Pemilihan Ratu Kebaya di Singapura
Kontes Ratu Kebaya di Singapura dengan standar penilaiannya merujuk pada gaya kebaya dan sanggul perempuan Indonesia
Singapura akan menominasikan kebaya untuk dimasukkan ke dalam Representative List of the Intangible UNESCO. Tiga negara lain, yakni Brunei, Malaysia, dan Thailand, juga bergabung dalam penominasian tersebut sehingga dikatakan nominasi multinasional. Ini merupakan hal pertama bagi Singapura untuk mengajukan nominasi multinasional ke UNESCO. Nominasi multinasional juga menyajikan kesempatan bagi negara-negara untuk mempromosikan dan merayakan warisan budaya yang ditemukan di kawasan bersama untuk saling pengertian, promosi, dan kerjasama internasional antarnegara.
“Brunei, Malaysia, Singapura, dan Thailand sepakat untuk bekerja sama dalam hal ini nominasi multinasional karena kebaya mewakili dan merayakan sejarah bersama yang kaya di kawasan ini, mempromosikan pemahaman lintas budaya, terus hadir dan diproduksi secara aktif serta dikenakan oleh banyak komunitas di seluruh Asia Tenggara,” demikian bunyi siaran pers National Heritage Board (NHB) pada 23 November 2022.
Gagasan pencalonan kebaya multinasional diusulkan dan dikoordinir oleh Malaysia dan dibahas sebagai bagian dari rangkaian rapat kerja antara beberapa negara pada tahun 2022. Keempat negara peserta nominasi multinasional ini menyambut negara lain untuk bergabung dengan pencalonan kebaya ke UNESCO. Akan tetapi, sampai saat ini belum ada tanda-tanda Indonesia akan bergabung.
Baca juga: Kebaya dalam Politik Identitas
Perayaan mengenai kebaya dari berbagai negara sudah ada sejak umur Republik Indonesia masih tergolong muda. Pada 1949, kontes kecantikan diadakan di Penang, Malaya. Dalam kontes tersebut, pemenangnya akan dinobatkan sebagai Ratu Kebaya. Pesertanya bukan hanya dari Malaysia, Indonesia, maupun Singapura, tapi ada pula perempuan asal dari Cina yang mengikuti kontes ini.
“Orang Indonesia, Supenah, memiliki saingan berat dari Cina, Emily Tam, dan pertandingan benar-benar berakhir dengan 'seri', namun takdir memutuskan berpihak pada Ny. Supenah,” kata berita singkat dalam De vrije pers : Ochtendbulletin, 3 September 1949.
Kontes Ratu Kebaya juga dilakukan di tahun selanjutnya, bertempat di Singapura. Salah satu iming-iming hadiah yang dijanjikan panitia adalah terbang gratis ke Jakarta untuk pemenang pertama. Peserta dari berbagai negara mengikuti kontes ini dengan sangat antusias.
“Tiga hari sebelum penetapan Ratu Kebaya di Singapura, Nona Dorothy Choo, satu-satunya calon non-Melayu yang mengikuti kontes tersebut, menerima setengah lusin kebaya, masing-masing berharga 100 pond kostten, dengan pesawat dari Jakarta,” kata majalah berita, perdagangan, dan periklanan Hindia Belanda Java-bode edisi 25 Juli 1950.
Hal tersebut dilakukan Nona Dorothy Choo dengan harapan akan memenangkan juara pertama. Namun sayangnya, usaha tersebut tidak membuahkan hasil. Juri memberikan nilai berdasarkan standar penggunaan kebaya, kain, dan sanggul yang dilakukan perempuan Indonesia.
“Dia tidak memenangkan hadiah tersebut karena para juri di kompetisi tersebut menyimpulkan bahwa gaya rambutnya bukan gaya Indonesia,” lanjut Java Bode.
Hadiah terbang gratis ke Jakarta dimenangkan oleh Nona Supellah, artis radio terkenal dari Singapura. Ia mendapatkan poin terbanyak dilihat dari model kebaya, warna, gaya rambut, kombinasi sarung, dan postur tubuh. Selain penerbangan gratis, Nona Supellah juga menerima piala perak, mahkota emas, dan hadiah uang tunai.
Indonesia, termasuk Jakarta, menjadi panutan dalam kontes kecantikan Ratu Kebaya ini. Meskipun diselenggarakan di Singapura, penilaian yang merujuk ke Indonesia disebabkan karena pengaruh kebaya dalam gaya busana Singapura salah satunya berasal dari Indonesia. Kebaya di Singapura juga banyak digunakan oleh warga-warga peranakan Cina dan Melayu.
“Pakaian yang digunakan oleh Baba (panggilan laki-laki, red.) dan Nyonya (panggilan perempuan) dipengaruhi oleh beragam kebudayaan, seperti Cina, Malaysia, Indonesia, Inggris, dan Belanda,” tulis Chistine Ong Kiat Neo dalam buku Kebaya Nyonya.
Chistine Ong Kiat Neo adalah warga peranakan Tionghoa yang tinggal di Singapura. Ia melihat ibu dan bibinya rutin menggunakan kebaya. Sejak kecil ia kerap mengamati gaya busana perempuan di Singapura. Apabila mengikuti budaya Melayu, maka baju yang digunakan adalah baju lengan panjang berpotongan longgar selutut.
“Lama kelamaan, baju panjang berubah menjadi kebaya,” ujar Chistine Ong Kiat Neo, yang menerangkan perpaduan kebaya dan sarung dianggap menjadi model busana elegan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar