Samoa Amerika Mengusir Hantu 31 Gol Tanpa Balas
Kisah tim terpayah dalam catatan FIFA yang ingin keluar dari bayang-bayang kelam kekalahan 31-0 dari “Socceroos”.
THOMAS Rongen (diperankan Michael Fassbender) duduk di “kursi pesakitan” di hadapan manajemen federasi sepakbola Amerika Serikat USSF di suatu hari pada Mei 2011. Nasibnya segera berubah 180 derajat dari pelatih kepala Timnas U-20 Amerika menjadi pelatih sebuah negeri kecil di Pasifik selatan, Samoa Amerika.
“Sepakbola memang permainan indah tapi harus kita akui, ini juga permainan yang rumit, kawan-kawan. Sepakbola seperti kehidupan. Musim depan saya pikir kita punya kesempatan yang sebenarnya,” kata Rongen membela diri usai Timnas U-20 Amerika gagal lolos ke Piala Dunia U-20 2011 di Kolombia.
Pembelaan itu namun tak mempan. Atasan Rongen, Alex Magnussen (Will Arnett), justru punya rencana lain buatnya.
“Sorry, uh, Thomas. Memangnya belum ada yang kasih tahu Anda sesuatu? Anda dipecat,” tampik Magnussen.
Music scoring yang komikal lantas mengiringi keterkejutan Rongen. Ia diberi dua pilihan: menganggur usai dipecat dan kedua, Rongen bisa dikaryakan di Samoa Amerika.
“Anda seriusan, nih?” Rongen terperangah tak percaya.
Ketimbang menganggur, Rongen setengah terpaksa memilih berangkat melintasi Samudera Pasifik ke Samoa Amerika. Sebuah negeri di mana timnasnya sama sekali belum pernah menang di laga resmi FIFA plus timnasnya dihantui kekalahan terburuk dalam catatan FIFA, 31-0, dari Australia pada 2001.
Begitu sinopsis yang disuguhkan trailer biopik olahraga Next Goal Wins racikan sineas Taika Waititi. Sutradara berdarah Māori yang sebelumnya menggarap Thor: Ragnarok (2017) dan Jojo Rabbit (2019) itu mengadaptasi film dokumenter dengan tajuk serupa yang rilis pada 2014 dan mengemasnya jadi drama komedi sebagaimana Cool Runnings (1993) yang mengisahkan tim seluncur es underdog asal Jamaika.
“Tentu akan ada orang yang bilang, ‘oh, seandainya Anda menyuguhkan lebih banyak hal romantis tentang kultur Samoa.’ Tapi ini adalah cerita tentang tim sepakbola terburuk di dunia. Anda harus membuatnya tampak buruk (dengan komedi). Keindahan sesungguhnya dari kultur Polinesia adalah di mana para paman dan bibi yang duduk di pub sepanjang hari punya banyak cerita dan lelucon-lelucon terbaik,” ujar Waititi dikutip The Hollywood Reporter, 31 Mei 2023.
Baca juga: Jojo Rabbit, Satir Pemuda Hitler
Hantu 31-0
Tak banyak catatan yang menguraikan bagaimana sepakbola mulai eksis di negeri kepulauan seluas 199 kilometer persegi yang sejak 1899 dicaplok jadi salah satu teritorial Amerika Serikat itu. Beberapa sumber menyebutkan sepakbola datang pada 1960-an bersamaan dengan sejumlah olahraga yang populer di Amerika, seperti bisbol, rugbi, dan American football.
Meski American Samoa Football Association (ASFA) baru berdiri pada 1984 –di mana sejak 2007 menjadi Football Federation Samoa American (FFSA), timnasnya sudah terbentuk setahun sebelumnya. Bahkan sebuah kompetisi amatirnya, Senior League, sudah bergulir sejak 1976. Laman RSSSF mencatat, liga perdananya dimenangkan sebuah klub yang berbasis di ibukota Pago Pago, Tafuna Jets FC.
Timnas Samoa Amerika sudah mulai terbentuk pada 1983. Di tahun yang sama pula ia terjun ke kompetisi internasional perdananya di pesta olahraga South Pacific Games.
“Samoa Amerika pertamakali tampil di pentas internasional pada 1983. Saat itu mereka belum menjadi anggota FIFA dan setelah menderita kekalahan di dua laga pertama, melawan Samoa (1-3) dan Tonga (2-3), Samoa Amerika sanggup membungkus kemenangan peratma mereka dengan mengalahkan Kepulauan Wallis dan Futuna, 3-0,” tulis Dave Thompson dalam Football FAQ: All That’s Left to Know about the Clubs, the Players, and the Rivalries.
Namun kemenangan itu tak tercatat sebagai laga resmi FIFA. Sebab ASFA baru diterima jadi anggota OFC (Konfederasi Sepakbola Oseania) dan FIFA pada 1998.
Sepakbola tak pernah bergulir dengan progres signifikan sejak berdirinya ASFA. Kebanyakan dari pemainnya belum sepenuhnya profesional. Infrastruktur yang memprihatinkan juga jadi salah satu faktor penentu lambannya kemajuan sepakbola di negeri yang penduduknya tak lebih dari 60 ribu jiwa itu.
Dari waktu ke waktu pada aneka kompetisi, Samoa Amerika sekadar jadi bulan-bulanan tim lawan. Pun di kualifikasi Piala Dunia Zona Oseania, jangankan mencatatkan satu kemenangan, satu gol pun belum pernah dibukukan Timnas Samoa Amerika.
Tak ayal posisi Samoa Amerika di peringkat FIFA berangsur-angsur terjun bebas ke urutan bawah. Menukil laman FIFA, Samoa Amerika bahkan pernah berkubang di urutan paling buncit peringkat FIFA –yakni 205– pada 2005 atau empat tahun setelah Samoa Amerika jadi olok-olok usai dibantai Australia 31-0.
“Saya tak melihat alasan apapun yang jadi dasar mereka ingin mencetak lebih banyak gol,” sesal pelatih Samoa Amerika saat itu, Tunoa Lui, dikutip James Montague dalam Thirty-One Nil: On the Road with Football’s Outsiders.
Malam itu, 11 April 2001, Timnas Samoa Amerika bertandang ke markas Timnas Australia, International Sports Stadium di Coffs Harbour, New South Wales, di laga ketiga pada fase pertama Grup 1 kualifikasi Piala Dunia 2002 zona Oseania. Samoa Amerika sedianya sudah pasrah lantaran di dua laga awal pun mereka digebuk Fiji -0-13 dan Samoa 0-8.
Baca juga: Serba-serbi Sepakbola Fiji
Namun nyatanya Samoa Amerika menderita kekalahan yang lebih pahit dari pada dua laga sebelumnya. Mulai dari menit ketiga usai wasit Harry Attison asal Vanuatu meniup peluit pertanda kick off, gawang Samoa Amerika jadi lumbung gol. Tidak hanya lima atau tujuh gol, tapi kiper Nicky Salapu sampai harus 31 kali memungut bola dari dalam jaring gawangnya.
“Saya ingat Frank (Farina, pelatih Australia) bertanya suatu hal di saat jeda paruh waktu dan saya bicara singkat padanya, ‘apakah Anda akan bermain santai di babak kedua?’ Ia merespons setengah marah dan begitu tegas: ‘Tidak, kita akan tunjukkan pada mereka dan kita akan terus mencetak gol,” kenang manajer Timnas Australia Bonita Mersiades, dilansir Sydney Morning Herald, 9 Maret 2021.
Hingga laga usai, papan skor memamerkan angka mencolok, 31-0, yang jadi rekor di laga resmi FIFA. Bomber Archie Thompson jadi bintang malam itu dengan membukukan 16 gol.
Kekalahan itu terus menghantui anggota tim dan ofisial sekaligus segenap masyarakat Samoa Amerika. Bahkan ketika mereka terjerembab ke peringkat 204 FIFA pada 2004 dan ke-205 pada 2005.
FIFA bukannya hanya berpangku tangan melihat kondisi persepakbolaan di Samoa Amerika. Bersama OFC, FIFA turut andil dalam mendorong komite normalisasi ASFA pada 2005.
Dua tahun berselang setelah ASFA bereinkarnasi menjadi FFSA, FIFA dibantu Selandia Baru juga turut menginisasi “GOAL Project” untuk mendorong Samoa Amerika mengembangkan sepakbolanya mulai dari sejumlah fasilitas infrastruktur sepakbolanya. “Bantuan” paling signifikan akhirnya turut diinisiasi USSF dengan mengirim Thomas Rongen ke Samoa Amerika pada Mei 2011.
“Itu kolaborasi antara Sunil Gulati (Presiden USSF 2006-2018) presiden federasi Samoa Amerika. Mereka minta bantuan Sunil, utamanya dalam area teknis dan mereka menanyakan apakah ada dari lingkaran sepakbola Amerika yang tertarik. Saya yang pertama kali mengiyakan,” ungkap Rongen kepada ESPN, 8 Desember 2011.
Tentu jadi tantangan berat buat Rongen yang ibarat membangun lagi sepakbola Samoa Amerika dari fase coaching clinic hingga seleksi timnas. Terlebih banyak di antara pemain yang tersedia hanyalah pemain semi-profesional, di mana mereka punya profesi lain untuk mencari nafkah di luar sepakbola.
“Mereka biasanya bangun pukul 4.30 pagi dan delapan di antara pemain harus ke dermaga untuk bekerja di kapal tuna selama delapan jam, kembali pada sore hari untuk saya latih lagi dengan keras,” lanjut Rongen.
Baca juga: Kisah Klopp dan Liverpool yang Klop
Dari sejumlah pemain, utamanya yang berada di skuad 2001 ketika Samoa Amerika dihajar 31-0, Rongen hanya mempertahankan Nicky Salapu. Rongen bahkan menjadikannya kapten lantaran ia pemain paling berpengalaman di antara yang lain.
“Pemain ini (Salapu, red.), dia punya iblis yang menghantuinya sejak kekalahan 31 gol tanpa balas. Sulit baginya menghapus itu. Suatu ketika di Seattle, beberapa orang menyapa: ‘Samoa Amerika? Oh, Anda orang yang dibobol 31 gol.’ Luka yang luar biasa itu sulit dienyahkan dan jadi tantangan buat saya mengubah attitude pecundang itu,” ujar Rongen dikutip Montague.
Hal unik lainnya adalah Rongen menemukan “mutiara” berbeda dari yang lain saat menyeleksi pemain. Yang dimaksud adalah Jaeyah Saelua, bek asal klub Black Roses yang notabene seorang fa’afafine atau transgender bagi lidah orang Samoa. Saelua lantas tercatat sebagai pemain transgender pertama di laga resmi FIFA di kualifikasi Piala Dunia 2014.
“Dia (Saelua) pribadi luar biasa. Dia sebagai transgender tak pernah jadi masalah besar bagi kami. Kami merasa seperti punya saudari di dalam tim. Tapi ketika bermain di lapangan, penampilannya tidak selaiknya perempuan, melainkan dia bermain seperti lelaki sejati,” tutur Salapu.
Singkat cerita setelah menempa fisik, mental, dan teknik dengan metode-metodenya, Rongen pun memulai kisahnya bersama Timnas Samoa Amerika di kualifikasi Piala Dunia 2014. Perjuangannya bermula di fase pertama Zona Oseania, di mana Samoa Amerika tergabung di grup playoff bersama Samoa, Tonga, dan Kepulauan Cook kurun 22 November 2011-20 November 2013.
Grup playoff itu memperebutkan satu tiket ke OFC Nations Cup 2012 yang berlaku sebagai fase kedua kualifikasi. Tentu perjalannya masih jauh karena hanya empat semifinalis OFC Nations Cup yang berhak maju ke fase ketiga kualifikasi Zona Oseania, di mana jawaranya lagi-lagi harus diadu dengan tim peringkat keempat Zona CONCACAF (Amerika Tengah dan Karibia) di fase playoff inter-konfederasi karena jatah tiket Piala Dunia Zona OFC masih “setengah”.
Di babak itulah akhirnya Samoa Amerika mencatatkan sejarah barunya. Pada laga pembuka di National Soccer Stadium, Apia, meski hanya dihadiri 150 penonton, Rongen mengantarkan Samoa Amerika mengecap kemenangan pertama di laga resmi FIFA. Baik Ramin Ott dan Shalom Luani masing-masing mencetak sebutir gol untuk kemenangan 2-1 Samoa Amerika atas Tonga.
Para pemain dan ofisial pun hanyut dalam euforia bak memenangi Piala Dunia. Laga itu jadi pembeda bagi kehidupan Salapu yang akhirnya memori getir 2001 itu bisa disisihkan dengan kemenangan pertama timnya.
“Saya merasa seperti seorang juara saat ini,” tukas Salapu yang kemudian memimpin siva tau, tarian perang khas Samoa bersama rekan-rekannya.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar