Pakaian pada Masa Jawa Kuno
Pembuatan dan penjualan pakaian pada masa Jawa Kuno. Pekerjaan terkait itu dikenai pajak.
Pada 992, raja Jawa mengirim utusan ke Cina. Utusan itu membawa persembahan berupa kain sutra bersulam hiasan bunga, sutra bersulam benang emas, dan sutra beraneka warna lainnya. Penduduk Jawa memelihara ulat sutra. Mereka menenun kain sutra yang halus, sutra kuning, dan kain dari katun.
Demikianlah berita Sejarah Dinasti Sung (960–1279) mencatat produksi kain di Jawa. Informasi mengenai pembuatan dan penjualan pakaian juga tercatat dalam prasasti.
Sebagian besar prasasti mencatat pakaian atau kain merupakan hadiah (pasek pasek) yang diberikan kepada pejabat yang menghadiri upacara penetapan daerah perdikan (sima). Jenis pakaiannya disebut wdihan.
Baca juga: Asal Usul Pakaian
Arkeolog Edhie Wurjantoro dan Tawalinuddin Haris dalam “Kain dalam Masyarakat Jawa Kuna”, laporan penelitian arkeologi di Universitas Indonesia tahun 1995, menjelaskan wdihan merupakan sebutan umum bagi pakaian laki-laki, karena selalu diberikan kepada pejabat laki-laki. Sementara untuk perempuan namanya kain atau ken berupa kain panjang untuk menutupi tubuh bagian bawah.
Dalam prasasti juga ditemukan istilah kalambi dan singhel. Kalambi bisa berarti baju atau pakaian atas. Sedangkan singhel adalah pakaian khusus bagi pendeta.
Hadiah untuk Pejabat
Pada masa Kerajaan Mataram berpusat di Jawa Tengah, penerima anugerah sima memberikan pasek pasek kepada para pejabat yang hadir bisa mencapai ratusan pasang wdihan beragam jenis, puluhan cincin emas, puluhan uang emas, ratusan suwarna/masa/dharana/kupang uang emas/perak, puluhan helai kain/ken, serta beberapa helai kalambi dan salimut.
“Kebiasaan memberikan pasek pasek pada waktu upacara penetapan sima kelihatannya makin berkurang setelah pusat Kerajaan Mataram pindah ke Jawa Timur,” tulis Edhie.
Baca juga: Cara Berpakaian Orang Jawa Kuno
Kebiasaan itu berangsur hilang sejak masa pemerintahan Airlangga hingga masa Kerajaan Majapahit. Kalaupun ada hadiah berupa uang dan wdihan dalam jumlah terbatas.
“Mengapa hal itu terjadi belum jelas, mungkin ada kaitannya dengan keadaan perekonomian pada masa itu,” tulis Edhie.
Pekerjaan Kena Pajak
Ada beragam sebutan untuk orang-orang yang bekerja berhubungan dengan pakaian. Misalnya, tukang membuat wdihan disebut pawdihan. Sedangkan pembuat kain tipis disebut manwring.
Winda Saputri, lulusan arkeologi Universitas Gadjah Mada, dalam “Distribusi Pakaian pada Abad X Masehi: Kajian Melalui Prasasti-Prasasti Sindok”, termuat dalam Menggores Aksara Mengurai Kata, Menafsir Makna, menyebut penjual pakaian dengan cara dipikul disebut mabhasana atau adagang abasana. Sementara penjual kapas disebut makapas atau adagang kapas.
Baca juga: Pejabat Pajak Menyeleweng
Winda menjelaskan, kapas merupakan titik awal produksi pakaian, khususnya pada era kekuasaan Mpu Sindok di Kerajaan Mataram Jawa Timur. Kapas bisa dijual langsung atau dipintal menjadi benang (lawe).
Pemintal biasanya menghasilkan benang polos atau berwarna putih. Untuk benang berwarna, benang putih itu kemudian dibawa ke tukang celup.
Menurut Edhie, penyebutan tukang celup dibedakan berdasarkan warna kain yang dibuat. Tukang celup kain warna merah disebut manglakha, warna hitam (manambul), dan warna biru (manila).
Benang-benang itu dijual kepada penenun untuk diolah menjadi kain. Setelah menjadi pakaian kemudian dijual oleh mabasana.
Pekerjaan-pekerjaan itu termasuk dalam golongan pengrajin yang dikenai pajak usaha dalam batas tertentu. Prasasti Jeru Jeru (930) mencatat ada beberapa usaha yang dikenakan pembatasan.
“Pembatasan usaha di sebuah sima diterapkan kepada sejumlah pedagang, termasuk pedagang pakaian, pedagang mengkudu, dan pedagang kapas,” tulis Edhie.
Baca juga: Perilaku Wajib Pajak Tempo Dulu
Untuk pedagang kapas dan mengkudu, dagangannya dibatasi sembilan buntal. Sedangkan pedagang pakaian dagangannya dibatasi lima buntal.
“Apabila memiliki barang dagangan melebihi batasan yang ditatapkan akan dikenai pajak,” tulis Edhie.
Menurut Prasasti Cungrang II (929), lawe juga termasuk barang dagangan yang dibatasi. Apabila pedagang lawe membawa dagangan lebih dari lima buntal, dia wajib membayar pajak.
“Pedagang lawe membawa dagangannya dengan cara dipikul,” tulis Winda.
Macadar atau penenun juga diwajibkan membayar pajak dan dibatasi usahanya. Dalam Prasasti Gulung-Gulung disebutkan seorang macadar hanya diperbolehkan memiliki empat alat tenun.
Distribusi Pakaian
Dalam proses distribusi, penenun bisa menjual pakaian langsung ke konsumen atau melalui pedagang perantara.
“Mabasana bisa diasumsikan sebagai perantara karena di dalam prasasti Sindok, mabasana disebut sebagai pedagang,” tulis Winda.
Distribusi pakaian tak hanya di Jawa. Jual beli pakaian juga melibatkan perdagangan internasional.
Epigraf Titi Surti Nastiti dalam Pasar di Jawa Masa Mataram Kuna Abad VIII-XI Masehi, menjelaskan sebagaimana berita dari Dinasti Sung yang menyebutkan pengiriman berbagai jenis kain ke Cina, Jawa juga mengimpor kain dari luar wilayah. Ada kain yang dibuat di India dan Cina.
Baca juga: Mengatur Orang Asing di Jawa Kuno
Dalam Prasasti Jurunan (876) disebutkan wdihan bwat king putih atau wdihan buatan Keling putih atau India. Prasasti Taji (901) menyebut kain bwat waitan atau kain buatan Timur. Sedangkan Prasasti Saranan (929) menyebut kain bwat lor (kain buatan Utara).
“Belum jelas asalnya karena hanya disebut dari Utara dan Timur saja,” tulis Titi.
Kain-kain itu nilainya tinggi. Kain bwat waitan berharga 8 masa emas atau setara 19,2 gram emas. Kain-kain ini hanya dipersembahkan kepada pejabat tinggi kerajaan.
“Dari jenis kain yang banyak sekali, sebagian besar merupakan produksi dalam negeri,” tulis Edhie.
Baca juga: Hiburan Masyarakat Jawa Kuno
Tambahkan komentar
Belum ada komentar