Sanghyang Dedari, Pertunjukan Penolak Marabahaya dari Bali
Bali memiliki cara unik dalam menolak wabah dan bahaya. Salah satu ritualnya dengan mengadakan pertunjukan tari.
Mencari pertunjukan seni saat berkunjung ke Bali bukan hal yang sulit. Umumnya wisatawan akan disuguhkan pertunjukan tari Kecak. Tari ini mudah ditemui di berbagai pura.
Jauh sebelum tari kecak terkenal sebagai pertunjukan profan, ia merupakan tari pengiring tari Sanghyang. Perbedaannya, tari Kecak mengambil lakon Ramayana sedangkan Sanghyang hadir sebagai pertunjukan tanpa lakon tertentu.
Pertunjukan Sanghyang atau yang bisa pula disebut tari Sanghyang bukanlah pertunjukan biasa. Ia tidak hanya berfungsi sebagai sarana hiburan namun juga sakral. Sanghyang merupakan bagian dari ritual masyarakat Bali. Tarian ini ditampilkan sebagai salah satu cara menolak wabah dan mara bahaya.
Baca juga:
“Kala musim grubug (pandemi, red.) pada saat mana bhutakala (raksasa) berkeliaran di mana-mana lalu dipertunjukan tarian Sanghyang dengan banten caru (sesaji). Para bhutakala itu sagat tertarik mendengar dan melihat tarian Sanghyang tersebut sehingga datang beramai-ramai menonton. Tetapi kemudian terkejut dan lari pontang-panting setelah melihat Bhatara Gana di sana,” demikian bunyi tulisan dalam lontar Tantu Pagelaran.
Belum diketahui secara pasti kapan awal kemunculan tari Sanghyang. Menurut cendikiawan tari dan karawitan Bali I Made Bandem, tari Sanghyang telah ada sejak lama.
“Tari Sanghyang merupakan tarian kuno, peninggalan kebudayaan pra-Hindu yang banyak ditemukan di daerah pegunungan Bali utara dan timur,” tulis Made Bandem dalam Kaja and Kelod.
Ada berbagai jenis tari Sanghyang. Salah satu yang cukup populer adalah tari Sanghyang Dedari. Tari ini dibawakan oleh perempuan muda berjumlah dua atau empat orang.
“Sanghyang Dedari berarti orang yang sedang dimasuki oleh roh suci bidadari. Pada waktu menari, si penari mengalami tidak sadarkan diri (trance) atau yang disebut juga dengan kerawuhan karena dimasuki roh suci,” kata I Made Bandem.
Sebelum pementasan, para penari mengenakan kain serta busana berwarna putih. Mereka kemudian dibawa ke suatu tempat suci untuk melakukan upacara. Dalam upacara tersebut, penari akan diposisikan dengan duduk bersimpuh. Juru kidung yang terdiri dari koor perempuan melantunkan nyanyian-nyanyian suci serta mantra-mantra.
Setelah kidung dan mantra dilantunkan, penari roboh dan ditopang oleh seorang pengemong kelompok. Ini adalah tanda bahwa penari Sanghyang Dedari sudah mulai kehilangan kesadaran (trance). Inti pertunjukan ditandai dengan penari yang mulai bangun menari-nari berkeliling dalam keadaan kesurupan. Apabila sedang ada wabah penyakit atau marabahaya tertentu, penari akan diarak berkeliling desa dengan maksud mengusir roh jahat.
Baca juga:
Pertunjukan diakhiri dengan memercikkan air suci dan pembagian bunga dari para penari kepada warga masyarakat. Kedua hal tersebut dipercaya mempunyai kekuatan magis yang dapat melindungi warga desa.
“Dalam tari Sanghyang Dedari terdapat gambaran masuknya roh suci yang merupakan penjelmaan widiadari ke dalam tubuh para penari yang tidak sadarkan diri. Sanghyang Dedari dianggap sebagai dewi suci (bidadari) yaitu sebagai perwujudan Tuhan, dalam bahasa Sansekerta disebut Vidyadhari, dalam Jawa Kuno disebut Widadari,” tulis J Kunts dalam De Toenkunst van Bali.
Pengusiran wabah penyakit dengan menggunakan media pertunjukan, dianjurkan dalam budaya Bali. Antara lain termuat dalam catatan kuno di Bali, Lontar Tatenger Pinakit Kecacar.
“Dan apabila sudah benar-benar melanda desamu, wabah cacar itu, segeralah melakukan sesajen untuk menolaknya, dan sekalian melakukan upacara persembahyangan dan Wali di pura, dan di pura karawitan, atau di semua pura, dan ritus kepada manusianya dengan segala sesajen,” demikian kata Lontar Tatenger Pinakit Kecacar.
Baca juga:
Kini Sanghyang Dedari telah ditetapkan sebagai bagian dari warisan budaya dunia. Sejak 2 Desember 2015, Sanghyang Dedari masuk ke dalam tiga genre tari Bali sebagai warisan budaya dunia kategori Representative List of the Intangible Cultural Heritage of Humanity. Penetapan tersebut menjadi salah satu upaya menyelamatkan pertunjukan Sanghyang Dedari dari kepunahan.
Kendati ada pura yang rutin menampilkan pertunjukan Sanghyang Dedari setiap pekan, seperti di Puri Saren Ubud, nilai-nilai kesakralannya telah berkurang. Hal ini dilakukan untuk menarik dan menghibur wisatawan atau sekedar untuk mengenalkan seni pertunjukan Bali yang hampir punah.
Pertunjukan Sanghyang dalam versi non-profan masih dapat dijumpai di Desa Adat Geriana Kauh. Akan tetapi, untuk dapat melihatnya, pengunjung harus mengetahui jadwal pertunjukannya karena hanya digelar beberapa bulan sekali.
“Tari Sanghyang Dedari dilaksanakan pada saat padi masa mulai berbuah,” demikian info yang dilansir sanghyangdedari.org.
Pertunjukan tersebut dilakukan dalam rangka mengharap agar tananam padi terhindar dari malapetaka dan hasilnya bagus. Selain itu, di Desa Adat Gerjana Kauh juga terdapat Museum Sanghyang Dedari Giri Amertha. Di dalam museum tersebut pengunjung dapat melihat hasil dokumentasi pertunjukan Sanghyang Dedari dan pengetahuan-pengetahuan lain yang menyertai tari tersebut.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar