Mula Rok di Jawa
Bagi kaum hawa, rok menjadi salah satu pakaian yang asyik dikenakan. Dapat dipadukan dengan bermacam jenis pakaian lain sesuka hati namun tetap akan menonjolkan kesan manis dan feminim. Popularitasnya dimulai dari sekolah.
New York Fashion Week 2022 baru saja digelar di New York, Amerika Serikat (AS) pada 9-14 September 2022. Salah satu yang trending dalam pagelaran busana tersebut adalah busana rok.
Para desainer mencoba mengulang kembali ketenaran gaya busana era 1950-an. Rok dan gaun dari bahan kulit dan jeans terlihat membalut tubuh model dengan panjang yang beragam, mulai dari di atas lutut hingga semata kaki. Namun, bukan hanya para model yang mengenakannya.
“Di New York Fashion Week, kami melihat para desainer dan pengunjung pameran mengenakan rok denim sepanjang betis atau lebih panjang dipadukan dengan kemeja putih, kardigan rajut, dan jaket denim,” demikian dilansir fashionista.com 23 September 2022.
Beberapa pengamat fashion memprediksi, gaya seperti ini akan nge-tren di tahun 2023. Tren masa lalu akan kembali dianggap keren.
Baca juga: Celana Superpendek yang Menggoda
Pada 1950-an, Amerika Serikat sedang “dilanda” gaya busana vintage. Ciri-cirinya gaya pakaian perempuan lebih feminin dan didominasi warna-warna soft. Tren seperti ini mulai mendunia sejak tahun 1920.
Meski saat itu Paris masih menjadi kiblat mode Hindia Belanda, geliat busana gaya Amerika sudah mulai bersaing melalui majalah-majalah yang memuat bintang film Amerika. Kala itu, di Jawa perempuan masih menggunakan busana tradisional seperti jarik dan kebaya. Akan tetapi, fesyen ala Barat sudah mulai masuk. Gaya yang dianggap kosmopolitan ini ditandai dengan kemeja safari dan celana panjang untuk laki-laki, kemeja perempuan dan rok panjang untuk perempuan.
Rok dibawa oleh perempuan Eropa yang datang ke Jawa. Kala itu kaum perempuan Eropa juga menggunakan pakaian Jawa seperti kebaya dan kain batik (jarik), namun pakaian-pakaian tersebut hanya digunakan saat di dalam rumah. Peraturan dari pemerintah Hindia Belanda, saat keluar rumah perempuan-perempuan Eropa di Jawa harus tetap menggunakan pakaian layaknya di negeri asal. Peraturan ini dibuat sebagai penanda kontrol pemerintah Hindia Belanda penduduk di Jawa.
“Biasanya, perempuan Eropa memiliki langganan tukang jahit,” tulis peneliti BPNB Yogyakarta Dwi Ratna dalam makalah berjudul “Kain Kebaya dan Rok Pakaian Perempuan Yogyakarta Awal Abad ke-20”.
Panjang rok yang digunakan perempuan Eropa juga menandai aktivitas yang sedang dilakukan. Japon sebutan untuk rok panjang digunakan untuk acara-acara resmi. Kemudian rok yang lebih pendek digunakan untuk aktivitas harian yang lebih santai.
Baca juga: Awas, Ada Busana Seksi!
Penggunaan rok kemudian diadopsi perempuan bumiputra lewat sekolah-sekolah dengan penggunaan seragam. Awalnya, hanya putri-putri dari keraton yang dapat memakai pakaian Barat mengingat sarana pendidikan terbatas hanya untuk anak pegawai Eropa dan anak bangsawan. Kemudian, penggunaan rok menyebar ke kalangan lebih luas menyusul penerapan Politik Etis yang memungkinkan kalangan bangsawan rendahan mengenyam pendidikan dasar.
“Gadis-gadis Jawa yang belajar di sekolah-sekolah Belanda mulai memakai baju terusan pada tahun 1920-an. Secara umum, para perempuan Jawa tidak memakai baju terusan gaya Barat sampai setelah masa kemerdekaan. Mereka yang memakai baju terusan sebelum tahun 1940 adalah gadis-gadis usia sekolah, putri-putri kaum bangsawan yang mengenyam pendidikan di sekolah-sekolah bagi orang Eropa di Jawa,” kata Jean Gelman Taylor dalam tulisannya, “Kostum da Gender di Jawa Kolonial tahun 1800-1940”, yang termuat di buku Outward Appearances suntingan Henk Schulte Nordholt dan Imam Aziz.
Baca juga: Revolusi Celana Seksi
Penggunaan rok semakin masif lantaran sekolah dari jenjang pendidikan dasar hingga menengah atas mewajibkan murid-murid putri menggunakan seragam rok. Memasuki tahun 1930, rok dengan setelan atasan dan bawahan, dilengkapi sepatu, kaos kaki, dan ikat pinggang, identik dengan gadis sekolah.
Setelan kemeja dan rok semakin eksis ketika kegiatan kepanduan mulai dilakukan murid-murid sekolah. Para siswa wajib menggunakan seragam yang telah ditentukan saat mengikuti kepanduan.
“Seorang ibu yang saat itu mengikuti kegiatan kepanduan menyebutkan, bahwa biarpun untuk pergi ke sekolah pada hari-hari biasa dia tidak memakai pakaian Barat dan sepatu karena tidak punya, namun untuk kegiatan kepanduan ia akan meminta orang tuanya membelikan meskipun barang bekas,” tulis Dwi Ratna Nurhajarini.
Rok dan dress kemudian dikenakan oleh para perempuan dewasa pribumi yang telah sadar akan peran-peran baru mereka. Pemakaian rok menyebar ke perempuan-perempuan yang bekerja di sektor agama dan kesehatan. Gadis non-bangsawan yang menggunakan dress dan rok adalah perempuan-perempuan yang terdaftar sebagai siswa sekolah keagamaan. Mereka merupakan calon suster atau biarawati. Selain itu, rok juga dikenakan perempuan yang bekerja sebagai perawat. Uniknya, seragam perawat digunakan sebagai pakaian luar saja sementara di dalamnya mereka tetap menggunakan kebaya.
Baca juga: Kronik Rok Mini
Rok dan dress bisa didapatkan pada jual beli di pasar. Sejak pertengahan abad ke-20, toko-toko sepanjang Malioboro mulai menjual pakaian jadi untuk perempuan seperti kemeja, baju terusan, dan rok panjang maupun pendek. Kain-kain lembaran juga dijual oleh orang-orang India yang kondang sebagai “toko Bombay”.
Seiring perjalanan waktu, rok, dress, dan kemeja untuk perempuan mulai menjamur ke gaya busana perempuan. Di tempat-tempat publik seperti kawasan wisata, perlahan mulai ditemukan perempuan pribumi menggunakan rok. Pakaian perempuan ala Barat menjadi penanda awal perempuan dapat beraktivitas secara setara dengan laki-laki di ruang publik pada masa kolonial.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar