Kurug, Pakaian Istimewa Masyarakat Jawa Kuno
Pakaian tanpa lengan yang memperlihatkan perut dan pusar dulu digunakan untuk upacara tertentu.
Bila dulu busana batik hanya ditemui dalam acara-acara formal, kini hal itu sudah usang. Batik menjadi salah satu motif yang mewarnai gaya busana harian laki-laki dan perempuan masa kini. “Nafas” kekinian membuat fleksibilitas batik tinggi. Kini lazim ditemukan di tempat umum motif batik dalam bentuk blouse, kemeja, bahkan kaos sebagai atasan, atau tetap dibiarkan sebagai bawahan berupa kain lembaran dan juga sarung.
Motif batik Jlamprang dari Pekalongan dan motif batik Nitik dari Yogyakarta merupakan motif populer yang dikenal masyarakat Jawa modern saat ini. Motif ini merupakan adaptasi motif Patola dari India yang amat populer di berbagai wilayah Nusantara.
“Salah satu pola patola tertua, diidentifikasi oleh Buhler sebagai Motif Tipe 25 dari berlian ganda dan tekstil patola imitasi lain yang lebih tua dengan motif X dapat dilihat berulang pada patola imitasi yang diproduksi di Jawa, masuk ke Bali, Kalimantan dan Indonesia bagian timur karena tersebar luas dan mudah tersedia di Asia Tenggara, menurut John Guy. John Guy mencatat bahwa patola Gujarat terus dikirim ke Indonesia hingga tahun 1930-an, dan salah satu cara untuk mengidentifikasi mereka adalah batas kapas yang menjadi ciri contoh ekspor karena pasar domestik semuanya sutra,” kata buku yang dieditori Nilanjana Mukherjee dan Sutapa Dutta, Mapping India: Transitions and Transformations, 18th-19th Century.
Baca juga:
Motif ini asalnya sebagai pakaian para agamawan. Contohnya pada arca Durgamahisasuramardhini. Pakaian yang digunakan oleh istri Dewa Siwa ini berupa atasan yang menutupi payudara sampai di atas pusar. Motif pakaian tersebut berupa bunga-bunga kecil yang mirip dengan bentuk patola. Bentuk busana seperti ini disebut dengan kurug.
“Kurug tergolong pakaian yang istimewa, hak mengenakan pakaian ini juga diberikan kepada rakyat biasa yang berjasa terhadap raja,” kata Siti Maziyah, dosen sejarah di Universitas Diponogoro, dalam Kain di Jawa Dari Era Mataram Kuno hingga Majapahit.
Bagi masyarakat biasa, kurug digunakan untuk menutup tubuh bagian atas untuk upacara tertentu semisal upacara penetapan Sima atau pemerdekaan suatu lahan sehingga bebas pajak. Prasasti Waharu IV –yang berasal dari Raja Mpu Sindok yang disalin kembali pada masa Majapahit; ditemukan di daerah Gresik, Jawa Timur– menyebutkan bahwa makudur (pendeta) yang memimpin upacara penetapan Sima juga menggunakan kurug.
“Berdasarkan informasi yang termuat dalam prasasti, masyarakat kebanyakan mulai diperkenankan mengenakan kurug pada abad ke-10, atau masa pemerintahan Mpu Sendok,” lanjut Siti Maziyah.
Selain Durgamahisasuramardhini, sosok lain yang digambarkan menggunakan kurug adalah Mahakala dan Nandiswara. Keduanya merupakan perwujudan Siwa sebagai penjaga pintu candi. Bentuk kurug yang digunakan hampir sama dengan yang digunakan Durgamahisasuramardhini, berupa penutup dada sebatas atas pusar. Namun, ada beberapa perbedaan aksen dan motif. Kurugnya mirip seperti baju tidak berlengan atau dalam bahasa sekarang sering disebut crop top.
“Dari representasi arca-arca itu, kurug merupakan kain tipis yang dikenakan secara ketat pada bagian atas tubuh,” ungkap Siti Maziyah.
Pada 1022, Raja Airlangga mengeluarkan Prasasti Kakurugan. Isinya mengenai penganugerahan Sima dan beberapa hak istimewa lain kepada sanak keluarga Dyah Kaki Ngadu Lengen. Dalam penganugerahan tersebut, mereka menggunakan pakaian berupa kurug.
Baca juga:
Pemakaian kurug juga tercatat dalam prasasti Kudadu (1294). Prasasti ini merupakan peninggalan Majapahit yang menyebutkan tentang pemberian anugerah dari Raja Kertarajasa Jayawardhana kepada pejabat Desa Kudadu berupa penetapan desa tersebut sebagai Sima. Kurug, sebagaimana ditulis prasasti tersebut, digunakan oleh brahmana, ksatriya, waisa, dan sudra.
Keistimewaan kurug bukan hanya terlihat dari pemakainya saja. Pemakaiannya pun disediakan tempat khusus sehingga mereka yang diizinkan menggunakan kurug akan ditempatkan di tempat khusus bernama Kakurugan. Menurut Kamus Jawa Kuna karya Zoetmulder, kakurugan berarti tempat tinggal orang yang menggunakan kurug.
Namun, kurug sebagai salah satu perlengkapan upacara hanya di masa lalu. Busana mirip kurug yang kerap kita temukan di kota-kota besar sekarang merupakan pakaian santai. Umumnya digunakan oleh kaum perempuan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar