top of page

Sejarah Indonesia

Ken Angrok Dan Tradisi Kurban Di Nusantara

Ken Angrok dan Tradisi Kurban di Nusantara

Ritual kurban tercatat dalam kisah awal lahirnya Ken Angrok. Hewan kurban diyakini akan menjadi tunggangan di alam arwah.

29 Juli 2020

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Relief cerita Sudhamala di dinding Candi Tegawangi, Kediri, yang menampilkan adegan Sadewa diikat di pohon untuk dikorbankan kepada Ranini. (mblusuk.com).

Dahulu kala pada awal diciptakannya manusia, ada anak seorang janda di Djiput. Tingkah lakunya buruk. Suatu hari anak itu pergi ke daerah Bulalak.


Di Bulalak, hiduplah seorang pertapa bernama Mpu Tapawangkeng. Sang Mpu ingin membuat pintu gerbang untuk pertapaannya. Untuk keperluan itu, ia diminta mengorbankan seekor kambing berwarna merah (wdus bang) oleh Dewa Penjaga Pintu.


Anak janda dari Djiput kemudian mengetahui peristiwa itu. Dengan sukarela, ia menyerahkan dirinya untuk menjadi kurban. Keinginannya bisa pulang ke tempat Dewa Wisnu dan menjelma kembali menjadi manusia yang lebih luhur.


Mulanya Mpu Tapawengkeng tak bersedia. Ia takut bila mengorbankan seorang manusia, ia akan masuk neraka. Namun, ia tak punya cara untuk menemukan kambing merah.


“Lagipula toh tujuan si anak baik, dengan mengurbankan diri ia ingin lahir kembali menjadi manusia yang baik,” pikir Sang Mpu.


Maka, diluluskanlah permohonan itu oleh Mpu Tapawengkeng. Diambilah si anak sebagai kurban. Sesudah itu lenyap ke tempat Dewa Wisnu.


“Dia nanti bereinkarnasi menjadi Ken Angrok. Dia melewati satu fase sebagai pengganti wdus bang,”kata Dwi Cahyono, arkeolog dan dosen sejarah Universitas Negeri Malang ketika dihubungi Historia.id.


Kisah itu diambil dari Serat Pararaton yang berasal dari masa akhir Majapahit. Riwayat ritual kurban juga ditemukan dalam teks Sudhamala. Ceritanya terbaca di dinding Candi Tegawangi di Kediri dari abad ke-14 dan Candi Sukuh di lereng Gunung Lawu dari abad ke-15.


Sudhamala berkisah tentang Sadewa, bungsu dari Pandawa Lima, yang diminta menjadi kurban untuk meruwat Ranini, raksasa bermata lebar, mulut menganga, dan rambut tebal awut-awutan. Ketika pedang (kadga)Ranini hampir mengenai leher Sadewa tiba-tiba muncul seekor biri-biri.


“Tiba-tiba muncul wedus gibas atau kambing berbulu ikal. Ini ada kesamaan dengan kisah Nabi Ismail dan Ibrahim. Hampir sama,” kata Dwi.


Berkat Sadewa, Ranini kembali berwujud Batari Uma. Noda dan kejahatannya telah dibebaskan.


Konsep berkurban telah lama dikenal masyarakat Nusantara. Riwayatnya sejak masa prasejarah hingga kini.


Lewat kisah-kisah dari masa Hindu dan Buddha itu, ritual kurban menjadi jalan mengubah seseorang menjadi sosok yang lebih baik, suci, dan luhur. Sementara itu, dalam konsep yang lebih tua, hewan yang dikurbankan dihubungkan dengan perjalanan seseorang yang telah mati menuju dunia arwah.


Kendaraan ke Surga


Ketut Wiradnyana, peneliti Balai Arkeologi Medan, mencatat di Sumatra bagian utara, pahatan gajah dalam kaitannya dengan religi ditemukan di situs Batu Gajah, Simalungun, dan di Pulau Samosir. Di atas pahatan batu gajah itu terdapat kubur pahat batu.


“Jadi secara kontekstual gajah di situs dimaksud berkaitan dengan penguburan yang sangat mungkin bermakna sebagai hewan tunggangan roh ke alam arwah,” tulis Wiradnyana dalam “Beberapa Hewan Masa Prasejarah dalam Berbagai Aspek yang Melingkupinya Hingga Masa Kini”,terbit di Fauna dalam Arkeologi.


Kendati data prasejarah tak dapat diandalkan untuk mengungkap adakah hewan yang dikurbankan dalam upacara adat masa lalu, infromasinya bisa ditemukan lewat data etnoarkeologi. Di antara yang sering disembelih dalam upacara-upacara adat adalah kerbau.

Seperti pada masyarakat Batak Toba. Mereka memilih kerbau sebagai hewan kurban dengan kriteria: jantan, sehat, dan muda.


Kerbau pun tampaknya menjadi simbol kekerabatan. Indikasinya, dalam prosesi upacara dagingnya dibagi-bagikan kepada kerabat, dengan aturan tertentu. Tujuannya menjaga hubungan kekerabatan.


Pembagian daging itu tak hanya dijumpai pada masyarakat Batak. Namun juga dalam masyarakat Toraja dan Dayak.


Kerbau dianggap sebagai hewan yang paling tinggi statusnya di dalam upacara kematian bagi masyarakat Batak dan Toraja. “Konsep itu berkaitan dengan anggapan bahwa kerbau berfungsi sakral, yakni sebagai tunggangan roh,” catat Wiradnyana.


Beberapa jenis hewan, seperti gajah, kerbau, dan kuda, berkat tubuhnya yang besar dan kuat, sering dianggap sebagai hewan tunggangan dan penjaga. Karenanya hewan-hewan ini pun menjadi kendaraan,baik dalam kehidupan sehari-hari maupun urusan sakral.


“Orang Islam juga ada yang percaya kalau binatang kurban itu nantinya bisa menjadi kendaraan menuju surga,” kata Dwi.

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

S.K. Trimurti Murid Politik Bung Karno

Sebagai murid, S.K. Trimurti tak selalu sejalan dengan guru politiknya. Dia menentang Sukarno kawin lagi dan menolak tawaran menteri. Namun, Sukarno tetap memujinya dan memberinya penghargaan.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
bottom of page