Mengatur Orang Asing di Jawa Kuno
Pengaturan orang asing di Jawa Kuno. Ada petugas khusus yang menanganinya.
Orang-orang dari mancanegara sudah sejak lama datang ke Jawa. Pemerintah kerajaan di Jawa pun merasa perlu membentuk petugas dan sistem untuk mengatur keberadaan orang-orang asing itu.
Munculnya aksara Pallawa dan bahasa Sanskerta dalam berbagai prasasti merupakan bukti bahwa pengaruh asing sudah diterima masyarakat Nusantara. Contohnya prasasti-prasasti dari Kutai di Kalimantan dan Tarumanegara di Jawa yang berasal dari abad ke-5.
“Tapi dulu belum ada penyebutan yang eksplisit tentang orang asing. Baru ada pada masa Airlangga. Selanjutnya makin sering muncul di Prasasti Majapahit,” kata Asri Hayati Nufus dalam webinar berjudul “Kajian Prasasti Masa Airlangga” yang diadakan Perkumpulan Ahli Epigrafi Indonesia (PAEI) dalam rangka purnabakti arkeolog Universitas Indonesia, Ninny Soesanti pada Selasa (25/05/2021).
Raja Airlangga merupakan penguasa Kahuripan pada 1019–1042. Pada masanya, jumlah orang asing sudah banyak, sebagaimana dibuktikan lewat Prasasti Kamalagyan (1037). Misalnya, orang dari Kalingga, Arya, Srilangka, Pandikira, Dravida, Campa, Khmer, dan Remin.
Baca juga: Raja Pembangun Bendungan
Sang raja pun merasa perlu menunjuk petugas untuk mengurusnya. Di antaranya ada petugas yang dinamai juru kling, juru hunjeman, dan paranakan.
“Tugas mereka menarik pajak dan melakukan pencatatan atau sensus terhadap orang asing,” jelas Asri.
Dengan melakukan pencatatan, petugas dapat mendata tujuan kedatangan orang asing ke wilayah kerajaan. Jika orang asing datang untuk bedagang, dia akan dikenakan dua tipe pajak, yaitu pajak profesi dan pajak orang asing (kikeran).
“Raja juga bisa mengetahui pengaturan apa yang efektif untuk dikenakan untuk orang asing dan seberapa banyak mereka di Jawa,” jelas Asri.
Baca juga: Mata Uang Asing di Nusantara
Pengaturan Khusus
Asri menjelaskan, dari 33 prasasti yang dikeluarkan pada masa Airlangga hanya tiga yang menyebutkan keberadaan orang asing, yaitu Prasasti Cane (1021) yang menyebut istilah paranakan, juru kling, juru hunjeman; Prasasti Baru (1031); dan Prasasti Turun Hyang A (1040).
Asri mengartikan paranakan sebagai petugas yang mengurus para keturunan campur. “Kemungkinan orang asing menikah dengan orang Jawa, jadi perlu ada petugas yang mengaturnya,” jelasnya. “Bisa jadi mengurus pedagang keturunan campur dan menarik pajak dari mereka.”
Asri mengutip pendapat Subbaralayu, sejarawan India, bahwa kata juru hunjeman berasal dari bahasa Persia, Anjuman yang artinya himpunan atau perkumpulan.
“Jadi hunjeman ini sekelompok pedagang, terdiri dari orang Yahudi, Muslim, Kristen, Siria, atau Nasrani, dan orang Persia (Zarathustra) yang biasanya bermukim di kota-kota pesisir,” kata Asri.
Baca juga: Relasi Nusantara dengan Persia dan Turki
Orang hunjeman pada sekira abad ke-9 hingga ke-11 telah aktif berdagang di wilayah Malabar, India, hingga wilayah Asia tenggara. “Otomatis ke Jawa,” lanjut Asri.
Dengan pengertian itu artinya telah ada yang mengatur para kelompok dagang kala Airlangga berkuasa. Petugas itulah yang disebutkan dalam prasasti sebagai juru hunjeman.
“Mereka petugas yang mengatur dan mengambil pajak dari orang hunjeman atau kelompok pedagang,” kata Asri.
Sementara untuk pendatang India yang mengatur adalah petugas bernama juru kling. Menurut sejarawan George Coedes, kling atau Keling adalah orang yang berasal dari India Selatan, tepatnya dari Kerajaan Kalingga.
Sedangkan menurut Petrus Josephus Zoetmulder, pakar kesusastraan Jawa Kuno, Keling adalah Kerajaan Kalingga yang berasal dari India Selatan. Sementara juru kling adalah petugas yang mengurusi orang Keling atau kelompok pedagang yang berasal dari Tamil Nadu.
Baca juga: Masuknya Aksara Pallawa ke Nusantara
Karena begitu banyak orang India, selain mengatur orang dari Kalingga, juru kling juga kemungkinan mengatur orang India lainnya. Mereka adalah Malyala (orang Malayala), Aryya (orang dari Arya), Karnnataka (orang dari Karnataka), Cwalika (orang dari Cholika atau Kerajaan Chola), Pandikira (orang dari Kerajaan Pandya), Drawida (orang Dravida), Balhara (orang dari India Utara), Gala (orang dari Kerajaan Gauda), dan orang Singhala (orang Srilanka).
“Karena orang India sangat banyak di Jawa, yang ada bukan hanya orang Kling saja. Jadi, kemungkinan juru kling tak hanya mengatur orang dari Kalingga, tapi orang India secara keseluruhan,” jelas Asri.
Pengaturan orang asing juga menyangkut masalah pengadilan yang mengusut kasus orang asing. Pun soal larangan bagi mereka masuk ke wilayah tertentu. “Melihat itu artinya perdagangan internasional masa Airlangga sudah ramai,” kata Asri.
Baca juga: Sriwijaya dalam Perdagangan Dunia
Disambut Baik dan Hangat
Pada masa Majapahit, sumber terawal yang menyinggung keberadaan orang asing adalah Prasasti Balawi (1305) sebagaimana ditulis Hery Priswanto, arkeolog Balai Arkeologi Yogyakarta, dalam “Orang-orang Asing di Majapahit” yang termuat dalam Majapahit, Batas Kota dan Jejak Kejayaan di Luar Kota. Prasasti Balawi atau Prasasti Kertarajasa menyebutkan adanya orang dari Keling, Arya, Singhala, Karnnataka, Bahlara, Cina, Campa, Mandikira, Remin, Khmer, Bebel, dan Mambaŋ.
Selain Prasasti Balawi, Kakawin Nagarakrtagama (1365) juga menggambarkan kegiatan perdagangan yang melibatkan para pedagang asing. Suasana pasar ketika para pedagang asing melakukan transaksi dagang pun dilukiskan.
Bukan hanya dalam hal perdagangan, hubungan dengan orang asing juga menyangkut kerja sama antarnegara. Dalam Kakawin Nagarakrtagama disebutkan negara-negara asing dari Syangkayodyapura, Dharmmanagari, Marutma, Singhanagara, Campa, Kamboja, dan Yamana. Majapahit juga mengikat hubungan persahabatan dengan Jambudwipa, Kamboja, Cina, Yamana, Campa, Karnnataka, Goda, dan Siam.
Baca juga: Masyarakat Tionghoa di Majapahit
Keberadaan orang asing juga dicatat Ma Huan, penerjemah resmi yang mendampingi Cheng Ho, dalam Yingya Shenglan. Pada 1412, Ma Huan menerima tugas pertama dari Kerajaan Ming untuk menemani sang laksamana berlayar ke banyak negeri.
Dalam catatannya, Ma Huan menyebut Majapahit dan kota-kota pelabuhan seperti Tuban, Gresik, dan Surabaya. Dia menyebut, kawasan Pantai Utara itu banyak dikunjungi oleh pedagang asing dari Arab, India, Asia Tenggara, dan Cina.
Terutama orang Cina dan Arab, banyak yang menetap dan berdagang. Mereka masuk ke dalam tiga golongan penduduk Jawa.
Ma Huan mencatat, orang Arab atau penganut ajaran Muhammad, berasal dari daerah barbar bagian barat. Kegiatannya berdagang dan menetap di Jawa. “Pakaian dan makanan mereka bersih dan bagus,” catatnya.
Golongan kedua adalah Tangren atau Tenglang merujuk pada orang Cina. Umumnya mereka berasal dari Guangdong, Zhangzhou, dan Quanzhou. Golongan ketiga adalah orang Jawa yang lebih dulu menetap.
Baca juga: Catatan Ma Huan tentang Masyarakat Majapahit
Ma Huan merupakan orang pertama yang menyebut bahwa penduduk Jawa ada yang berasal dari Cina. Meski kedatangan orang Cina di tanah Jawa sudah berlangsung sejak abad ke-6.
Banyaknya orang asing yang tinggal di Jawa rupanya tak banyak mendapat penolakan. Setidaknya begitu menurut Kakawin Nagarakrtagama. Mpu Prapanca menulis, pada saat kedatangan orang-orang dari negara lain, mereka disambut baik dan hangat.
“Itulah alasannya mengapa tanpa henti semua orang datang dari negara lain tak terkecuali dari Jambudwipa (India), Kamboja, Cina, Yamana (Annam), serta Campa, Karnnataka (India Selatan), Goda (Gauri), dan Syangka (Siam) yang berangkat dari tempat asalnya dengan naik kapal bersama-sama dengan pedagang,” tulisnya.
Makanya, menurut Hery Priswanto, “Para tamu asing yang mengarungi lautan bersama para pedagang, resi, dan pendeta merasa puas dan senang menetap di Majapahit.”
Baca juga: Corak Asing di Kesultanan Cirebon
Tambahkan komentar
Belum ada komentar