Menengok Tradisi Sadran di Dua Desa
Tradisi sadran menjelang bulan puasa diduga berawal dari era Hayam Wuruk. Begini perbedaan tradisinya di desa pedalaman Boyolali dan Sleman.
MENTARI baru mulai mengintip Jumat (1/3/2024) itu di Dukuh Tumang, Desa Cepogo di Boyolali. Kabut pun belum sepenuhnya buyar. Akan tetapi beberapa penduduk di lereng Gunung Merapi sudah wara-wiri membawa sabit menuju permakaman setempat, di mana terdapat makam seorang tokoh, Kyai Ageng Ragasasi.
Rupanya beberapa penduduk itu melakukan bersih-bersih makam dalam rangka tradisi Sadran menjelang bulan suci Ramadhan. Di dukuh tersebut, tradisinya dihelat pada hari itu, 1 Maret 2024, atau 10 hari sebelum dimulainya bulan puasa tahun ini.
Namun ada yang berbeda dari tradisi serupa di beberapa wilayah lain di pedesaan Jawa. Di Tumang yang kondang sebagai pusat kerajinan tembaga Jawa Tengah itu, tradisi sadrannya justru mirip momen lebaran.
Baca juga: Ken Angrok dan Tradisi Kurban di Nusantara
Lepas agenda bersih-bersih makam, para penduduk bersiap menjadi tuan rumah dengan menyajikan aneka hidangan di rumah masing-masing. Mulai dari kudapan tradisional dan makanan kecil kemasan, hingga beragam lauk-pauk “makanan berat” sejak sekira pukul delapan pagi. Siapapun yang bertamu ke kediaman kerabat, termasuk Historia, “wajib” mencicipi hidangan yang disuguhkan sebagai tanda menghormati sang tuan rumah.
Derasnya hujan tak menyurutkan silaturahim di antara para penduduk. Kerabat yang berdatangan dengan sepeda motor dan berjas hujan tidak hanya berasal dari dukuh setempat tapi juga dukuh dan desa-desa tetangga. Beberapa dari mereka yang bertandang bahkan datang dari luar kota Boyolali hanya karena memiliki kerabat jauh atau sahabat di desa setempat.
Tak ayal tradisi “nyadran” di Dukuh Tumang lebih ramai dari momen lebaran. Pasalnya tradisi itu jadi momen silaturahim besar menjelang bulan puasa untuk saling mengenal relasi atau kerabat yang selama ini tinggal jauh dan belum saling mengenal.
“Karena memang banyak yang sebetulnya masih sedulur (bersaudara, red.) tapi kurang mengenal karena mungkin ada yang anaknya siapa tapi lahir di Jakarta atau daerah lain. Lalu diajak orangtuanya atau kerabatnya yang lain ikut ‘nyadran’, jadi saling mengenal dengan sedulur-nya yang ada di sini,” kata Juwanto, warga Sunggingan yang ikut tradisi ini karena memiliki kerabat dan sahabat di Tumang, kepada Historia.
warga dukuh setempat bernama Muhammad Nur Arifin mengamininya. “Dari desa-desa tetangga juga datang untuk nyadran karena kakek-nenek atau leluhurnya ada yang dimakamkan di sini, jadi saling mengenal sama saudara-saudara jauh,” ujarnya.
Arifin tak menyanggah bahwa tradisi sadran di Tumang dahulu kala hampir tidak berbeda dengan di daerah lain yang berbau “kejawen”. Tetapi perlahan mulai berubah setelah perlahan nilai-nilai keislaman mulai menguat dalam kehidupan penduduknya.
“Sebetulnya dulu sama dengan di daerah lain. Jadi ada semacam ‘kenduren’. Kepercayaan orang dulu ziarah, doa bersama, lalu ditutup dengan acara makan bersama di pemakaman. Dulu tradisinya ada tenong, semacam tumpang sajen selain makanan lain yang dimakan bersama. Tapi seingat saya di zaman saya SMA di awal 1980-an perlahan berubah. Karena para kerabat yang dari luar kota setelah dari makam mengunjungi saudara-saudara yang lain. Otomatis saudaranya yang tuan rumah mesti menyuguhkan. Lama-lama jadi seperti ini,” tukas Arifin.
Sadran dari Zaman Hayam Wuruk
Berbeda dari tradisi yang di Tumah, tradisi sadran di Dukuh Balong Trimulyo, Dukuh Karang, dan Dukuh Blunyah di Desa Trimulyo, Sleman, Yogyakarta masih digelar di makam. Pada Senin (4/3/2024) pagi, tradisi yang kadang disebut “ruwahan” oleh masyarakat tiga dukuh tersebut dihelat di Permakaman Sasonoloyo Blunyah.
“Setiap tahun sebelum (bulan) puasa masyarakat di sini mengadakannya di makam (Sasonoloyo Blunyah). Agendanya biasanya ada (dilakukan) bergantian dari tiga kampung (dukuh) yang jadi panitia acaranya. Tahun lalu kampung kita dan tahun ini (panitianya) dari Blunyah,” tutur Danar Purwoto, warga Dukuh Balong Trimulyo, kepada Historia.
Tradisi Sadran-nya berupa bersih-bersih makam pasca-waktu ibadah Subuh dan melakukan doa bersama yang dimulai sekira pukul 8 pagi. Ratusan warga dari tiga dukuh berbondong-bondong menuju permakaman. Mereka duduk rapi di pelataran makam sembari menunggu instruksi pemuka agama setempat yang memandu doa.
Baca juga: Dari Sraddha ke Sadran
Dahulu, tradisinya juga meliputi agenda makan bersama setelah doa bersama di makam. Tetapi belakangan, agenda makan bersamanya dihilangkan dan diganti pembagian besek makanan untuk dibawa pulang para penduduk setelah doa bersama rampung.
Tradisi yang dihelat tiga dukuh di Desa Trimulyo itu sedikit-banyak lebih bersinggungan dengan mula tradisi sadran dari abad ke-14, yakni upacara Sraddha. Tradisi itu merupakan napak tilas, ziarah, bersih-bersih dan memugar makam dan candi yang dilakoni Raja Hayam Wuruk, sebagaimana yang dikisahkan dalam kakawin Nagarakrtagama karya Mpu Prapanca.
Dalam kakawin itu Mpu Prapanca mengisahkan napak tilas Hayam Wuruk ke candi-candi leluhurnya. Perjalanannya dimulai dari ziarah ke Pajang, Lasem, Lodaya, Lumajang, Singhasari, hingga Simping kurun 1353-1363.
Di setiap candi yang disambanginya, Hayam Wuruk menggelar upacara besar-besaran yang turut menarik kerumunan masyarakat sekitar. Upacara itu intinya untuk mengingat leluhur karena setelah upacara, Hayam Wuruk acap melakoni pemugaran candi.
“Raja Hayam Wuruk juga menyelenggarakan pesta dalam rangka upacara Sraddha agung untuk memperingati 12 tahun meninggalnya Rajapatni (nenek Hayam Wuruk, red). Upacara sraddha tersebut diselenggarakan dengan meriah dan khidmat dalam bulan Badrapada tahun 1362 M atas perintah ibunda raja Tribhuwanotunggadewi,” ungkap Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia: Zaman Kuno.
Hayam Wuruk rutin menggelar upacara Sraddha selama delapan hari berturut-turut. Sehari sebelum upacara, biasanya didahului upacara pemanggilan arwah Rajapatni. Sementara di hari pertama, pada pagi hari arca pemujaannya dikeluarkan dengan iringan musik dan diberi sesaji makanan.
“Upacara sadran yang sekarang dijumpai di beberapa daerah diduga merupakan pengejawantahan sisa-sisa perayaan sraddha yang tertinggal dan masih diingat orang kini,” tukas Mien Ahmar Rifai dalam Desawarna: Saduran Kakawin Nagarakertagama untuk Bacaan Remaja.
Baca juga: Tradisi Berbuka Puasa Masyarakat Melayu
Tambahkan komentar
Belum ada komentar