Petualangan Pelancong Inggris Mencari Suku Baduy Dalam (3)
Pertemuan Nina Epton dengan Suku Baduy Dalam membuatnya menjadi wanita Eropa pertama yang melihat “orang-orang tak terlihat itu”.
TEPAT setelah jam lima pagi, Nina Epton terbangun oleh kilatan cahaya dan suara berisik di belakang rumah kepala desa. Cahaya itu berasal dari obor yang dibawa penduduk desa ke dan dari sungai. Sementara suara berisik berasal dari dapur di mana para wanita tengah menumbuk padi untuk memisahkan gabah dari sekam.
Setelah sarapan, Epton bersama rombongan melanjutkan perjalanan untuk menemui Suku Baduy Dalam, yang ia sebut the invisible people (orang-orang tak terlihat). “Kami kini telah terbiasa berjalan tanpa alas kaki, dan kami membuat kemajuan yang baik sehingga kami sampai di Ciboleger, desa terdepan di perbatasan wilayah Baduy, sebelum tengah hari,” tulis Epton, mantan wartawan BBC London, dalam Magic and Mystic of Java.
Desa Ciboleger berada di lereng bukit berhutan lebat dan dikeliling hamparan sawah yang membentang luas. Bersama dengan Darmono, Japar, dan para porter yang membawa barang-barang keperluan ekspedisi, Epton menuju rumah kepala desa Ciboleger. Setelah tiba di sana, Japar menyeberang ke wilayah Baduy untuk menyampaikan berita kedatangan mereka bersama pesan Hilman Djajadiningrat tentang Epton dan rombongannya, kepada Pu’un di desa terdekat.
Japar melewati jalan setapak di depan rumah kepala desa lalu terus menanjak ke arah kanan, mengarah langsung ke tanah terlarang. “Tak seorang pun, selain orang Baduy, yang diizinkan untuk melampaui rumah bambu kecil terakhir di Ciboleger. Kami menemani Japar sampai setengah jalan mendaki bukit, dan kemudian kami meninggalkannya untuk mendaki sendirian setelah mendoakan keberuntungannya,” tulis Epton.
Sosok Japar yang kurus segera menghilang di antara pepohonan di tanah kelahirannya. Sementara Epton dan Darmono menjelajahi desa sembari menunggu Japar kembali. Epton berkeliling dan berinteraksi dengan penduduk desa. Ia sempat merekam sejumlah orang Baduy Luar yang melintasi perkampungan tersebut. Orang-orang Baduy Luar memiliki tanah di ujung desa perbatasan; mereka melewati desa pagi dan sore untuk mengambil kayu bakar.
“Orang-orang Baduy berjalan berbaris dengan kepala tegak. Mereka semua, bahkan para wanita, mengenakan sorban biru nila. Kebanyakan dari mereka memiliki wajah yang berat, cemberut, dan dahi rendah yang khas bagi begitu banyak penduduk asli. Namun tidak mungkin untuk menyamaratakan mereka. Beberapa dari mereka, misalnya, memiliki rambut lurus dan ramping seperti orang Jawa, sementara yang lain memiliki rambut bergelombang dan bahkan keriting. Sebagian besar pria membiarkan rambutnya panjang dan dipilin menjadi anyaman yang dilipat menjadi sorban,” tulis Epton.
Tepat sebelum matahari terbenam, Japar kembali dengan ditemani seorang Baduy Luar yang ia perkenalkan sebagai Pu’un salah satu desa terluar. Ia ingin berkenalan dengan Epton dan rombongan serta melakukan diskusi awal. Epton menilai Pu’un ini ramah, periang, dan murah senyum. Ia memandang Epton dengan rasa ingin tahu yang bersahabat. “Saya telah mengirimkan kabar kepada tiga Pu’un dari komunitas Baduy Dalam,” katanya, “meminta mereka, jika mereka setuju, untuk datang dan bertemu dengan anda di sini besok pagi.”
Namun, Pu’un tersebut mengangkat bahu dan menoleh ke arah Japar. “Kami tidak pernah mendapatkan permintaan yang sama sebelumnya. Oleh karena itu mereka mungkin tidak akan datang,” katanya. Matanya mengedarkan pandangan ke sekeliling ruang tamu kepala desa dan berhenti sejenak untuk memeriksa tape recoder dan kamera milik Epton. Ia kemudian memperingatkan Epton untuk tidak menggunakan alat-alat tersebut bila hendak bertemu orang-orang Baduy Dalam. Meski berat hati, Epton pun menyetujuinya. Beberapa waktu berselang, Pu’un itu pamit pulang.
Keesokan paginya, pada pukul sembilan belum tampak tanda-tanda orang-orang Baduy Dalam. Epton, Japar, dan Darmono terus menunggu kedatangan mereka. Setelah menunggu sekian lama, Japar mulai tidak sabar dan melangkah untuk mencari tahu apa yang sedang terjadi.
Hujan deras mengguyur Ciboleger, sementara Epton dan Darmono masih menunggu di jalan utama yang berlumpur. Keduanya pun berteduh di sebuah rumah, di mana sejumlah orang Baduy Luar juga tengah berteduh usai dari hutan. Ada dua orang perempuan dan seorang pemuda berusia sekitar 18 atau 20 tahun. Kedua wanita itu memalingkan wajah saat Epton dan Darmono mendekat, tetapi pemuda itu tampak penasaran dengan Epton. Epton pun tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk membuka percakapan dengannya.
Baca juga: Di Balik Hitam Putih Baju Baduy
Setelah hujan reda, Epton dan Darmono kembali ke rumah kepala desa. Namun, di tengah perjalanan Epton berseru kepada Darmono bahwa ia melihat orang-orang Baduy Dalam. “Untuk pertama kalinya dalam sejarah panjang mereka, ‘orang-orang tak terlihat’ itu mau turun dari benteng hutan mereka untuk bertemu dengan seorang wanita kulit putih,” tulis Epton.
Pu’un Baduy Luar memimpin prosesi kecil yang unik; di belakangnya, dalam barisan tunggal, berjalanlah Pu’un-pu’un dari tiga desa di Baduy Dalam, yang dikenali dari sorban dan sarung mereka yang tidak diwarnai. Mereka berjalan membawa tongkat dengan kecepatan terukur dan berwibawa seperti tiga orang raja.
Epton dan Darmono menemui mereka. Pu’un Baduy Luar yang sebelumnya datang ke rumah kepala desa pun hadir dan tersenyum cerah. Mereka kemudian diundang ke rumah kepala desa dan dipersilakan duduk di beranda. Karena bertentangan dengan adat, orang-orang Baduy Dalam memilih duduk di tanah depan rumah kepala desa. Orang-orang Baduy Dalam, yang tidak diizinkan berbicara dengan wanita di luar lingkaran keluarga, menundukkan pandangan. Sementara itu, penduduk desa telah berkumpul di sekitar rumah kepala desa untuk menyaksikan kedatangan orang-orang Baduy Dalam.
“Ketiga Pu’un dari desa di pedalaman ini memiliki tampilan yang berbeda. Yang termuda mungkin berusia dua puluhan; ia berkulit mulus dengan mata yang menatap tajam dan terbuka lebar dan memiliki rahang berbentuk persegi. Pu’un yang kedua memiliki dahi yang rendah dan wajah yang pucat dan berlekuk-lekuk, tetapi Pu’un ketiga dan tertua, yang terkenal sebagai orang suci dan bijak, adalah seorang pria tua yang baik hati, yang memiliki warna kulit sangat terang, wajah yang sipit, dan pembawaan yang lembut. Tidak ada kesan pemburu hutan pada dirinya, dan jelas-jelas ia berasal dari kasta yang lebih tinggi dari yang lain,” tulis Epton.
Baca juga: Pertemuan Sukarno dan Baduy
Percakapan berlangsung dengan dua penerjemah, yakni Darmono dan Pu’un dari Baduy Luar. Para Pu’un dari Baduy Dalam menjawab pertanyaan dengan singkat. Mereka mengatakan jumlahnya berkurang menjadi kurang dari dua ribu orang yang tinggal di 22 desa (termasuk 40 keluarga dari tiga desa di pedalaman atau desa-desa Baduy Dalam). Mereka hanya mengolah sawah kering dan makan daging sekali setahun. Makanan sehari-hari terdiri dari nasi, sayuran, telur, madu hutan, dan kelapa. Seluruh penduduk desa berpuasa sebulan sekali dan setiap kali ada upacara khitanan. Suku Baduy bersifat monogami dan Suku Baduy Dalam memiliki aturan yang sangat ketat, mereka tidak merokok juga tidak diperbolehkan mengunyah sirih. Mereka percaya pada keabadian dan reinkarnasi. “Dari apa yang kami kumpulkan, orang Baduy tidak memiliki hari libur dan mereka bekerja tanpa bantuan hewan peliharaan,” tulis Epton.
Ketika Epton meminta mereka merangkum kode moralnya, para Pu’un dari Baduy Dalam itu menjawab dengan ringkas: “Dilarang menyakiti orang lain dengan mulut, mata, tangan, maupun perasaan.” Japar memberi tahu Epton dan yang lainnya setelah itu, dengan tawa kecil yang jahil, bahwa ia telah menggunakan kode ini sebagai argumen untuk membujuk orang-orang Baduy Dalam agar mau menemui Epton. “Hilman ingin kalian melakukan ini untuknya, dan jika tidak, kalian akan dianggap sebagai orang yang tidak ramah,” kata Japar kepada mereka. Orang-orang Baduy Dalam, yang tidak ingin menyakiti perasaan orang lain, akhirnya setuju menunjukkan wajah mereka, untuk membuktikan bahwa bukan karena ketidakpedulian yang membuat mereka lebih suka menyepi di dalam hutan.
Baca juga: Mang Odon di Tanah Kabuyutan Baduy
Ketika tiba waktunya memberikan hadiah garam dan ikan, orang-orang Baduy Dalam mengatakan hanya dapat menerimanya bila hadiah itu berasal dari Hilman. Mereka juga mengatakan tidak akan menerima hadiah tersebut sebagai imbalan atas apa yang telah mereka katakan. Setelah itu, mereka menunggu hingga Epton dan rombongan siap untuk pergi. Beberapa saat kemudian orang-orang Baduy Dalam kembali ke wilayah mereka.
“Saya melihat untuk terakhir kalinya kepada ‘orang-orang tak terlihat’ itu. Mereka dengan serius memperhatikan tanah di bawah kaki mereka. Mereka telah datang –dan mereka pasti berjalan bermil-mil jauhnya. Saya harap mereka menikmati ikan-ikan itu,” tulis Epton.
Ekspedisi ke pedalaman Banten ini menjadi pengalaman tak terlupakan bagi Epton karena dapat bertemu dan berbincang dengan orang-orang Baduy Dalam meski singkat. “Saya ingin sekali berjabat tangan dengan Pu’un tua yang suci, tetapi itu tidak mungkin. Kami pun pergi, tanpa alas kaki. Satu hal yang masih menggelayuti pikiran saya karena saya masih tidak percaya bahwa saya adalah wanita kulit putih pertama yang pernah melihat ‘orang-orang tak terlihat’ itu.”*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar