Menengok Sejarah Gowok
Sebagai persiapan menikah, seorang lelaki dititipkan kepada seorang wanita yang mengajarkan seluk-beluk kehidupan rumah tangga termasuk pendidikan seks. Wanita itu disebut gowok.
“…Maksud kedatanganku kemari adalah ingin menyerahkan anakku Bagus Sasongko kepada Nyai Lindri. Dia akan nyantrik di sini beberapa waktu lamanya. Kuserahkan anakku sepenuhnya ke tanganmu, Nyai, supaya dia nanti memperoleh bekal kehidupan ketika akan memasuki alam kedewasaan,” kata Wedana Randu Pitu ketika mengantarkan putranya kepada seorang wanita dewasa yang dikenal dengan sebutan gowok dalam novel Nyai Gowok karangan Budi Sardjono.
Di masa silam, tradisi memberikan pendidikan berumah tangga, termasuk di dalamnya pendidikan seks, kepada calon suami yang tengah mempersiapkan diri menuju jenjang pernikahan dilakukan oleh masyarakat di wilayah Jawa, salah satunya di daerah Banyumas. Tradisi ini dinamakan gowokan.
Minimnya informasi mengenai seluk-beluk kehidupan rumah tangga, serta pandangan bahwa membicarakan pendidikan seks merupakan hal yang tabu, membuat para orang tua khawatir anak mereka tak bahagia dalam berumah tangga. Kekhawatiran itu mendorong lahirnya gagasan agar laki-laki yang hendak menikah dididik terlebih dahulu oleh orang yang telah berpengalaman.
Tugas untuk mendidik lelaki muda atau calon suami dilakukan oleh seorang wanita yang dianggap memiliki pengetahuan yang cukup mengenai kehidupan rumah tangga. Wanita ini bertindak seolah-olah seorang istri yang mengajarkan laki-laki yang hendak menikah bagaimana menjadi suami yang baik. Wanita ini dinamakan gowok.
Baca juga: Pernikahan Orang Jawa Kuno
M. Koderi dalam Banyumas: Wisata dan Budaya yang disunting Ahmad Tohari, menyebut tak semua wanita dapat menjadi gowok. “Tugas semacam itu merupakan keahlian tersendiri,” tulis Koderi. Oleh karena itu, ada sejumlah persiapan yang harus dilakukan seorang gowok sebelum menjalankan tugasnya. Salah satunya keahlian dalam mengendalikan diri dan menghadapi godaan, sehingga saat menjalankan tugasnya tidak terjadi hal-hal di luar batas.
Dalam menjalankan tugasnya, gowok akan mendapat gaji atau upah dari orang tua yang menitipkan anaknya.
R. Prawoto dalam tulisannya, “Huwelijksgebruiken en met het Huwelijk Verwants Verhouding in Oude Ost-Banjoemas”, di majalah Tijdschrift voor Indische Taal- , Land- en Volkenkunde LXXI tahun 1931, menyebut gowok memiliki tarif tertentu yang bervariasi antara f.0,25 dan f.0,30 per hari. Biasanya orang tua yang menitipkan putranya kepada gowok berasal dari keluarga terpandang yang memiliki cukup uang. Sehingga, selain mendapat upah berupa uang, gowok juga mendapat tambahan beras, kelapa, dan lain-lain sebagai ungkapan terima kasih.
Baca juga: Tips Memilih Jodoh Ala Raja Jawa
Meski mendapat upah dan beragam bingkisan tambahan, gowok tak bisa sembarangan dalam bertugas. Ia harus memenuhi kontrak yang dibuat dengan orang tua lelaki yang ia bimbing. Jika gowok –yang jarang atau tidak pernah terjadi– gagal memenuhi kewajibannya, Prawoto menyebut gowok diwajibkan untuk mengembalikan peningset atau seserahan yang diterimanya.
Selama membimbing pemuda untuk bersiap menjadi seorang suami, gowok biasanya bertindak selayaknya seorang istri dan menantu. “Ia harus memasak makanan untuk pemuda itu dan keluarganya, menyediakan kayu bakar, membawa pemuda itu ke tanah tempat ia bekerja, membawakan makanan, mengurus pakaian dan harta miliknya, menerima kunjungan untuknya, dll.,” tulis Prawoto.
Sementara itu, menurut Koderi, bila masa “pendidikan” yang dijalani telah rampung, gowok akan melaporkan hasilnya kepada orang tua pemuda yang menjadi muridnya. “Setelah anaknya lulus menjalani gowokan, barulah orang tua mengirim undangan untuk perkawinan anaknya,” tulis Koderi.
Baca juga: Kala Sang Raja Ditolak Cintanya
Pembahasan mengenai gowok dan tradisi gowokan menarik minat sejumlah pengarang. Novel dan tulisan mengenai gowok bermunculan, salah satunya Nyai Gowok karya Budi Sardjono. Dalam novel tersebut, Budi mencoba merunut sejarah kehadiran gowok di pulau Jawa. Ia menyebut Goo Wook Niang sebagai perempuan yang pertama kali memperkenalkan cara mendidik anak lelaki yang beranjak dewasa dengan diajak tinggal di rumahnya selama beberapa hari.
Menurut Budi, kegiatan itu telah dilakukan Goo Wook Niang sejak masih tinggal di Tiongkok. “Dan, hanya anak-anak lelaki dari kalangan istana yang ia didik supaya kelak jadi lelaki sejati, mengenal betul setiap inci dari tubuh perempuan, dan akhirnya bisa membahagiakan perempuan yang dijadikan pasangan hidupnya,” tulis Budi.
Jauh sebelum Budi Sardjono, seorang pengarang keturunan Tionghoa bernama Liem Khing Hoo telah menulis roman berjudul Gowok tahun 1936.
Menurut Claudine Salmon, penulis dan peneliti asal Prancis, dalam “Fiksi Etnografis dalam Kesusastraan Melayu Peranakan”, termuat dalam Panggung Sejarah: Persembahan Kepada Prof. Dr. Denys Lombard, roman karangan Liem itu mendapat banyak tanggapan dari kalangan pers setelah diterbitkan. Dalam roman tersebut, penulis yang memiliki nama pena Romano, menceritakan kisah Soemanda, putra seorang kepala desa, yang telah menyelesaikan pendidikan lanjutannya di sekolah Belanda dan berusaha menghindari tradisi gowokan yang ia anggap tak sesuai dengan moralnya.
Baca juga: Cinta Sultan Bersemi di Perpustakaan
Meski begitu ayah Soemanda telah mengatur segalanya dan mendatangkan seorang gowok bernama Soembangsih pada waktu yang telah ditentukan. Pembicaraan antara Soemanda dan Soembangsih tentang pendidikan rumah tangga yang dipandang Soemanda terbelakang telah mengubah pemikirannya. Soemanda menyadari Soembangsih merupakan wanita yang cerdas. Akhirnya, ia tak hanya setuju menimba ilmu kepada Soembangsih, tetapi juga jatuh cinta kepada sang gowok.
Roman karangan Liem Khing Hoo ini menjadi perbincangan publik tak lama setelah terbit. Sebab, tak sedikit orang yang menganggap bahwa tradisi gowokan telah lama punah. Namun, dalam catatan kaki tulisannya, Claudine Salmon menulis, redaksi Sin Po menambahkan catatan berisi rujukan pada artikel R. Prawoto yang menjelaskan bahwa adat itu pada 1931 masih hidup di daerah Bukateja yang berlokasi di dekat Banyumas.
Menurut Prawoto, istilah gowokan umum digunakan di desa-desa pegunungan di perbatasan Banyumas lama. Sementara di daerah bawah yang berbatasan dengan Wonosobo, istilah yang digunakan adalah sentongan. Seiring berjalannya waktu, tradisi gowokan lambat laun memudar. Perbedaan pandangan terkait nilai-nilai dalam masyarakat disinyalir menjadi salah satu faktor yang membuat tradisi ini mulai ditinggalkan.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar