Teknologi Pemindai Muarajambi
Light Detection and Ranging (LIDAR) yang pernah mengungkap Angkor Wat dan Maya kini menyibak Situs Kuno Muarajambi di Sumatra.
Di hadapan Junus Satrio Atmodjo terpampang peta wilayah Kompleks Percandian Muarajambi yang ada di Kabupaten Muaro Jambi, Jambi. Tak seperti peta kebanyakan. Peta digital tersebut didominasi warna hijau muda, dengan liukan sungai Batanghari yang berwarna biru di tengahnya. Peta ini tanpa keterangan apapun.
Arkeolog itu kemudian meminta agar tampilan peta itu diperbesar pada satu bagian. “Aduh cakep!” seru dia beberapa saat kemudian. Ia yang tadinya duduk langsung beranjak maju mendekati layar proyektor di mana peta itu ditampilkan.
Tampaklah di sana, kotak-kotak yang menyebar, khususnya yang dekat dengan aliran Batanghari. Junus menangkap bentuk yang menurutnya tak alami. Wujudnya ada yang persegi, ada yang seperti sruktur memanjang rapi.
“Ini ada pola-pola garis lurus yang kelihatannya simetris, artinya didesain,” ujarnya.
Beberapa bentuk mewakili posisi bangunan candi yang ada di sana. Kenampakannya seperti kotak-kotak teratur.
“Ini Candi Gumpung, yang ini Candi Kedaton,” ujar Junus atau yang akrab disapa Oteng sambil menunjuk beberapa lokasi candi yang telah dipugar.
Baca juga: Usaha Menemukan Muarajambi
Meski dia bisa mengenali sebagian candi dalam peta “buta” itu, masih banyak struktur yang tak ia ketahui. “Saya ya dulu sering mondar mandir di sana tapi nggak kelihatan juga ada begini,” katanya.
Usaha untuk menyibak situs yang diperkirakan sudah ada sejak awal abad ke-7 atau 8 sampai ke-13 itu memang sudah berkali-kali dilakukan. Ia sendiri pertama kali ditugaskan ke sana pada 1984. Waktu itu kondisi Muarajambi masih berupa hutan. “Pohon besar-besar sekali,” katanya.
Junus tak pernah membayangkan hamparan situs kuno itu kini jelas terlihat di hadapannya. Ada lebih banyak kotak teratur dari yang pernah ia ingat.
“Bulatan ini kita nggak pernah tau. Ini juga nggak pernah tau ada dua kotak ini,” ucapnya lagi.
Menguak Peradaban Angkor Wat dan Maya
Sebanyak 82 lebih reruntuhan bangunan kuno ada di wilayah situs Percandian Muarajambi. Di antaranya 11 kompleks candi telah dipugar yaitu Candi Kembar Batu, Candi Gumpung, Candi Tinggi I, Candi Tinggi II, Candi Astano, Candi Kotomahligai, Candi Kedaton, Candi Gedong I, Candi Gedong II, dan Telagorajo. Lainnya masih berupa gundukan tanah berisi runtuhan bata yang oleh penduduk sekitar disebut dengan manapo.
Junus mengakui para arkeolog sebelum ini kesulitan memetakan sebaran bangunan-bangunan kuno itu. Ia bilang, Muarajambi umumnya dipahami sebagai hutan lebat.
“Hutan ya bagaimana kita memetakan? Kita baru jalan sedikit ketemu pohon besar. Jadi pola-pola yang kita perkirakan belum terlihat,” katanya.
Belum lagi banyak tinggalan kuno yang diyakini masih tersimpan dan belum terkuak. “Seperti apa? Kami pun para arkeolog tidak tahu. Untuk orang-orang yang sudah lalu lalang sejak 1980-an, pertanyaan ini selalu ada di pikiran,” katanya.
Baca juga: Mengingat Lagi Muarajambi
Karenanya demi mengungkap rahasia yang masih tersembunyi di kawasan arkeologi berskala besar seperti Muarajambi, atas inisiasi Presiden Direktur Djarum Foundation Victor Rachmat Hartono, alat yang berupa pemindai laser diterbangkan dengan pesawat Cesna bermuatan dua awak dan dua penumpang pada Desember 2019. Apa yang dihasilkan oleh teknologi bernama Light detection and ranging (LIDAR) itu adalah data spasial dengan kepadatan dan akurasi tinggi. Teknologi ini mampu merekam semua objek yang ada di permukaan bumi, bahkan yang tertutup pepohonan. Karena menggunakan sinar laser, selama masih ada celah cahaya yang bisa menembus ke bawah pepohonan data LIDAR tetap bisa didapat.
Secara teori lima jam terbang bolak-balik, data sudah bisa didapat. Tapi karena cuaca tak bersahabat, butuh waktu lima hari dan 15 kali penerbangan untuk memindai wilayah seluas 7.192 hektar itu. Cakupannya meliputi sebagian wilayah di luar Kawasan Cagar Budaya Nasional Muarajambi. Peta dari hasil pemindaian LIDAR itulah yang tengah dibaca Junus.
“Cakep banget ini. Kami arkeolog kalau lihat ini udah mau teriak. Saya orang yang paling happy hari ini,” serunya.
LIDAR merupakan teknologi pemetaan yang sangat baru bagi penelitian arkeologi di Indonesia. Di negara lain, teknologi ini sudah lebih dulu dipakai. Sebagaimana dikutip dari The Guardian, dengan metode ini para arkeolog di Kamboja telah menemukan kota tersembunyi dari abad pertengahan, tak jauh dari kota kuil kuno Angkor Wat. Menurut Arkeolog Australia Dr Damian Evans, luasnya menyaingi ukuran ibu kota Kamboja sekarang, Phnom Penh.
Baca juga: Menuntut Ilmu Sampai ke Negeri Jambi
LIDAR juga membuat para peneliti mampu mengidentifikasi reruntuhan lebih dari 60.000 rumah, istana, jalan raya yang ditinggikan, dan fitur buatan manusia lainnya yang telah tersembunyi selama berabad-abad di bawah hutan Guatemala utara. “Dengan LIDAR, para ilmuan mengungkap reruntuhan peradaban pra-Columbus yang luas yang jauh lebih kompleks dan saling berhubungan dari yang diperkirakan kebanyakan spesialis Maya,” tulis Tom Clynes, sebagaimana dilansir dari Nationalgeographic.
Kini dengan teknologi yang sama, kata Junus, untuk pertama kali ia bisa melihat pola struktur bangunan yang tersebar di Muarajambi. Sesuatu yang katanya, sejak dulu sangat sukar diketahui.
“Dari hasil yang kita lihat pola ini sudah muncul. Ini mimpi yang tidak pernah terwujud. Saya hari ini melihatnya di depan mata,” katanya.
Temuan Baru, Pekerjaan Baru
Kini banyak “pekerjaan rumah” menanti. Muncul dugaan temuan baru berdasarkan peta hasil LIDAR yang harus dipastikan langsung ke lapangan.
“Dugaan itu temuan juga. Sesuatu yang tadinya tak kita lihat dengan mata. Tapi kalau dari hasil ini kelihatan sekali dan ini perlu dilihat ke lapangan untuk meyakinkan,” ujar Junus. "Harus dicek antara struktur pola dan temuan artefak di situ, keduanya nanti digabung."
Sebelum ini pun, kata Junus, sudah muncul banyak interpretasi terkait candi-candi di Muarajambi. Ia sendiri makin yakin kalau Muarajambi adalah suatu pusat permukiman.
“Ada kemungkinan memang dia pernah menjadi suatu kota. Saya tidak berani mengatakan ini ibukota,” tegasnya.
Bisa disebut kota salah satunya dari jumlah bangunan. Menurut hitungannya ada lebih dari 100 struktur bangunan di kawasan Situs Muarajmbi, baik dalam bentuk candi maupun manapo.
Artinya, tenaga pembangunnya juga pasti tak sedikit. “Tidak mungkin penduduknya sedikit. Pasti ada konsentrasi masyarakat yang hidup ramai-ramai di situ,” jelasnya.
Baca juga: Kota Seribu Biksu
Seluas apa kemungkinan permukiman kuno di Muarajambi? Sejauh ini para arkeolog menduga batas wilayahnya ditentukan oleh keberadaan kanal-kanal yang dibuat mengelilinginya.
“Dan ini berbentuk temu gelang, nggak bulat betul, memanjang dan blengkak-blengkok, tapi semuanya ketemu,” jelas Junus. “Kita butuh satu instrumen yang bisa lebih meyakinkan bahwa apa yang kita pikirkan itu sudah mendekati kenyataan. LIDAR ini salah satu instrumen.”.
Awalnya situs yang ada di tepi Sungai Batanghari ini diperkirakan membentang dari barat ke timur sejauh 7,5 km. Itu sampai kemudian hasil LIDAR menunjukkan kemungkinan baru, bahwa gugusan percandian ini berjajar sepanjang 9 km.
Peta hasil LIDAR pun memperlihatkan wilayah di sekitar Candi Gumpung dan Candi Tinggi merupakan kawasan yang lebih padat daripada yang telah nampak kini. Terlihat struktur-struktur yang lebih kecil yang saling berdekatan.
Baca juga: Temuan Baru di Situs Muarajambi
“Kita bukan hanya bicara tentang candi yang nampak, tapi kita juga bicara tentang ekologi peradaban di Sumatra,” jelasnya. “Tanda- tanda itu bisa ditemukan di Muarajambi. Ini sangat menarik.”
Junus menyebut teknologi LIDAR adalah terobosan penting bagi dunia arkeologi dalam negeri. Bukan sekadar karena bisa menemukan kemungkinan struktur-struktur kuno baru, tapi hubungan antar satu temuan dengan yang lainnya.
“Temuan baru itu tidak harus berarti suatu situs baru, candi baru. Bukan itu ukuran kita. Ukuran kita bagaimana kita bisa melihat pola,” lanjutnya.
Teknologi LIDAR memberi petunjuk pada cara kita atas pola yang sudah hilang sekian ratus tahun. Menurut Junus ihktiar ini merupakan terobosan besar. Sejatinya temuan LIDAR akan dilanjutkan dengan penggalian situs, namun pandemik Covid-19 menunda sementara aktivitas tersebut.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar