika Jepang menguasai Jawa, pemerintah pendudukan menerbitkan Undang-Undang No. 7, 11 April 1942 yang mewajibkan warga keturunan asing baik Eropa maupun Asia untuk mendaftarkan diri sebagai bangsa asing. Mereka dikenai tarif pendaftaran yang berbeda satu sama lain. Tarif pendaftaran untuk laki-laki Eropa 150 rupiah, sementara perempuan Eropa 80 rupiah. Adapun keturunan Tionghoa, Arab dan India dikenai tarif 100 rupiah untuk pria dan 50 rupiah untuk perempuan. Pada masa itu uang 100 rupiah senilai 1.100 kilogram beras.

Foreigner Registration Card (Chinese) - When the Japanese occupied Java, the ruling government issued Law no. 7, 11 April 1942 requiring citizens of foreign descent, both European and Asian, to register as foreign nationals. For this registration, they were charged different rates. The registration fee for European men cost 150 rupiah, while for the women was only 80 rupiah. The Chinese, Arab and Indian descendants are charged 100 rupiah for the men and 50 rupiah for the women. At that time 100 rupiah was worth 1,100 kilograms of rice.

Ijazah Sekolah Rakyat Jaman Jepang

Ijazah Sekolah Rakyat Jaman Jepang

Pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia menghapuskan dualisme pendidikan yang semasa era kolonialisme Belanda dipisahkan sesuai golongan ras dan sosial. Jepang mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dan bahasa Jepang di sekolah.
Ijazah atas nama Soemail ini merupakan bukti kelulusan seorang warga Indonesia dari Sekolah Rakyat di Temanggung tahun 1945.

Japanese Grade School Diploma - The Japanese colonialism government in Indonesia eliminated the Dutch dualism in education due to racial and social reasons.Japan required the use of Indonesian and Japanese language in schools.
This diploma on behalf of Soemail is a proof of a 1945 Indonesian graduate from a Public School in Temanggung.

Rapor Sekolah Taman Siswa Jaman Jepang

Rapor Sekolah Taman Siswa Jaman Jepang

Jepang melarang pendidikan berorientasi Barat di sekolah, tetapi mengizinkan Taman Siswa beroperasi karena dianggap sejalan dengan misi mereka.
Taman Siswa, yang didirikan Ki Hadjar Dewantara pada 1922, mengajarkan tiga bahasa, yaitu Indonesia, Jawa, dan Jepang. Pardjijana, pemilik rapor ini, lulus Taman Moeda (Sekolah Dasar) pada 22 Maret 1945

Taman Siswa Report Card in the Japanese Period - Japan prohibited Western-oriented education in schools. Taman Siswa founded by Ki Hajar Dewantara in 1922 was considered as an appropriate educational institution that suit their mission. Here, students were taught in three languages, namely Indonesian, Javanese and Japanese.
Pardjijana, the owner of this report card, graduated from Taman Moeda (Elementary School) on March 22, 1945.