Dulu Clackers Kini Latto-latto
Permainan serupa latto-latto pernah digandrungi anak-anak di Amerika Serikat, Inggris, dan Eropa. Permainan ini kemudian dilarang karena berbahaya.
“Tak…tak…tak” begitulah bunyi yang terdengar saat dua bola plastik berbobot padat keras yang diikat seutas tali berbenturan saat dimainkan. Permainan bernama latto-latto ini kini tengah digandrungi anak-anak di Indonesia.
Sejak akhir tahun 2022, latto-latto seakan menjadi topik yang tak habis dibahas oleh warganet. Tak hanya membahas sejarah permainan ini, ada pula warganet yang membagikan tutorial cara bermain latto-latto. Di tengah pesatnya kemajuan teknologi yang melahirkan berbagai macam permainan virtual, latto-latto seakan memberi pengalaman unik tersendiri bagi anak-anak masa kini. Latto-latto mengalihkan mereka dari gadget. Latto-latto dianggap sebagai permainan yang mampu mengasah ketangkasan dengan mengandalkan keterampilan fisik.
Cara memainkan latto-latto terkesan mudah dan sederhana, namun membutuhkan keahlian dan konsentrasi. Cara memainkannya yakni jari tangan diselipkan pada cincin yang berada di ujung tali. Selanjutnya kedua bola plastik yang digantungkan diayunkan secara seimbang hingga keduanya beradu. Yang menarik, bunyi benturan dari dua bola yang beradu tersebut dapat menghasilkan suara yang beragam. Namun, untuk mendapatkan beragam suara itu dibutuhkan kemampuan mengetahui ritme permainan latto-latto.
Bila merunut sejarahnya, latto-latto yang kini banyak dimainkan anak-anak di Indonesia, juga pernah digandrungi anak-anak di Amerika Serikat dan Eropa tahun 1970-an. Permainan itu bernama clackers atau klik klaks. Masuk ke Indonesia pada awal 1970-an, clackers disebut nok-nok.
Baca juga: Membangkitkan Kasti yang Mati Suri
Menurut Christopher Byrne dalam Toy Time! From Hula Hoops to He-Man to Hungry Hungry Hippos: A Look Back at The Most-Beloved Toys of Decades Past, clackers mulanya dikembangkan sebagai senjata –bersama dengan yo-yo dan bumerang. “Penggunaan aslinya adalah untuk melumpuhkan hewan kecil saat berburu,” tulisnya. Ada pula yang menyebut clackers versi kayu telah digunakan pada abad ke-19 untuk menakut-nakuti maupun mengusir burung dari area persawahan.
Serupa dengan latto-latto, clackers terdiri dari dua bola akrilik berwarna yang digantung pada seutas tali. Cara memainkannya pun dengan menggerakan tali ke atas dan ke bawah untuk membuat bola berbenturan sehingga menimbulkan suara yang nyaring. Oleh karena itu, nama permainan ini juga populer dengan sebutan klik klak karena suara yang dihasilkan dari benturan kedua bola tersebut menghasilkan suara “klak…klak…klak”.
Byrne menyebut pemain yang ahli dapat membuat bola melaju cukup cepat sehingga saling memukul di atas dan di bawah tangan –semuanya dalam gaya sentripetal.
Baca juga: Jejak Permainan Congklak
Tak butuh waktu lama bagi clackers untuk menjadi permainan favorit anak-anak di awal tahun 1970. Ukurannya yang compact karena muat di kantong celana membuat banyak anak-anak membawa permainan ini ke mana-mana seperti ke sekolah. Mereka tak jarang berlomba saling menunjukkan kemampuan dalam bermain clackers. “Kemahiran menganugerahkan status besar pada mereka yang ahli bermain clackers,” kata Byrne.
Meski populer di kalangan anak-anak, clackers nyatanya tak mendapat sambutan yang baik dari sejumlah orang dewasa, khususnya para pendidik. Salah satu penyebabnya karena tak jarang anak-anak terluka maupun cedera karena terlalu kencang mengayunkan bola. Oleh sebab itu, banyak sekolah kemudian melarang anak-anak muridnya membawa clackers ke sekolah.
Menurut David Mansour dalam From Abba to Zoom, A Pop Culture Encyclopedia of the Late 20th Century, pada 1971 clackers mulai dilarang setelah pemerintah mengeluarkan peringatan karena bola pada permainan ini diduga dapat pecah dan serpihan pecahan itu dikhawatirkan berterbangan di udara sehingga dapat melukai anak-anak. “Ditambah anak-anak sering menggunakan mainan ini sebagai senjata,” sebutnya.
Sejumlah insiden yang terjadi akibat clackers mendorong dilakukannya penyelidikan terkait keamanan permainan ini. Pertimbangan keamanan membuat sejumlah orang tua melarang anak-anak mereka memainkan clackers. Akibatnya, popularitas clackers lambat laun kian memudar.
Baca juga: Cita-Cita Favorit Anak-Anak Tiap Zaman
Menurut Alwyn W. Turner dalam Crisis? What Crisis? Britain in the 1970s, beberapa waktu setelah dilakukannya penyelidikan terkait keamanan clackers, popularitas permainan itu berakhir secara tiba-tiba meninggalkan produsen clackers, James of England dengan 400 ribu clackers-nya di gudang.
Di sisi lain, menurut Byrne, demi menarik kembali minat masyarakat terhadap permainan ini sejumlah perusahaan mencoba memproduksi clackers dengan menggunakan bola plastik yang lebih aman namun tidak pernah berhasil, sebagian besar karena tidak bekerja dengan baik, dan yang lebih penting tidak menghasilkan bunyi “klak...klak...klak” seperti clackers.
Clackers yang sempat menjadi mainan favorit anak-anak di Amerika Serikat dan Inggris pada awal tahun 1970-an, kemudian hanya menjadi kenangan di ingatan orang-orang yang sempat memainkannya, hingga permainan serupa, yakni latto-latto, muncul kembali dan menghebohkan anak-anak di Indonesia di masa kini.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar