top of page

Sejarah Indonesia

Celana Superpendek Yang Menggoda

Celana Superpendek yang Menggoda

Digandrungi perempuan kelas menengah hingga pelacur. Dipandang negatif tapi trennya tak pernah hilang.

17 Januari 2012

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Ilustrasi: Ganda Permana


CATHERINE Bach, dengan kaki jenjang dan pinggul indahnya, tampil menggoda dalam serial televisi Amerika, The Duke′s of Hazzard, yang tenar pada 1970-an. Catherine berperan sebagai Daisy Mae Duke. Salah satu yang diingat banyak orang masa itu: tampilan seksi nan menggoda Catherine yang selalu hadir dalam balutan hotpants alias celana superpendek.


Hotpants memungkingkan seorang perempuan tampil seksi. Ia mengekspos bagian-bagian tubuh yang cukup sensitif, terutama kaki dan paha, bahkan pantat. Hotpants berbeda dari short pants. Bila short pants hanya sebatas lutut, hotpants lebih pendek lagi yaitu sebatas pangkal paha. Hotpants pun lebih ketat ketimbang short pants.


Saat itu, terutama di Amerika Serikat, celana ini dianggap sebagai tren fesyen. Ia juga menandai peralihan dari masa konservatif ke era lebih modern, serta perkembangan teknologi yang kian maju. Sebagai tren fesyen, pamornya mulai meledak pada 1971. Hotpants mendominasi acara-acara fesyen di Roma dan Paris. Hampir sebagian besar model berlenggak-lenggok di catwallk dengan menggunakan celana superpendek ini. Rak-rak toko baju di Eropa dan Amerika dipenuhi beragam model hotpants.


Berbeda dari 1960-an, di mana kaum perempuan bahkan tak berani menggunakan celana pendek selain untuk acara-acara kasual, di era 1970-an hotpants mulai digunakan untuk pergi ke kantor, acara pernikahan, dan bahkan menjadi bagian dari setelan gaun pengantin.


Pengguna hotpants didominasi kalangan kelas menengah dari perempuan kulit putih. Model semacam Brigitte Bardot kerap tampil seksi mengisi kolom-kolom iklan dengan balutan hotpants. Istri Presiden Amerika Serikat JF Kennedy, Jacqueline Kennedy Onassis, pun sempat terlihat menggunakannya saat berlayar dengan kapal pesiarnya.


Ledakan hotpants, terutama di Amerika Serikat, ditopang teknologi pembuatan bahan tekstil yang kian modern. Hadirnya bahan tekstil serupa polyester yang bertekstur lebih lembut dan fleksibel memungkinan seseorang bergerak lebih nyaman dan lebih bebas saat mengenakan hotpants. Dan karena umumnya dipakai model dan aktris yang rata-rata bertubuh proporsional, hotpants menjadi standar tampilan tubuh ideal seorang perempuan. Kemunculannya juga bertepatan dengan apa yang kerap disebut sebagai sexual revolution di kalangan kaum perempuan. Kaum perempuan Amerika dapat lebih bebas mengekspresikan diri lewat hotpants tanpa harus takut dianggap “sakit” atau melanggar norma sosial.


Tapi, setelah tahun 1971, seiring perubahan kultur dan nilai-nilai sosial, penggunaannya mulai mendapat pandangan negatif. Dianggap menggumbar keseksian, celana ini mulai disangkutpautkan dengan kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual. Kaum perempuan yang menggunakan hotpants dan mendapatkan pelecehan seksual bahkan disalahkan karena dianggap sebagai pemicu tindakan asusila tersebut.


Popularitasnya di kalangan kelas menengah lama-lama ikut memudar. Namun hotpants tetap hidup di “jalanan”, dipakai kalangan pencinta musik disko. Bahkan di era 1970-an, hotpants menjadi simbol dari para pencinta disko. Ia juga digunakan kaum perempuan penjaja cinta. Hotpants pun mulai berafiliasi dengan kata “pelacur” atau perempuan nakal.


Di Asia, penggunaan hotpants mulai menjalar saat perang Amerika-Vietnam. Celana ini diekspor ke Asia agar tentara Amerika dapat melihat para penari telanjang, pramusaji bar, dan para pekerja seks berlenggak-lenggok menggunakan hotpants.


Di Indonesia, popularitasnya timbul-tenggelam. Pada 1980-an, ia sempat booming lewat penampilan aktris semacam Eva Arnas. Namun lagi-lagi muncul stigma negatif, dianggap terlalu mengumbar aurat. Kini, penggunaannya mulai marak lagi. Di jalan-jalan atau mal, anak baru gede (ABG) terlihat berlenggak-lenggok menggunakan hotpants. Bahkan ibu-ibu pun turut menggunakannya.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Anak Tawanan Itu Bernyanyi “Nina Bobo”

Sukses sebagai penyanyi di Belanda, Anneke Gronloh tak melupakan Indonesia sebagai tempatnya dilahirkan.
Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Pangku yang Memotret Kehidupan Kaum Pinggiran

Film perdana Reza Rahadian, “Pangku”, tak sekadar merekam kehidupan remang-remang lewat fenomena kopi pangku. Sarat pesan humanis di dalamnya.
bottom of page