"Amukan" Gunung Ruang
Gunung Ruang meletus lagi. Tidak separah di abad-abad silam, saat masih ada kerajaan kecil di dekatnya.
UNTUK kesekian kalinya, erupsi terjadi lagi di Gunung Ruang di Pulau Ruang, dekat Pulau Tagulandang, Kepulauan Sangir-Talaud, Sulawesi Utara. Sebelum erupsi 15 April 2024, status siaga pernah diberikan pada gunung tersebut pada 16 April 2022.
Gunung Ruang merupakan gunung vulkanik yang aktif. Sebelum letusan terbaru tadi, setidaknya Gunung Ruang pernah meletus pada 3 Maret hingga 14 Maret 1871.
“Letusan paling dahsyat terjadi pada tahun 1871 dan disertai gelombang pasang yang memakan korban jiwa sekitar 400 orang,” demikian berita Bataviaasch Nieuwsblad, 20 Agustus 1914.
Setelah 1871, Gunung Ruang meletus lagi di awal abad XX. Koran Limburg Courier, 27 Juni 1904, mencatat bahwa pukul delapan malam tanggal 28 April 1904 Gunung Ruang yang tak berpenghuni itu meletus. Pulau Tagulandang yang ada di dekatnya dan berpenghuni pun terdampak oleh hujan abu dan batu dari muntahan material Gunung Ruang. Hujan abu juga sampai ke Manado. Warga Tagulandang yang berada di rumah-rumah mereka terpaksa mengungsi ke kebun-kebun mereka.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda selaku penguasa segera bertindak. Kapal uap Raaf milik pemerintah berangkat ke sana bersama residen Manado dan pejabat-pejabat lainnya. Mereka membawa beras untuk para pengungsi di samping berusaha menenangkan penduduk di sana.
Letusan Gunung Ruang menimbulkan kerugian tidak kecil. Koran Algemeen Handelsblad, 8 Juni 1904, menyebut setelah diadakan investigasi, tiga desa rusak. Begitu juga kebun-kebun sagu, pisang, dan tanaman-tanaman lain juga rusak oleh bebatuan dan abu panas dari letusan Gunung Ruang. Setidaknya 15.000 pohon hilang.
Pertengahan tahun berikutnya, Gunung Ruang mengamuk lagi. Koran Het Nieuws van Nederland Indie (21 Juli 1905) dan De Locomotief (25 Juli 1905) memberitakan, pada pukul lima dan enam sore tanggal 21 dan 22 Mei 1905 Gunung Ruang meletus lagi. Suara letusan menggelagar hingga ke Tagulandang. Selain itu, gempa bumi datang dari arah barat daya selama satu menit. Sekitar pukul 11 hingga 1 malam, materialnya keluar dari gunung. Terlihat oleh para penduduk Tagulandang aliran material dari mulut Gunung Ruang. Aliran itu berisikan batu dan lava.
“Pada malam tanggal 23-24 Mei, terdengar suara kencang dan malam itu juga terdengar gempa yang datang dari arah barat daya dan berlangsung sekitar 1 menit. Masyarakat Pulau Tagulandang mengungsi dari rumah menuju kebun. Malam itu juga, aliran lava keluar dari puncak Ruang, lebarnya sekira 4 depa, membawa batu, pohon, dan pasir ke suatu tempat bernama Daraihang di sisi timur-laut Pulau Ruang,” tulis Het Nieuws van den dag voor Nederlandsch Indie, 21 Juli 1905.
Baca juga: Terpaksa Mengungsi karena Gunung Berapi
Pada 27 Mei, gempa bumi terjadi lagi dan pada malam tanggal 27 ke 28 Mei 1905, terjadi satu kali lagi. Lamanya gempat sekitar satu menit. Lalu, pada malam 28 ke 29, terdengar gemuruh dari Gunung Ruang.
Ketika Gunung Ruang meletus itu, raja Tagulandang adalah Laurens Manuel Tamara. Dia berkuasa sebentar di Tagulandang. Koran Bataviasche Niuewsblad, 18 September 1912, memberitakan bahwa Laurentius Manuel Tamara atas permintaan sendiri dengan hormat minta berhenti sebagai raja Tagulandang.
Kerajaan Tagulandang tergolong kerajaan tua di Sulawesi Utara. Sebelum orang Tagulandang mengenal sistem kerajaan, mereka dipimpin orang kuat yang dianggap gagah berani atau pahlawan yang disebt “Kulano”. Buku Sejarah Daerah Sulawesi Utara menyebut, sistem kerajaan di sana dimulai sejak 1570, dengan Lohowuateng menjadi raja pertamanya. Sang raja ditunjuk masyarakat atas anjuran sultan Ternate, yang dekat dengan Portugis. Kerajaan itu tetap eksis ketika Belanda berkuasa, dan bertahan hingga kedatangan tentara Jepang pada awal 1942.
Baca juga: Bencana Gunung Api Menghantui Majapahit
Dengan demikian, masyarakat kerajaan itu menyaksikan pula ketika Gunung Ruang kembali meletus pada 1914. Letusan tahun 1914 mengalahkan kedahsyatan letusan tahun 1904-1905, tetapi belum seganas letusan tahun 1871.
“Pada tanggal 29 Mei [1914] siang, Gunung Ruwang dekat Pulau Tagulandang (bagian Kepulauan Sangihe) meletus. Kegelapan yang tidak biasa terjadi sebelum letusan, sementara angin tenggara bertiup sangat kencang,” demikian berita Bataviaasch Nieuwsblad, 20 Agustus 1914.
Letusan gunung tersebut memuntahkan bebatuan –sebagian berukuran hingga 30 cm– dan abu vulkanik dari perutnya. Langit menjadi gelap.
“Seluruh pulau Tagulandang tertutupinya. Perkebunan di pesisir selatan dan timur Pulau Ruang hancur total diterjang lahar,” sambung Bataviaasch Nieuwsblad.
Letusan terus terjadi hingga pukul setengah lima ketika jeda selama 10 menit mengantarkan kembali pada letusan yang lebih dahsyat. Selain kolom asap membubung sangat tinggi, badai petir dahsyat terkonsentrasi di bagian atas gunung. Sekira pukul 8 malam, terjadi masa tenang. Namun, itu hanya berlangsung sekira dua jam sebelum Gunung Ruang mengamuk kembali hingga pukul 1 dini hari 30 Mei 1914.
Saking dahsyatnya, letusan Gunung Ruang sampai terlihat jelas di Amurang di daratan Sulawesi Utara. Letusan itu mengakibatkan beberapa kali gempa vulkanik.
“Akibat paling penting dari letusan tersebut di atas adalah sebagai berikut: Di Pulau Tagulandang banyak rumah roboh akibat beratnya lapisan abu, bahkan di antaranya adalah bangunan beratap seng. Jumlah rumah yang roboh diperkirakan mencapai 120 rumah. Di pulau yang sama, kecuali pohon-pohon berdinding papan yang tinggi, semua perkebunan hancur. Pemerintah memberikan bantuan yang diperlukan untuk menampung para pengungsi dan menyediakan makanan. Sumur air minum dilindungi dari hujan abu sesegera mungkin. Selain itu, tindakan polisi yang diperlukan telah diambil untuk mencegah pencurian,” kata Bataviaasch Nieuwsblad.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar