Perburuan Harimau Zaman Kolonial Belanda
Ketika harimau menjadi ancaman bagi penduduk, pemerintah kolonial memberikan hadiah bagi siapa saja yang bisa menangkap atau membunuh hewan buas itu. Memicu maraknya perburuan harimau.
ANCAMAN harimau di Batavia mendorong VOC mengadakan sayembara berhadiah bagi penduduk yang berhasil menangkap atau membunuh hewan buas tersebut. Pemberian hadiah ini telah dilakukan sejak tahun 1640-an. Pemberian hadiah kemudian diberlakukan di sejumlah daerah di Jawa dan Sumatra. Imbalan semakin besar bila proses menangkap hewan buas dramatis hingga mengancam nyawa.
Menurut sejarawan Peter Boomgaard dalam Frontiers of Fear: Tigers and People in the Malay World, 1600–1950, pada 1747 telah ditetapkan melalui publikasi resmi bahwa hadiah yang diberikan kepada mereka yang berhasil menangkap atau membunuh harimau –semua ukuran– dan badak sebesar 10 Ringgit.
Jumlah tersebut tergolong besar, karena dalam kondisi normal, uang 10 Ringgit akan memberi seorang Jawa dua kali lipat kebutuhan berasnya selama setahun. Tak mengherankan bila perburuan meningkat. “Antara pertengahan Oktober 1746 dan akhir Agustus 1747, 60 ekor badak dan 26 ekor harimau telah dibunuh di daerah yang berdekatan dengan lingkungan Batavia. Sementara di antara bulan September 1747 dan akhir 1748, 526 ekor badak dan 80 ekor harimau dibunuh di sana,” tulis Boomgaard.
Baca juga: Berburu Binatang Berhadiah Uang
Meski begitu, pada 1762 pemberian hadiah tidak lagi sekuat dulu. Penghapusan kebijakan tersebut berdampak pada aktivitas perburuan. Mereka yang aktif memburu harimau maupun hewan liar lainnya memutuskan berhenti karena biaya yang dikeluarkan terlalu mahal. Namun, ancaman harimau yang belum reda hingga abad ke-19 membuat penduduk meminta pemberian hadiah kembali diberlakukan.
Pada Maret 1817, residen Cirebon meminta izin kepada gubernur jenderal untuk memberikan hadiah kepada pemburu karena jumlah harimau di dekat ibu kota keresidenan terus meningkat. Dengan keputusan tanggal 29 Maret 1817, residen Cirebon diberi wewenang memberikan hadiah f.12 kepada pemburu yang berhasil menangkap atau membunuh harimau di wilayahnya. Tak hanya di Cirebon, gubernur jenderal juga mengizinkan pemberian hadiah sebesar f.22 di Tegal, Surabaya, dan Priangan.
Di daerah lain, seperti Banyuwangi, hadiah yang diberikan sangat rendah, karena residen mempekerjakan pemburu harimau pribumi yang diangkat pada 1817, namun dikurangi pada 1830, dan dihapuskan pada 1838.
Sementara di wilayah lain yang pemberian hadiah belum kembali diberlakukan menjadi sorotan surat kabar. De Locomotief: Samarangsch Handels-en Advertentie-Blad, 27 Februari 1899, melaporkan sejumlah kuda milik penduduk di Kecamatan Boeniseuri menjadi korban serangan harimau. “Banyak kuda yang telah diambil atau ditemukan mati di kandang pada pagi hari dengan sepotong daging yang hilang dari tubuhnya. Hadiah untuk membunuh seekor harimau seharusnya tidak dicabut; sekarang hanya ada sedikit perburuan terhadap mereka dan monster-monster itu sudah semakin sering muncul di sana-sini.”
Baca juga: Jejak Harimau di Dunia
Surat kabar Java-Bode, 4 Maret 1854, juga melaporkan insiden serangan harimau di Mojokerto. Tak hanya menyerang seekor kuda, harimau juga menyerang seorang anak laki-laki. Surat kabar itu pun beranggapan akan sangat baik jika penduduk setempat didorong untuk lebih banyak berburu harimau.
“Dorongan ini hanya dapat terjadi jika premi (hadiah) yang diberikan pemerintah untuk satu kulit harimau dibayarkan kepada kepala distrik, sub-pengumpul, atau kepala suku setempat. Karena untuk mendapatkan premi tersebut, para pemburu harus membawa kulit harimau ke Surabaya, yang jaraknya lebih dari 30 pos dari Mojokerto, dan terkadang rutenya lebih jauh lagi, tergantung di mana hasil tangkapannya. Akibatnya, kulit harimau biasanya dijual dengan harga murah kepada kepala suku atau orang lain, sehingga penduduk asli tidak mau mempertaruhkan nyawa mereka untuk menangkap harimau karena jumlah premi yang didapatkan kecil.”
Meningkatnya serangan harimau terhadap manusia dan hewan ternak membuat pemerintah kolonial memutar otak. Tak hanya menetapkan hadiah f.30 untuk harimau belang atau harimau raja, dan f.10 untuk harimau tutul atau harimau hitam, pemerintah kolonial juga mengizinkan residen memberikan senjata api kepada penduduk yang ingin menjadi pemburu harimau, serta menyusun peraturan tentang “kecelakaan”, yakni orang-orang yang terbunuh oleh harimau, buaya, ular maupun hewan liar lainnya.
Baca juga: Sejarah Merampog Harimau
Dalam beberapa kasus, saat teror harimau kian mengancam keselamatan penduduk di suatu wilayah, hadiah yang diberikan semakin tinggi, seperti di Keresidenan Caringin, Banten. Mengutip surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad, 29 Desember 1892, pemerintah menyetujui untuk membayar hadiah f.200 pada 1893 bagi mereka yang berhasil membunuh maupun menangkap harimau belang di Caringin. Pemberian hadiah dalam nominal tinggi ini sampai menarik perhatian Parlemen Belanda.
Di sisi lain, pemberian hadiah bagi pemburu harimau menuai reaksi dari masyarakat. Menurut Boomgaard, hampir semua penduduk di Jawa menginginkan pemberian hadiah terus berlanjut untuk harimau maupun macan tutul. Namun, residen di Sumatra berpendapat harimau tidak seharusnya dibunuh karena adanya hadiah, dan oleh karena itu tidak perlu melanjutkan sistem hadiah.
“Sekretaris jenderal merangkum argumen para residen dan direktur Departemen Dalam Negeri yakni hadiah untuk macan tutul (Jawa) dihapuskan sedangkan harimau di Jawa dipertahankan. Sementara itu hadiah untuk harimau di Sumatra dihentikan. Rangkumannya juga mencatat mungkin ada baiknya mencabut peraturan yang mengizinkan penduduk yang ingin menjadi pemburu harimau profesional dengan memberikan mereka senjata api. Peningkatan jumlah senjata api di kalangan penduduk tidak diinginkan, dan jika seseorang ingin menembak harimau, ia dapat meminjam senjata dari orang Eropa,” tulis Boomgaard.
Baca juga: Kebun Binatang Zaman VOC
Argumen-argumen ini dikirim ke Dewan Hindia untuk dipertimbangkan dan diberikan saran. Dewan Hindia menyarankan untuk menghapuskan semua hadiah di Jawa dan Sumatra sebagai percobaan dan mengumpulkan data yang baik untuk sementara waktu. Langkah-langkah ini dipandang memiliki keuntungan tambahan untuk mengurangi pengeluaran. Namun, jika suatu saat harimau menjadi ancaman besar bagi manusia dan ternak, hadiah bahkan imbalan yang lebih tinggi dari yang diizinkan, dapat ditawarkan untuk sementara waktu.
Gubernur jenderal mengambil keputusan pada 3 April 1897, dan berdasar pada keputusan tersebut semua hadiah untuk perburuan harimau maupun hewan liar dihapuskan dan peraturan mengenai senjata api dicabut. Surat edaran diterbitkan untuk memberi tahu penduduk bahwa residen dapat menawarkan hadiah (lebih tinggi) untuk sementara waktu jika harimau menjadi gangguan yang luar biasa. Selain itu, residen juga diminta mengirimkan statistik bulanan mengenai harimau dan macan tutul yang ditangkap atau dibunuh, serta ternak dan manusia yang menjadi korban serangan harimau maupun macan tutul.
Meski begitu, pada 1906 residen Banten masih memberikan hadiah yang cukup besar, bahkan terlalu besar di mata gubernur jenderal, yang kemudian pada 1907 menetapkan batas jumlah hadiah, yakni f.25 untuk harimau dan f.10 untuk macan tutul. Lima belas tahun berselang, sekretaris jenderal menulis surat kepada para residen bahwa mereka tak lagi diwajibkan mengirimkan statistik harimau yang ditangkap maupun dibunuh. “Tampaknya, di mata pemerintah, informasi semacam ini tidak ada gunanya lagi. Namun demikian, sistem hadiah tidak pernah dihapuskan sama sekali, dan setidaknya di Sumatra, ancaman harimau masih jauh dari selesai,” tulis Boomgaard.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar